Dan dua ratus empat belas hari kemudian Betari duduk menjeplak anggun di dangau. Tepekur. Membiarkan rambut sepunggungnya tergerai bebas ditiup angin pagi yang berkabut. Memejamkan mata penuh khidmat, pelan menghirup udara pagi dan perlahan membuka mata. Betari beranjak dari duduk, berjalan menyusuri jalan berbatu cadas menuju kediamannya.
Sejenak ia perhatikan kembang sepatu yang masih menguncup, Betari berhenti melangkah, dedaunannya ditindih para embun. Betari mengangkat tangan kanannya, menyentuh lembut kelopak kembang sepatu kuncup itu dan beberapa detik kemudian kelopak kembang sepatu itu nampak seperti beruang yang menggeliat dari hibernasi panjangnya. Tangkai putik yang bergelung dibalik kelopak sekarang nampak gagah tegak berada di tengah lingkaran kelopak. Kelopak kembang sepatu berwarna merah muda itu kini terlihat pucat. Karena mekar sebelum waktunya. Lantas Betari memetiknya.
Betari telah menulis sebuah surat teruntuk Batara. Kini Betari berjalan menuju kayangan putih. Ia tersenyum kecut pada dua penjaga yang berada di tempat kesukaan Batara, dan Betari meletakkan surat itu di dipan mungil yang terbuat dari kayu sengon. Meletakkan kembang sepatu merah muda di dekatnya.
"Kelak jika kau kembali dan (terpaksa) ingat padaku karena surat ini, maka jangan mencariku. Aku telah menguap bersama epitaph dan megatruh. Mereka kini merapalnya karenaku. Pahami saja bait demi baitnya bagaimana letihnya aku menunggu seorang Batara.Dan mereka juga meninggalkan sebuah guratan gambar tentangku yang duduk bersimpuh dan menunduk dalam di depan menhir. Pahami saja gambarnya.. pahami. Namun itupun jika kau mau."
Riefka, 68121, 9.8.2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H