[caption id="attachment_211962" align="alignleft" width="190" caption="Adakah yang bisa membaca aksara Jawa itu?"][/caption] Batasan usia untuk menikah bagi wanita kini semakin bergeser. Entah karena belum siap lahir dan batin atau karena masih menyukai kebebasan sendiri, keduanya adalah kemungkinan yang menjadikan wanita menunda melengkungnya janur kuning. Di Asia, wanita melajang dianggap tabu. Herannya seringkali ketakutan untuk masih melajang ini dimiliki oleh orang-orang tua. Rasa takut lebih akut di Asia. Wanita lajang melewati usia 30 dipandang dengan kecurigaan dan belas kasihan. Padahal kita (yang melajang) berpikir tentang orang-orang yang menunda pernikahan sebagai pribadi yang bebas melakukannya karena pilihan, perempuan yang tetap melajang bersifat sosial dan menolak atau belum menikah karena keadaan. Banyak sebutan nylekit disandangkan pada spinster. Orang Jepang menyebut mereka "makeinu" (anjing pecundang) karena telah gagal diberikan Tuhan misi mereka. Orang Cina menyebut mereka "sheng nu" (gadis sisa). Sedang orang Jawa menyebutnya "prawan tuwa" atau "prawan kasep" (perawan tua atau perawan kadaluarsa). Di Asia, --utamanya Indonesia-- yang penuh dengan stigma-stigma ini, membuat ruang gerak wanita untuk melajang menjadi sempit. Sebagai contoh: pada setiap pertemuan keluarga atau pun pertemuan dengan rekan kerja, pertanyaan yang terdengar wajar itu sungguh-sungguh menggigit. "Masih single ya?" atau "Kapan nikah?" Trus musti jawab gimana coba? Tidak menjawab atau salah menjawab ntar malah dikira lesbian, iya khan? Walau semasa kecil wanita-wanita ini telah dicekoki dengan cerita-cerita princess yang menikah di usia 17 tahun, namun kenyataan tidak segampang film Snow White atau Sleeping Beauty, yang hanya dengan sedikit sengsara kemudian mendapat Prince Charming lalu menikah setelah ultah ke-17. Life is not disneystory kawan! Banyak pula wanita-wanita yang lebih mementingkan kariernya dari pada yang lain. Meski berpendidikan, pandai, mapan, tapi mencari/mendapat jodoh bagi mereka mungkin tak semenarik meniti karier. Dan ada pula wanita-wanita yang meski bukan tergolong sebagai wanita karier tapi juga memilih untuk melajang. Saya, misalnya. Lhah mau dibilang karier gimana, wong kerjanya aja sebagai pembantu alias babu. Pekerjaan sebagai pembantu khan enggak bakal naik pangkat atau jabatan, iya khan? Kalau naik gaji masih mungkin, itu pun kalau bosnya berbaik hati, ikhlas mensedekahkan uangnya kepada orang yang dengan menggerutu mengosek WC-nya dua kali dalam sehari, empat belas kali dalam seminggu, 420 kali dalam sebulan, 5.040 kali dalam setahun dan 10.080 kali dalam satu kontrak kerja. Bayangkan! Cinderella-cinderella bertitel babu yang enggak bakal berubah menjadi princess ini bukannya tidak menginginkan untuk menikah, namun ya memang keadaan belum memungkinkan. Tuntutan ekonomi dan (mungkin) keluarga yang sudah kadung tergantung dengan besarnya duit trasferan menjadi salah satu kendala. Belum lagi sempitnya atau minimnya waktu dan kesempatan untuk mengenal pria. Namun baik di Indonesia maupun para pekerja migran yang masih melajang ini ada sedikit akal untuk mencari jodoh, ya kalau-kalau nyangkut. Jejaring maya seperti Yahoo Messenger, Facebook, Skype menjadi alternatif. Ada juga whatsapp (whatsapp tuh termasuk maya bukan ya?).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI