ini karena hijaunya semesta yang aku lihat. tapi menurutmu toska. dan menurutnya biru. bukan sekedar melumat dan meramu hujan dalam nekara, tapi kehendakNya menuntunku. .... atau.. memang karena kehendak tololku sebetulnya? meramu dan melumat hujan dalam pembuluh darah, hingga hanya terlihat ekspektasi dangkal dari postulat bernomer 30:21.
sungguh tak ada niat memainkan postulat bernomer suci bagi kaum pejalan sunyi yang taat. sungguh! dirimu dan dirinya terpaksa terseret dalam harap bodohku.
sejak awal,
aku sudah tahu kalian beda.
dan tak ada pesimis mendatangiku.
tapi ia baru hinggap saat dirinya tersenyum masam sebelum menamparku hancur. dalam gerakan lambat bisa kau lihat telapak tangannya dipenuhi cakar. telapak tangan, bukan dibalik kuku. saat mengenaiku, pipi terkoyak teratur. dari pembuluh darahku yang hancur bau pesimis menyeruak.
dalam kesalahan terberat yang pernah kulakukan pada dagingmu yang juga dagingku dan pada dirinya yang rusuknya perlahan kuhinakan, perbuatan apa untuk menebus dosaku? ... hei senin, bisakah samakku jangan kau titipkan pada tamak? sekalipun kau menyuapku dengan lajak.. tenang, karna aku akan mengambil jarak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H