Mohon tunggu...
Riezal Fachrozie
Riezal Fachrozie Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya Hanya ingin Belajar menulis. Mohon Bimbingannya... saya akan slalu menulis tentang perasaanku, pikiranku dan momen terindah dan terpahit disepanjang jalan hidupku***

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kalo Sudah Tiada Baru Terasa

27 Februari 2013   23:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:35 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku membencinya, Itulah yang selalu ku bisikkan
dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami.
Meskipun menikahinya, Aku tak pernah benar-benar
menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena
paksaan orangtua, Membuatku membenci suamiku
sendiri. Walaupun menikah terpaksa, Aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun
membencinya, Setiap hari aku melayaninya
sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan
semuanya karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya
tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat
menyayangi suamiku karena menurut mereka,
Suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri
satu-satunya mereka. Ketika menikah, Aku menjadi
istri yang teramat manja. Ku lakukan segala hal
sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar
menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu
bergantung padanya karena aku menganggap hal itu
sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan
padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya
sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku. Di rumah kami, Akulah ratunya. Tak ada seorangpun
yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah,
Aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka
handuknya yang basah yang diletakkan di tempat
tidur, Aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa
mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, Aku benci ketika ia memakai
komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung
bajunya di kapstock bajuku, Aku juga marah kalau ia
memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan
rapi, Aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang
dengan teman-temanku. Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak.
Meskipun tidak bekerja, Tapi aku tak mau mengurus
anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB
dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan
keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku
lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru
menyadarinya setelah lebih dari empat bulan,
Dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan
semakin bertambah ketika aku mengandung
sepasang anak kembar dan harus mengalami
kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan
tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan
patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua
anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak
terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-
pagi sebelumnya, Aku bangun paling akhir. Suami
dan anak-anak sudah menungguku di meja makan.
Seperti biasa, Dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, Ia
mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang
tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan
tanpa mempedulikan kata-katanya yang
mengingatkan peristiwa tahun
sebelumnya, Saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, Karena merasa terjebak dengan
perkimpoianku, Aku juga membenci kedua
orangtuaku. Sebelum ke kantor, Biasanya suamiku
mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi
hari itu, Ia juga memelukku sehingga anak-anak
menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun
akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga beberapa kali di depan
pintu Seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, Akupun memutuskan untuk ke
salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku.
Aku tiba di salon langgananku beberapa jam
kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku
sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol
dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar
tagihan salon. Namun betapa terkejutnya aku, Ketika
menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah.
Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam
aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan. Aku menelepon
suamiku dan bertanya,
“Maaf sayang, Kemarin Farhan meminta uang jajan
dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari
dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu,
Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.”
Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah,
Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon
tanpa
menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, Handphoneku kembali berbunyi
dan meski masih kesal, Akupun mengangkatnya
dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, Aku pulang sekarang, Aku akan ambil
dompet dan mengantarnya padamu. Sayang
sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , Kuatir Aku menutup telepon kembali.
Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu
jawabannya lagi, Aku kembali menutup telepon. Aku
berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa
suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si
empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa
membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut
mendengarku ketinggalan dompet membuatku
gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku
melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera
sampai. Menit berlalu menjadi jam, Aku semakin
tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-
kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali
berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai
merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat
setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara
bentakanku belum lagi keluar, Terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa
saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan
diri,
“Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak
armandi?”
Kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, Ia memberitahu bahwa
suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia
sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab
terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok
dengan bingung. Tanganku menggenggam erat
handphone yang kupegang dan beberapa pegawai
salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa
hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit.
Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga
hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam
seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang
gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa
karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu
beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan
maghrib terdengar seorang dokter keluar dan
menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia
pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, Serangan
stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, Aku malah sibuk
menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya
yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun
keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan
ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul
memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di
hadapannya, Aku termangu menatap wajah itu.
Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap
wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati
wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah
ia berikan padaku selama sepuluh tahun
kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya
yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama
kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu
dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, Mengaburkan
pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap
agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku
padanya, Aku ingin mengingat semua bagian
wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak
berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, Airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku.
Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi
pemakaman tidak mampu membuatku berhenti
menangis. Aku berusaha menahannya, Tapi dadaku
sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya
terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan
kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang
kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang
harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan
setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang
menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku
tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak
pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia
sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga
tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya,
Karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie
instant karena aku hampir tak pernah memasak
untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak
dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan
atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Ia pun pulang larut
malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari
rumah. Aku tak pernah mau menanggapi
permintaannya untuk pindah lebih dekat ke
kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat
tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, Aku tak mampu menahan diri lagi.
Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang
bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku
tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur
besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal
memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak
pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan
dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya
bukanlah kebebasan seperti yang selama ini
kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam
keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, Aku duduk termangu
memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu
mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat
hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau
aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa
membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku
yang datang, Aku berjongkok menangis di dalam
kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku
yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa
melakukan sesuatu di
rumah, Membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.
Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan
berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya
di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur
mendengar suara dengkurannya, Tapi sekarang aku
bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia
sering berantakan di kamar tidur kami, Tetapi
kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan
hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa
me-log out, Sekarang aku memandangi komputer, Mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya
masih
tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia
membuat kopi tanpa alas piring di meja, Sekarang
bekasnya yang tersisa di sarapan pagi
terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, Sekarang dengan
mudah kutemukan meski aku berharap bisa
mengganti kehilangannya dengan kehilangan
remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru
menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah
terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku
sendiri, Aku marah karena semua kelihatan normal
meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena
baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa
menghentikan semua penyesalanku. Aku marah
karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang,
Tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun
kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku
ingin meminta maaf, Meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi
padaku, Meminta ampun karena telah menjadi istri
yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit
demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya
dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang
selama ini kubela-belakan, Hampir tak pernah
menunjukkan batang hidung mereka setelah
kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya, Keluarga
mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan.
Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi.
Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku
tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan
suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya
jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk
kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan
uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor
tempatnya bekerja, Aku memperoleh gaji terakhir
beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, Ternyata seluruh
gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal
aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk
keperluan rumah tangga. Entah darimana ia
memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus
bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena
jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya
takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi
bekerja di mana ? Aku hampir tak pernah punya
pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian.
Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia
membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris
memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami
bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku
dan anak-anak, Ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata
apapun adalah isi suratnya untukku. Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus
meninggalkanmu terlebih dahulu. Maaf karena harus
membuatmu bertanggung jawab mengurus
segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa
memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang
pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa,
Aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi
aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku
begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit
demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak
yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa
memanfaatkannya untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk
mereka, Ya sayang. Jangan menangis, Sayangku
yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku
memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan
mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama
ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga
Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku. Teruntuk Farah, Putri tercintaku. Maafkan karena
ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik
seperti Ibu.
Dan Farhan, Ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan
Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu
ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke! Aku terisak membaca surat itu, Ada gambar kartun
dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris
memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki
beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil
warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan
tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil
meskipun dimanajerin oleh orang-orang
kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu
mengetahui betapa besar cintanya pada kami,
Sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah
berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang
hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih
begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya
kuabdikan untuk anak- anakku. Ketika orangtuaku
dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, Tak satupun meninggalkan
kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi. Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun.
Dua hari lagi putriku menikah dengan seorang
pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya,
“Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi
istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci,
gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil berkata,
“Cinta sayang, cintailah suamimu, Cintailah pilihan
hatimu, Cintailah apa yang ia miliki dan kau akan
mendapatkan segalanya. Karena cinta, Kau akan
belajar menyenangkan hatinya, Akan belajar
menerima kekurangannya, Akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, Kalian akan
menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku,
“Aeperti cinta ibu untuk ayah ? Cinta itukah yang
membuat ibu tetap setia pada ayah sampai
sekarang?” Aku menggeleng,
“Bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah
mencintai ibu dulu, Seperti ayah mencintai kalian
berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang
begitu besar pada ibu dan kalian berdua.” Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat
menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku
menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya,
Tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku
untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena
kematian, Tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun