Mohon tunggu...
Rien Al Anshari
Rien Al Anshari Mohon Tunggu... -

a mamenkin sin

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mari Belajar Mengalami

1 Agustus 2010   14:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:24 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejatinya, teori muncul sebagai sebuah kesimpulan akhir dari sebuah pengalaman. Seperti Freud yang sudah memecah belah konsepsi pikiran menjadi tiga aspek kesadaran. Lalu Adler yang sekalipun awalnya adalah seorang Freudian memilih jalan berbeda dari Freud dan menganggap Freud terlalu menggunakan unsur seksualitas yang kurang realistis. Ia kemudian menitikberatkan teorinya pada unsur perasaan manusia dan bagaimana adaptasi manusia tersebut demi mengatasi perasaannya. Terakhir, Jung, sekalipun juga adalah seorang murid Freud dan sama-sama menekankan bahwa ketidaksadaran adalah penentu perilaku manusia, namun mereka kemudian berpisah pada posisi yang berbeda dalam mengambil kesimpulan asal mula ketidaksadaran ini. Freud mengatakan bahwa unsur seksual adalah faktor utama dan dominan dalam ketidaksadaran sementara Jung mengatakan sumber ketidaksadaran adalah warisan nenek moyang sehingga sifatnya sosial dan bergantung pada kelompok ras.

Saya tidak akan berpanjang lebar tentang teori kejiwaan. Saya hanya menggunakan para dedengkot teoritor ahli jiwa ini sebagai pembanding yang dimaksudkan menjadi gambaran dimana; kita belajar untuk tidak mengatakan salah satu di antara ketiganya salah dan salah satu yang lain adalah benar. Salah dan benar adalah proyeksi pikiran dan kesimpulan yang amat sangat dangkal. Salah dan benar adalah pembenaran dari keegoisan seorang pribadi yang menganggap dirinya, pikirannya, pandangannya jauh lebih baik dari siapapun yang mereka salah dan benar-kan. Salah dan benar adalah kenaifan yang konyol dan kekanak-kanakan. Salah dan benar seharusnya tidak menjadi ujung kesimpulan. Karena salah dan benar pada dasarnya tidak pernah ada.

Manusia-manusia seharusnya belajar dari pengalaman mereka masing-masing dan memahami bahwa apa yang mereka alami tidaklah pernah sama dengan apa yang orang lain alami dalam pikiran mereka. Perbedaan kesimpulan akhir yang menciptakan teori berbeda dari tiap-tiap orang, seperti Freud, Adler dan Jung yang sekalipun membahas objek yang sama berakhir pada konklusi berbeda akibat pengalaman yang berbeda.

Tapi ini tidak terjadi pada manusia-manusia kebanyakan, orang-orang malas yang hanya tahu mengutip dan membenarkan. Orang-orang malas dan bodoh tak pernah lagi berusaha mencari tahu. Orang-orang malas dan bodoh dan goblok lantas menjadikan pengamalaman orang lain yang bukan sama sekali pengalaman mereka sebagai tiang pegangan kehidupan mereka. Orang-orang malas dan bodoh dan goblok dan tolol dan moron yang seharusnya tidak perlu membawa otak mereka kemanapun mereka pergi dan sebaiknya meletakkan saja benda mati itu di dalam kulkas untuk kemudian diawetkan.

“Religion is an illusion and it derives its strength from the fact that it falls in with our instinctual desires.” – Freud. Do you believe this? Think yourself, why or why not?

Rien Al Anshari, Jakarta-SCBD, Rabu, 28 Juli 2010; 14.36

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun