kelemahan : (1) kurang mendorong partai berintegrasi satu sama lain, sebaliknya mempertajam perbedaan. Hal ini mempermudah berdiri partai baru pluralis, (2) wakil rakyat kurang erat hubungannya dengan konstituen, condong kepada partainya. Peranan partai lebih dominan personal wakilnya. Â Muncul. Kedudukan kuat pemimpin partai menentukan wakilnya di parlemen lewat stesel daftar. (3) banyaknya partai, sulitnya mencapai partai mayoritasm ketika sistem parlementer sulit membentuk pemerintahan stabil. Jadi harus berkoalisi (executive heavy vs legeslativ heavy)Â
Sistem pemilihan umum Indonesia
  1. Zaman demokrasi parlementer (1945-1959) : (a) pemilu paling demokratis, (b) memilih DPR dan konstituente, (c) total 27 parpol, (d) jumlah parlemen 257 kursi, (e) PNI, NU, masyumi, dan PKI dominan, (f) stabilitas politik tidak terwujud
  2. Zaman demokrasi terpimpin (1959-1965) : (a) mencabut kebebasan mendirikan partai, (b) ada 10 partai (PNI, masyumi, NU, PKI, Partai Katolik Partindo, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti), (c) tidak ada pemilu
  3. Zaman demokrasi pancasila (1965-1998)  : (a) sistem distrik ditolak lebih ke fusi partai, (b) total 460 anggota DPR (75 ABRI dan 25 utusan golongan), (c)  total 3 parpol (Golkar, PDI, PPP), (d) kebijakan floating mass, (e) tidak ada distortion effect, (f) fragmentasi partai berkurang, stabilitas politik tercapai
  4. Zaman reformasi (1998-sekarang) :(a) kebebasan mendirikan partai 48 parpol, (b) pilpres secara langsung (2004), (c) pemilu DPD mewakili kepentingan daerah, (d)  muncul parlementary threshold 3%, (e) presiden terpilih 50% plus 1 dan harus didukung 5% suara sah nasional dan 3% di DPR tahun 2004 (UU No. 12 Tahun 2003), (f)  Tahun 2004 ada 7 partai masuk DPR (Golkar, PDIP, PPP, PKB, PKS, PAN, dan demokrat)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H