Mohon tunggu...
Ridwan Sumantri
Ridwan Sumantri Mohon Tunggu... -

Saya seorang tuna daksa yang hobi menulis walaupun tidak memiliki kemampuan menulis dengan baik. Saya menjadi cacat sejak tahun 1999. Awalnya terjatuh dari pohon kelapa. Hobi saya olahraga. Untuk kondisi seperti sekarang saya menyukai olahraga tenis kursi roda.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belis Gading Gajah

26 November 2009   09:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:11 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membaca Kompas edisi Minggu 22 November 2009, saya tertarik dengan ulasan seputar berita dengan judul “Maumere, Gading Gajah Tabungan untuk Kuliah”.

Masyarakat Flores ternyata memiliki adat istiadat yang unik sekaligus menakjubkan. Betapa tidak, jika seorang laki-laki berniat menikahi seorang gadis. Maka, ia harus menyiapkan beberapa batang gading sebagai belis (mas kawin). Bagi masyarakat Sikka, calon pengantin laki-laki harus menyiapkan sepuluh batang gading yang panjangnya antara 30-60 cm. Harga gading sepanjang itu antara 20-30 juta. Berarti jika dikalikan sepuluh, maka, ia harus menyiapkan uang sebanyak 200-300 juta.

Lain lagi di Adonara. Di sana cukup 5 batang gading dengan panjang antara 1,25-2 meter. Harganya bisa mencapai Rp. 200 juta lho. Waaah… gimana, ya, kalau laki-lakinya gak mampu beli gading seperti saya? Satu-satunya cara harus menikahi gadis dari luar Flores. Seperti penuturan salah seorang yang diwawancara, “Untung saya dapat istri orang Jawa. Kalau tidak, ya, harus menyediakan gading juga,”(Kompas, Minggu, 22 November 2009).

Adat memberikan belis berupa gading menjadi persoalan tersendiri. Seorang Suster menuturkan mas kawin yang dibayar pihak laki-laki kepada perempuan itu nilainya tinggi, terutama karena harus menyertakan gading gajah, sehingga ada pasangan yang menikah hanya secara adat, tidak disertai pencatatan sipil. Akibatnya, hak sipil perempuan sebagai istri dan anak tidak diakui negara (Kompas, Senin, 19 Oktober 2009).

Selain untuk belis, gading juga merupakan ukuran status sosial, kekayaan, mas kawin, dan bahkan tabungan pendidikan anak-anak mereka (Kompas, Minggu, 22 November 2009). Konon, tradisi menyimpan gading berawal ketika raja Sikka pada awal 1600-an pergi ke Malakka yang berada di bawah kekuasaan Portugal. Ketika pulang dari sana, ia mendapatkan cendera mata berupa gading seisi kapal penuh.

Satu lagi, gading-gading tersebut didapat bukan dari membunuh gajah dengan sengaja, melainkan gading itu berasal dari gajah yang mati secara alamiah (Kompas, Minggu, 22 November 2009).

Berkat gading gajah itu pula seorang Anggota DPR Kabupaten Sikka bernama Paulina Yeni bisa lulus kuliah. Hebat, ya. Ragam budaya di Indonesia memang sungguh luar biasa. Kita semua harus bangga dengan keragaman ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun