Mohon tunggu...
Rie Yanti
Rie Yanti Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis novel Satin Merah (Gagas Media, 2010) dan kumpulan cerpen Bukan Manusia (Lulu, 2011). Tulisan-tulisannya juga bisa dibaca di rie.warungfiksi.net dan warungfiksi.net.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sakit Perut

8 Mei 2010   06:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:20 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku baru saja bangun ketika ponselku berbunyi. Entah ada panggilan masuk, SMS, atau cuma alarm.

Sebuah pesan masuk, rupanya. Dengan kelopak mata yang masih sungkan membuka lebar, kubaca pesan tersebut. Sebuah nomor tak dikenal.

“Mba Ami, jm 4 aq k kosan y. Minta tlg bkn makalah bwt seminar bsk. Nita.”

Nita? Anak 2004 itu? Dari mana dia tahu nomor handphone-ku? Baru dua hari yang lalu aku mengganti nomor dan tak banyak yang tahu perihal ini. Aku hanya sudi memberitahu keluarga dan Eva, sahabatku semasa kuliah.

Kulihat jam. Tujuh jam lagi bocah sok rajin itu datang. Aku harus bergegas.

Tanpa sempat membereskan tempat tidur, aku berlari masuk kamar mandi. Cuci tangan, cuci muka, sikat gigi. Tiba-tiba perutku melilit. Tadi malam makan soto ayam pakai sambal tiga sendok. Sudah biasa. Malah terkadang sambalnya lebih dari itu kalau rasanya kurang pedas. Seharusnya perutku tidak sakit seperti ini.

Sehabis nongkrong di kamar mandi, aku kembali berbaring di kasur. Kuraih ponsel dan menekan satu digit yang langsung menghubungkanku dengan Bimo, sepupuku, yang ngekos tak jauh dari tempat kosku di daerah Ciseke.

***

Bimo menyambutku dengan iler yang basah di sudut bibir.

“Kuliah jam berapa?” tanyaku seraya masuk kamarnya. Tampak binder, diktat, dan alat tulis berserakan di karpet. Bercampur abu rokok dan baju-baju bekas pakai yang belum dicuci. Agak kerepotan aku mencari lahan kosong untuk duduk.

“Jam satu,” Bimo menjawab tanpa gairah.

“Aku mau di sini sampai malam. Nita ngejar-ngejar aku lagi. Pasti Eva yang memberi tahu nomorku. Belum lagi Fanny. Dia juga mau ke kosanku nanti malam buat pinjam skripsi. Kamu pulang jam berapa?”

Bimo menjawab pertanyaanku dengan dengkuran.

“Bimo!”

“Apa, sih?”

“Kamu pulang jam berapa?”

“Aku mau nginap di kosan Andre.”

“Nginap?” Aku mengeluh. Kalau Bimo menginap, di mana aku bisa bersembunyi? Aku tak berani tinggal di tempat kos ini sendirian. Apalagi sampai malam. Tempat kos ini khusus mahasiswa. Dan semuanya sinting.

Perutku melilit lagi. “Punya obat diare, nggak?”

Mata Bimo seperempat melek. Dia menunjuk tasnya. Kucari. “Nggak ada.”

Namun Bimo seperti tidak mendengarku. Dia kembali tidur.

***

Sepanjang jalan dari tempat kos Bimo ke A3 untuk membeli makan, aku tak berhenti merutuk. Kenapa aku masih menganggur? Proposal S2 tidak ada yang lolos satu pun. Eva juga brengsek. Janji mau cari kosan bareng di Bandung, tidak tahunya balik ke Jakarta, kerja di teve jadi presenter. Yang lebih menyebalkan, dia membocorkan nomorku pada Nita. Huh!

Keluar dari A3, seseorang menepuk pundakku. Chichi, anak angkatan 2002 yang belum lulus. Aku pernah menjulukinya calon mahasiswi abadi. Dengar-dengar, sekarang dia sedang menyusun skripsi. Dikejar tenggat.

“Mi, nggak kerja?”

Aku benci pertanyaan itu. “Nggak,” jawabku singkat.

“Bagus, deh. Bantuin aku bikin skripsi, ya? Sumpah, aku bingung. Bantuin, dong,” Chichi memelas.

Aku berusaha tidak mendengar permintaan Chichi. Siapa suruh rajin bolos? Lagipun, aku muak dengan yang namanya skripsi, makalah, seminar,dan istilah-istilah lain yang berhubungan dengan perkuliahan. Aku bukan mahasiswa lagi sekarang. Saatnya bagiku mencari pekerjaan dan bukan membantu orang-orang mengerjakan tugas kuliah. Ya Tuhan, kenapa aku masih menganggur seperti ini? Padahal aku sudah satu tahun lulus kuliah dan rajin tahajud sejak beberapa bulan terakhir.

Dan kenapa pula aku masih ngekos di Jatinangor, kota kecil yang sumpek dengan rumah kos? Teman-temanku sudah pada ngacir. Rata-rata mencari kerja di Jakarta. Aku tidak mau. Aku maunya kerja di Bandung. Atau kalau bisa di Garut. Tapi apa yang bisa diharapkan dari kota itu? Kerja di pabrik dodol?

Aku bersikeras mendapat pekerjaan di Bandung. Bagusnya aku ngekos di Bandung juga. Sialnya, kakiku tampaknya terpancang kuat di kota ini. Berkali-kali aku berusaha kabur saat ada teman yang meminta bantuanku mengerjakan tugas kuliah mereka, selalu gagal. Apa aku ditakdirkan untuk membantu mereka? Apa seharusnya aku menjadi konsultan skripsi saja?

“Bisa, kan, Mi?”

Argh! Ingin aku menjerit, berkata lantang dan tegas pada semua orang bahwa aku tidak mau diganggu lagi.

“Nanti aku traktir mi ayam Mas Joko, deh! Tiap hari juga nggak apa-apa.”

Chichi berusaha membujuk. Namun aku sudah kebal bujuk rayu. Kenapa orang doyan mengambil jalan pintas untuk mencapai tujuannya? Mereka pikir aku siapa? Pakai dirayu, dibujuk, diberi iming-iming makan gratis. Aku tidak butuh semua itu. Aku butuh pekerjaan. Aku ingin lari dari sini.

“Mi?” tanya Chichi.

“Aku sedang banyak kerjaan.”

“Lho, katanya nggak kerja?”

Tolol! Aku memang tolol. Bukankah tadi aku mengatakan kalau aku tidak bekerja?

“Aku menerima jasa menerjemahkan… ng… freelance. Si Adi tuh yang ngasih kerjaan. Dia kan kerja di rental. Duitnya cuma cukup buat makan. Makanya aku malas bilang ini kerjaan.” Aku berdalih, berusaha menutupi ketololanku.

“Kalau begitu, kamu mau, nggak, menerjemahkan data yang kupakai untuk skripsiku?”

Aku tertegun. Buset! Ternyata anak ini pantang menyerah. “Kenapa nggak kamu terjemahkan sendiri?”

Chichi nyengir kuda. “Hehehe, takut salah.”

Aku melengos. “Aku dikejar deadline, Chi. Sorry, ya. Aku duluan.”

Kutinggalkan Chichi tanpa melihat lagi wajahnya.

***

Bimo benar-benar tidak bisa diandalkan. Dia cuma menyarankan agar aku berkata terus terang bahwa aku tidak bisa membantu mereka. Kuakui saran Bimo bagus, tapi aku ragu melakukannya. Siapa yang bisa menerima kejujuran?

Saat tengah meratapi nasib menjadi orang yang sok baik dan sok sabar, juga merasakan perut yang masih saja sakit (dan aku lupa membeli obat gara-gara kesal dengan Chichi), Eva menelepon. Dia sedang berada di Bandung dan akan menginap di rumah sepupunya.

“Boleh, nggak, aku ikut nginap di rumah sepupu kamu?”

“Rumah sepupuku kecil, Mi. Aku lupa ada berapa kamar di sana. Kalau kamu disuruh tidur di sofa ruang tamu nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa. Aku bisa tidur di mana saja.”

Segera setelah Eva menyetujui permintaanku, lekas-lekas aku mandi dan berkemas. Tak banyak pakaian yang kubawa. Rencananya, aku hanya akan menginap malam ini dan besok mencari tempat kos di Bandung, lalu pulang lagi ke sini.

Gorden kututup rapi. Tidak ada celah bagi maling, atau Fanny dan Nita, juga Chichi, untuk mengintip. Seprai masih acak-acakan dengan selimut yang belum kulipat. Masa bodoh!

Kukunci pintu. Kulihat jam di hp. Baru pukul satu. Tiga jam lagi Nita akan mendapati kamar kosanku sepi. Aku tersenyum geli. Enak juga ngerjain orang. Hahaha…

Tapi… Aduh! Perutku sakit lagi. Betul-betul sakit. Aku harus cepat-cepat ke toilet.

Terpaksa aku balik kanan seraya mengeluarkan kunci kamar dari dalam tas. Begitu masuk, kuselot pintu kamar dan kubanting tas ransel ke atas kasur.

Lumayan lama aku jongkok. Namun perutku masih saja sakit. Sangat sakit. Aku tidak sanggup pergi ke mana-mana.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk. “Mbak Ami…”

Nita sudah datang. Belum pukul empat sekarang. Kenapa anak itu sudah kemari?

Aku berusaha diam dengan harapan semoga Nita mengira aku pergi. Tapi rasanya aku butuh pertolongan. Aku harus ke dokter. Minimal minum obat sakit perut.

Kugeser selot dan kubuka pintu.

“Ya ampun! Mbak Ami kenapa?” tanya Nita terkejut ketika melihatku merangkak.

“Aku sakit perut, Mi. Bisa belikan aku obat, nggak?”

“Bisa, Mbak. Sebentar, ya. Aku titip tas.”

Dengan cepat Nita berlari menuruni tangga. Dia pasti panik melihatku dalam keadaan seperti ini. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain berbaring di kasur.

Tak lama kemudian, Nita datang membawa obat anti diare.

“Mbak Ami istirahat saja. Aku di sini jagain Mbak Ami. Nginap juga nggak apa-apa sambil mengerjakan makalah.”

“Hah?”

Namun aku tidak bisa banyak bergerak. Kubiarkan saja Nita mengerjakan tugasnya di lantai. Sesekali dia bertanya padaku. Kubantu dia semampuku. Karena tidak ada yang bisa aku lakukan selain berbaring dan menahan perut.

Meski begitu, aku tahu harus berbuat apa sekarang: mengirim SMS pada Eva sekadar memberitahunya bahwa aku tidak jadi menginap.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun