Berlaku sejak 12 Januari 2014, larangan ekspor mineral mentah mulai diberlakukan sesuai dengan peraturan UU no.4 tahun 2009. Hal ini menjadi topik perbincangan yang hangat akhir-akhir ini. Tentunya secara keseluruhan peraturan tentang larangan ekspor mineral mentah ini membawa dampak yang positif untuk perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. Kebijakan ini seakan menjadi angin segar ditengah defisit neraca transaksi perdangan Indonesia dan diharapkan dapat menjadi “obat” bagi Indonesia untuk menyembuhkan defisitnya.
Tentunya apabila semua ekspor mineral Indonesia sudah dimurnikan sehingga ada nilai tambah dari tiap mineral yang diekspor akan sangat menguntungkan Indonesia. Sebagai contoh, Bauksit yang diolah menjadi alumunium nilainya bisa menjadi 19 kali lipat lalu alumunium yang diolah menjadi alumina nilainya bisa menjadi 20 kali lipat. Bayangkan bila bauksit tersebut diolah sampai menjadi alumina di dalam negeri maka nilai dari bauksit tersebut setelah diolah menjadi alumina bisa naik sampai 380 kali lipat! Bayangkan seberapa besar potensi pendapatan Indonesia apabila kebijakan tersebut berhasil diterapkan dan bukannya mengekspor mineral mentah sehingga nilai tambah tersebut malah dinikmati oleh pihak asing. Itu adalah salah satu dampak positif dari kebijakan tersebut dalam jangka panjang apabila berhasil diterapkan.
Tetapi yang perlu dicermati disini adalah bagaimana dampak dari kebijakan ini dalam jangka pendeknya? Dampak jangka pendek dari kebijakan tersebut tidak bisa dikatakan sepenuhnya baik. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dari kebijakan tersebut. Pertama, banyak pabrik tambang yang belum siap untuk melaksanakan pemurnian hasil mineral mereka karena pabrik mereka belum memiliki smelter atau fasilitas pengolahan hasil tambang untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil tambang tersebut. Tentunya pabrik yang tidak memiliki smelter tersebut tidak bisa melakukan ekspor karena hasil tambang mereka masih mentah dan belum diolah sehingga penjualan mereka sebatas domestik saja. Tentunya hal ini akan berbahaya untuk daerah tertentu yang mayoritas pabriknya tidak memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang atau smelter. Apalagi daerah-daerah di Indonesia timur banyak yang mengandalkan hasil tambang sebagai pemasukan utama kas daerah mereka. Dan daerah-daerah seperti ini banyak mengandalkan hasil tambang mereka pada pengusaha tambang setempat yang skala bisnisnya bisa tergolong kecil dan tidak memiliki fasilitas smelter sehingga dengan adanya peraturan pelarangan ekspor ini maka pendapatan daerah tersebut dapat diprediksi akan menurun drastis. Lalu yang kedua, Banyak yang mempertanyakan seberapa besar efek dari kebijakan tersebut akan meningkatkan nilai ekspor mineral Indonesia? Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) no.1 tahun 2014 dijelaskan bahwa rata-rata batasan mineral yang boleh diekspor adalah mineral yang telah dimurnikan hingga minimal 20%. Dengan adanya batasan 20% ini dirasa tidak akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia secara signifikan karena perusahaan pemegang ekspor mineral terbesar di Indonesia yaitu PT.Newmont dan PT.Freeport telah sejak lama melakukan pemurnian terhadap mineral yang akan mereka ekspor dengan tingkat pemurnian mencapai 25%-30% sehingga PP no.1 tahun 2014 ini tidak berdampak sama sekali terhadap kedua perusahaan pengkespor mineral terbesar di Indonesia tersebut. Seharusnya pemerintah membuat batasan minimal ekspor yang lebih tinggi sehingga dampak dari nilai tambah ekspor mineral tersebut akan terasa dampaknya karena batas 20% dirasa terlalu rendah dan tidak memiliki pengaruh sama sekali terhadap sebagian pihak.
Ada solusi yang diberikan oleh pemerintah untuk masalah yang pertama yaitu penerapan bea keluar bagi perusahaan yang ingin melakukan proses pemurnian mineralnya di luar negeri lalu setelah dimurnikan di luar negeri baru diekspor. Seperti yang diungkapkan Menteri Keuangan M. Chatib Basri bahwa tarif bea keluar ditetapkan mulai 20%-25% sampai 60% secara bertahap setiap semester sampai 31 Desember 2016. Adapun beberapa barang mineral yang akan dikenakan tarif bea keluar progresif tersebut diantaranya adalah pertama, konsentrat tembaga di atas 15%, konsentrat besi di atas 62% dan 10%, konsentrat mangan di atas 49%, konsentrat timbal di atas 57%, konsentrat seng di atas 52%, konsentrat ilmenite di atas 58%, dan konsentrat titanium di atas 58%. Sehingga sampai pada 31 Desember 2016 nanti apabila masih ada perusahaan yang akan mengirimkan mineralnya untuk dimurnikan di smelter luar negeri akan dikenakan bea keluar sebesar 60% dari total nilai mineral yang akan dimurnikan di luar negeri tersebut. Diharapkan dengan diterapkannya kebijakan ini perusahaan akan terdorong untuk membuat smelter dan memurnikan mineral hasil tambangnya didalam negeri sehingga tidak dikenakan bea keluar. Sedangkan untuk mineral yang tidak diolah sama sekali baik didalam maupun diluar negeri jelas dilarang untuk diekspor.
Tetapi untuk masalah yang kedua belum ada solusi yang diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut. Inilah yang menurut penulis masih menjadi kekurangan dari kebijakan tentang pelarangan ekspor mineral mentah. Diharapkan kedepannya pemerintah akan memberikan solusi terhadap persoalan tersebut sehingga efek dari kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah tersebut akan lebih terasa dan berdampak lebih signifikan terhadap pemasukan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H