Mohon tunggu...
Queen Queen
Queen Queen Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

not perfect enough...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Harga Sebuah Perdamaian = Rp 50.000,00

8 Maret 2012   17:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:21 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1331225935841768436

Bukan maksud saya untuk ikut-ikutan –selama ini sih sudah sering saya dengar- menjelek-jelekkan citra polisi. Tidak sama sekali. Saya hanya ingin sedikit menyampaikan kenyataan yang ada di lingkungan sekitar saya, sebagai bentuk kekecewaan saya terhadap oknum –yang seharusnya- penegak hukum tersebut. Ya, saya rasa hal ini juga dengan mudah bisa ditemukan di lingkungan sekitar anda.

Mengulang kembali sedikit cerita dari salah seorang teman satu kost saya yang berasal dari Tuban, Jawa Timur. Sebut saja Ayu, adik tingkat saya di salah satu universitas negeri di Surabaya. Beberapa minggu yang lalu, dia bersama teman satu kampusnya, sebut saja Vino, yang sama-sama berasal dari Tuban pulang kampung dari Surabaya dengan mengendarai Mio biru kepunyaan Vino. Di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Lamongan, mereka dihentikan oleh seorang polantas lantaran lampu belakang Mio milik Vino dimodif dengan nyala kerlap-kerlip yang menyalahi aturan. Mereka pun dibawa ke pos polisi terdekat untuk kemudian dikenai sanksi.

Oknum polisi tersebut memberikan pilihan pada Vino, sidang atau damai tanpa menyebut nominal. Vino pun memilih damai dengan mencoba menawar harga perdamaian sebesar Rp 20.000,00 dengan alasan dia anak kost yang sedang dalam perjalanan pulang, yang tentu saja identik dengan keadaan kanker alias kantong kering. Di luar dugaan, dengan tegasnya oknum polisi tersebut menjawab, “nggak bisa, Mas. Untuk wilayah Lamongan, Tuban, Bojonegoro, semua lima puluh ribu.”

Karena sedang malas berbantah-bantahan –yang pastinya juga akan sia-sia- apalagi hari sudah sore, Vino memberikan selembar uang lima puluh ribuan kepada polisi tersebut. Dan (mungkin) supaya dianggap baik hati, setelah menerima selembar uang berwarna biru itu, polisi tersebut kemudian memberikan kembalian kepada Vino sebesar lima ribu rupiah dengan berkata, “ini, buat beli sticker”. Dan kemudian Vino dan Ayu pun dipersilahkan untuk melanjutkan kembali perjalanan mereka.

Cerita tidak berhenti disitu saja. Minggu berikutnya, ketika Vino dan Ayu dalam perjalanan pulang ke kampung halaman lagi, ketika melewati pos polisi yang lumayan menguras dompet Vino minggu lalu, Ayu sempat bercanda dengan Vino, berceloteh tetang apes mereka minggu lalu. Belum sempat mereka berhenti ngobrol, tiba-tiba dari arah belakang mereka disusul oleh seorang oknum polisi, menyuruh mereka berhenti dan menuju pos dengan alasan lampu belakang yang tidak menyala merah. Ayu dan Vino pun kesal, karena menurut Vino lampu belakang motornya sudah dikembalikan ke keadaan semula. Yang lebih menyebalkan lagi, ternyata polisi tersebut adalah oknum yang berdamai dengannya minggu lalu. Kebetulankah? Mungkin. Meski dengan sedikit dongkol, Vino dan Ayu menurut saja untuk kembali menyambangi pos polisi.

Di pos polisi itu, Vino menunjukkan semua kelengkapan surat-surat yang dimilikinya. Ya, mungkin sebagai ganti apes minggu yang lalu, mujur pun datang. Seorang polisi lain (yang dari cerita Ayu dapat disimpulkan bahwa dia adalah komandan dari oknum yang menyuruh Vino berhenti) menanyakan tentang kesalahan apa yang telah diperbuat Vino, karena beliau melihat semua surat-surat yang dibawa Vino lengkap. Oknum itu menjawab bahwa lampu belakang motor Vino tidak menyala merah sebagaimana mestinya.

Sang komandan kemudian menghidupkan mesin motor Vino untuk mengecek lampu belakang motor Vino. Dan ternyata tak ada yang salah. Lampu belakang motor menyala merah meski merahnya tidak terlalu terang.

“lha gak ada masalah apa-apa gitu kok.”, ujar sang komandan sedikit marah kepada bawahannya lantaran mengada-adakan kesalahan Vino, pengendara motor. Oknum polisi itu diam saja, tak ada pembelaan atas apa yang dikatakan komandannya padanya. Pak komandan kemudian mempersilahkan Vino dan Ayu untuk melanjutkan perjalanan tanpa menguras sepeserpun uang dari dompet Vino.

Vino dan Ayu terpingkal-pingkal. Rasain tuh !. Ingin sekali diucapkannya kata-kata itu pada polisi yang sempat hendak mengajaknya ‘berdamai’ di pos polisi itu.

Dan, entahlah, saya –atau mungkin juga anda-anda- yang membaca tulisan ini ikutan geram melihat tingkah laku oknum polisi tersebut. Bagaimana tidak geram? Disini saya kemukakan alasan saya:

1.Perdamaian ternyata sudah ditarifberapa harganya, dan ternyata harganya Rp 50.000,00 (khusus untuk regional Lamongan, Tuban dan Bojonegoro) tanpa bisa ditawar kecuali atas ‘kemurahan hati’ oknumnya (seperti cerita di atas, yang ternyata dapat diskon 5rebu). Helllooooowww??? sudah seperti tukang pijat aja. Capedeeee #tepokjidat….. siapa bilang hukum di negara ini negotiable?? uda ada tarifnya cuyy,,jadi nggak bisa nawar...*khusus kasus ini...

2.Oknum polisi tersebut mengada-adakan kesalahan pengendara motor, atau istilah kasarnya “nyari duit”. Oke lah, itu manusiawi, tapi bukankah oknum tersebut menjadi polisi itu juga sudah mendapat uang atau gaji, lalu kenapa masih nyari-nyari lagi? mana nggak bener lagi caranya dengan mencari-cari kesalahan pengguna motor yang sebenarnya tidak ada, justru akan sangat memalukan sekali ketika mendapat teguran dari sang komandan. Iiihhh,, malu banget deh.

Memang, saya akui teman saya memang salah dengan menerima tawaran damai dari oknum polisi tersebut. Namun apabila dari awal polisi tersebut tegas dengan tetap akan memproses secara hukum sebagaimana mestinya terhadap kesalahan teman saya itu –meskipun itu akan lebih menyusahkan teman saya-, setidaknya itu tidak akan memperburuk lagi paradigma masyarakat terhadap instansi kepolisian yang saya dengar-dengar merupakan instansi terkorup di negara ini.

Namun saya tegaskan, saya tidak memukul rata semua anggota jajaran kepolisian. Saya yakin masih ada polisi-polisi yang masih berjalan di garis yang lurus seperti pak komandan dalam cerita ini. Saya yakin masih ada anggota kepolisian (dan anggota penegak hukum lainnya) yang benar-benar bersih. Hanya saja karena ulah beberapa oknumnya (sekali lagi saya tekankan, oknum, bukan instansinya), membuat instansi tersebut dicap buruk oleh masyarakat. Ibarat pepatah, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”, meski saya juga tak tahu pasti, apakah ‘oknum kotor’ tersebut menempati porsi setitik atau malah yang sebelanga tadi.

Ya, ya. Itu saja. Saya tekankan sekali lagi, saya tetap mendukung kepolisian sebagai instansi penegak hukum di negara ini, hanya saja sangat disayangkan perilaku oknum-oknumnya yang merusak citra instansinya sendiri. Kasian kan citra oknum-oknum yang bersih ikutan buruk juga…

Hmm, ,, kapan engkau berjaya dunia kepolisianku???

*ilustrasi gambar: google

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun