Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk, novel yang ditulis Hamka tahun 1938 ini awalnya cerita bersambung yang dimuat dalam Pedoman Masyarakat. Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin paksa. Ironis budaya-budaya tersebut terus melegenda dan bertransformasi sesuai jamannya.
Ini cerita tentang transformsi budaya paksa kekinian. Kisah ini terjadi di sebuah departemen pengajaran di negeri Hastinapura. Pegawai di departmen pengajaran negeri ini dulunya bekerja dengan tenang dan damai. Semua menjalankan kebijakan-kebijakan departeman dengan sukacita. Namun pada suatu masa, kepemimpinan departemen ini dipimpin oleh seorang patih yang visioner. Sang patih memiliki penasehat-penasehat muda yang cakap dan handal. Sejak awal kepemimpinannya sang patih mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam beberapa bab. Pada sebagian bab dikebijakan yang diluncurkan cukup kontroversial.
Satu per satu bab diluncurkan tiap tahunnya, namun tidak semua ASH (Aparatur Sipil Hastinapura) di departemen pengajaran dilibatkan. Pada program-program pelatihan guru, tenaga widyaiswara yang biasanya memberikan pengajaran tidak pernah diminta untuk mengajar. Kalaulah ada beberapa yang mendapat kesempatan mengajar karena mereka lolos melewati serangkaian proses seleksi dan pembekalan. Perlahan namun pasti peran dan posisi penting pelatih digeser oleh guru, pengawas sekolah, dosen, dan praktisi, widyaiswara hanya menjadi penonton di rumah sendiri atau peran-peran kecil dalam bab-bab panjang kebijakan.
Hingga, sampailah pada suatu masa dengan beberapa alasan untuk membentuk center of exelent-lah, untuk menghemat anggaran negaralah, atau untuk mendekatkan guru dengan pusat pelatihan, Lembaga pelatihan yang pernah ada bertahun-tahun, rumah para widyaiswara berbagi ilmu berbasis mata pelajaran dengan guru-guru seluruh negeri Hastinapura dirobohkan. Rumah itu diganti dengan balai-balai yang tersebar di hampir semua provinsi negeri.
Rumah yang paling memprihatikan adalah rumah pelatihan guru mata pelajaran Bahasa luluh lantak, pegawai-pegawai administrator berhamburan pindah ke lembaga-lembaga lain. Rumah tempat mereka bertahun-tahun mengabdi diambil alih oleh lembaga lain, tinggallah beberapa orang bertahan karena kesetian pada profesi mereka, widyaiswara. Human capital yang telah ditempa dalam kawah candradimuka keilmuan, berbagai sertifikasi, pelatihan di luar negeri, kualifikasi Pendidikan S2, S3 ini tetap setia demi pendidikan di Hastinapura.
Tak sampai di situ, rupanya departemen juga ingin menceraiberaikan sebuah institusi mulia, keluarga pegawai-pegawainya. Tanggal 27 Maret 2023 pegawai balai-balai dikumpulkan dan diberi informasi bahwa untuk penataan pegawai, widyaiswara akan ditempatkan di balai-balai baru, yang baru dilahirkan, yang nota bene jauh dari ibukato Hastinapura. Dalam pertemuan itu disampaikanlah kepada kami, untuk eselon 2 hanya diperlukan 14 widyaiswara, untuk eselon 3 diperlukan 7 widyaiswara, eselon 4 diperlukan 5 widyaiswara. Untuk menata itu kami dihadapkan pada 3 opsi. Pertama, kami mutasi ke balai-balai yang baru, yang berada di luar ibukota. Kedua pindah ke instansi lain di luar direktorat yang menanungi kami, pun tidak disertai dengan petunjuk teknis dan mekanismenya. Ketiga, kami diijinkan tetap tinggal di lembaga kami dengan predikat pelaksana. Innalillahi wa innalillahi rojiun, allahuma jurni fi musibati wa akhlifli khoirun minha.Â
Widyaiswara, sumberdaya manusia yang menjadi aset departemen ini tidak hanya disia-siakan, namun juga dikerdilkan. Penasihat sang patih lalai bahwa dalam peraturan yang ada di departmen ini tidak dapat menghentikan widyaiswara dengan begitu saja. Widyaiswara dapat diberhentikan salah satunya karena melakukan tindak pidana. Peristiwa ini hakikatnya telah dialami saudara kami yang bernaung dalam lembaga penjaminan pengajaran, mereka dihadapkan pada pilihan yang sama, tetap menjadi widyaiswara tetapi jauh dari keluarga atau tetap di lembaganya dengan berganti baju widyaprada.
Paksaan-paksaan halus ini sungguh sebuah transformasi adat paksaan yang telah ada dahulunya. Memutuskan tali kasih antara widyaiswara dengan profesinya, memisahkan widyaiswara dari kelurganya seperti mamak Hayati memisahkan Hayati dari kekasih hatinya Zainuddin.
Duhai kisah, akankah engkau usai layaknya Hayati dengan Zainudin. Duhai rumah pelatihan guru akankah engkau tinggal nama yang akan dikenang abadi bak Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk? Duhai para pemimpin yang kami cintai tak takutkah engkau pada hukum Tuhan? Tak inginkah engkau mendapat naungan Tuhan di hari akhir kelak? [RR]Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H