[caption id="" align="alignright" width="448" caption="Seorang penulis bayangan sedikit-banyak memiliki andil dalam pengembangan bahasa Indonesia. (foto: SXC.hu)"][/caption] Ya, saya adalah seorang ghostwriter atau penulis bayangan. Bagi yang belum tahu atau menganggap ghostwriter adalah profesi yang negatif, silakan Anda cari tahu dulu di internet. Saya sendiri sempat membahasnya di Harian Surya terbitan 5 September lalu. Tentu, bukan pro-kontra itu yang mau saya bahas. Di sini, saya hanya ingin sedikit berbagi. Seperti profesi-profesi yang lain, menjadi penulis untuk nama orang lain pasti ada suka-dukanya. Sukanya, selain soal honor, wawasan saya jadi terus bertambah. Karena kebutuhan setiap klien berbeda, maka saya harus belajar banyak hal untuk mengimbanginya. Misalnya tentang dunia militer, istri yang dipoligami, pewayangan, dan sebagainya. Sebelumnya, saya tidak tahu apa-apa soal itu semua. Lalu dukanya? Selain hak cipta hasil karya saya nantinya dipegang oleh klien, saya juga harus menuruti permintaan-permintaannya selama proses penulisan. Tidak jarang, gagasan saya berlawanan dengan kemauan sang klien. Tapi ego harus dikorbankan, sebab apa yang saya tulis memang bukan milik saya. Namun, ada kalanya saya mengelus dada juga. Betapa tidak, umumnya klien merasa lebih keren menggunakan istilah asing, terutama bahasa Inggris. Contohnya, mereka lebih suka menggunakan kata “attack” daripada “serangan”, “award” daripada “penghargaan”, dan seterusnya. Belum lagi yang sok Inggris seperti “account”, padahal ada kata “akun”. Ada lagi “effective”, padahal tersedia kata “efektif”, bahkan “manjur”, “mujarab”, “mempan”, atau “ampuh”. Saya pernah punya klien yang meminta judul bukunya berbahasa Inggris. Memang, judul itu menjadi lebih enak didengar. Tapi menilik isi buku total menggunakan bahasa Indonesia, saya pikir, kenapa judulnya harus bahasa Inggris? Saya paham, keinginan “menginggriskan” karya ini terbentuk karena segmen remaja cenderung lebih suka judul-judul Inggris. Lebih akrab dan mencolok di mata mereka! Tengoklah buku-buku di rak toko buku terdekat Anda, kalau tidak percaya. Namun setelah terjadi diskusi agak panjang, akhirnya klien tersebut setuju untuk mengindonesiakan judul dan istilah-istilah berbahasa asing di calon bukunya. Bahkan, dia akhirnya membantu saya mencarikan padanan kata asing di dalam calon bukunya itu. Saya bukan anti bahasa asing. Saya pun terus mengasah kemampuan bahasa Inggris dan Prancis saya. Tapi bila bahasa asing itu tidak sesuai dengan konteks wacana, saya akan menggunakan dan menyarankan kosakata bahasa Indonesia ke klien-klien saya. Ini juga sekaligus menambah perbendaharaan kata bahasa Indonesia di kepala saya. Sebab, kalau terus menggunakan bahasa asing, saya tidak akan tahu seberapa jauh keanekaragaman kosakata Indonesia. Bila bukan kita, siapa lagi yang mau memakai dan mengembangkan bahasa Indonesia? Barangkali kalimat ini terdengar klise bagi Anda. Tapi, memang sayang sekali kalau kita tidak peduli dengan bahasa keren ini. Tahukah Anda:
- Wikipedia bahasa Indonesia menduduki peringkat 24 dunia dalam hal jumlah artikel. Data lengkap dan teraktual bisa dipantau di Wikistats.
- Bahasa Indonesia adalah bahasa keempat yang paling banyak digunakan di Wordpress.com, blog engine gratis nomor 1 di dunia. Kita hanya kalah dari bahasa Inggris, Spanyol dan Portugis. Jangan percaya saya, lihat sendiri statistiknya di sana.
- Juga fakta-fakta lain, seperti bahasa Indonesia sebenarnya sudah dipelajari orang-orang di 45 negara, termasuk Amerika Serikat, Kanada dan Vietnam. Bahasa Indonesia menjadi bahasa populer keempat di Australia, dan bahasa kedua di Kota Ho Chi Minh, Vietnam.
Angka-angka itu dari tahun ke tahun bisa naik-turun. Namun sedikit-banyak itu membuktikan bahwa secara mondial bahasa Indonesia sama sekali tidak bisa diremehkan. Tak ada alasan untuk tidak bangga dengan lingua franca ini. Maksud saya, bangga dan menggunakannya! Bangga saja, tanpa mau ikut menggunakannya dengan baik, itu ibaratnya lain di hati lain di bibir. Saya sendiri sebagai seorang penulis bayangan punya cara-cara sederhana untuk mempopulerkan bahasa Indonesia. Bukan cara-cara yang hebat (karena saya bukan orang hebat), tapi niscaya mudah ditiru siapapun:
- Ketika menulis, sebisa mungkin saya menggunakan bahasa Indonesia yang standar. Kecuali, tentu saja, bila saya sedang menulis naskah Inggris. Begitu pula ketika menulis untuk orang lain. Saya pasti menggunakan kapasitas saya sebagai ahli menulis (setidaknya dibanding sang klien) untuk mempengaruhi klien agar mau berbahasa Indonesia secara total.
- Saat menulis naskah Indonesia, saya matikan fasilitas Auto Correction dalam program pengolah kata. Percaya atau tidak, kesalahan mengetik yang berakibat munculnya kata keinggris-inggrisan sering berawal dari masalah remeh seperti ini.
- Saya memutuskan beli Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jadi, bila saya ragu dengan makna atau eksistensi kata tertentu, saya tinggal membukanya.
- Saya tidak membalas SMS, komentar Facebook atau surel alay, kecuali kalau isinya menyangkut harkat-martabat atau hidup-mati saya. Bedakan bahasa alay dengan bahasa ringkas. Bahasa ringkas dipakai untuk kepentingan ekonomis, misalnya “yang” menjadi “yg”, “semangat ya” menjadi “smangat y”, dan seterusnya. Sementara bahasa alay, alih-alih menghemat malah menghabiskan ruang dan mengerutkan kening. Lihat saja, “semangat ya” menjadi “c3mhunguuds e4ah”!
- Saya membiasakan diri membaca, mendengar atau menonton media-media yang memiliki reputasi bagus soal bahasa, seperti produk-produk grup Kompas, Tempo, Wikimedia Foundation, dan lain sebagainya.
Sesederhana itulah yang saya lakukan untuk bahasa Indonesia. Anda punya ide sederhana lainnya? Ayolah, kalau bukan kita, siapa lagi yang mau memakai dan mengembangkan bahasa Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H