Deklarasi Partai Nasdem mengusun Ridwan Kamil sebagai bakal calon Gubernur Jawa Barat (Jabar) adalah titik awal manuver parpol dalam Pilgub Jabar 2018. Dari titik ini, parpol-parpol lain pun bergerak.
PKS dan Partai Gerindra yang selama ini berkarib dengan RK,memutuskan untuk menutup pintu bagi Walikota Bandung tersebut. PKS bahkan sudah menyebut memiliki 5 nama. Santer dua di antaranya adalah Wagub Jabar Dedi Mizwar serta Netty Ahmad Heryawan, istri Gubernur Jabar definitif. PartaiGolkar pun sudah bertegas-tegas akan mengusung Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Salah satu kandidat yang juga digadang-gadang dalam beragam survei adalah Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf, politisi Partai Demokrat yang merupakan mantan Wagub Jabar sebelumnya.
Berpijak pada konstalasi politik yang mulai memanas, dukunganr esmi Nasdem kepada RK adalah sebuah perjudian. Pasalnya, mustahil Nasdem mengusung Gubernur Jabar tanpa koalisi. UU Pilkada No 8 Tahun 2015 tegas mensyaratkan perolehan minimal 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari total perolehan suara sah dalam Pileg DPRD Jabar, bagi parpol atau gabungan parpol yang hendak mengusung paslon.
Sehingga wajar jika Nasdem pun memberi sinyal siap berkoalisi dengan parpol manapun demi memenuhi syarat tersebut. Ini adalah sinyal Partai Nasdem untuk menarik perhatian mitra koalisinya di pemerintahan. Itu pun tidak bisa semuanya. Pasalnya, Partai Nasdem telah ketempuan dampak dari Pilkada DKI Jakarta. Partai Nasdem, bersama PDIP, Golkar, dan Partai Hanura sudah dipersepsikan publik sebagai parpol pendukung penista agama. Sehingga parpol-parpol di luar kubu ini akan amat hati-hati untuk berkoalisi dengan Partai Nasdem.
Jika ditelisik, dua parpol yang paling berpotensi menyelesaikan “kemiskinan”kursi Partai Nasdem adalah PDI-P dan Golkar. PDIP punya relasi intim dengan Nasdem. Partai moncong putih ini pun memiliki kursi lebih dari 20% di DPRD Jabar. Masalahnya, PDIP konon sedang menyeleksi bakal calon. Ada Ketua DPD PDIP Jabar TB Hasanudin, Sekda Pemprov. Jabar Iwa Karniwa, serta Ketua DPRD Jabar Inneu Purwadewi. Sebaliknya, kendati kursi DPRD kurang dari 20%, cukup dengan berkoalisi dengan Nasdem atau dengan PPP atau PKB, Partai Golkar sudah bisa mengusung paslon sendiri. Masalahnya adalah perkara Jabar 1 dan Jabar 2. Setiap parpol besar cenderung tidak ingin jadi pelengkap. Khususnya Partai Golkar yang sudah sejak lama mengadang-gadang Ketua DPD Partai Golkar Jabar, Dedi Mulyadi.
Berpijak bahwa RK adalah kandidat yang paling diunggulkan dalam survei, bisa saja berlangsung menuver asal bukan RK dalam Pilgub Jabar.Parpol-parpol bersepakat mengunci RK agar tidak mendapat tiket Cagub Pilkada Jabar. Tujuannya, agar pertarungan berlangsung relatif seimbang. Atau bisa pula dilakukan untuk menetak hasrat RK akan berhenti pada opsi cawagub, sementara cagubnya dari kader parpol-parpol besar. Opsi ini pernah dilakukan untuk membendung hasrat Prabowo Subianto pada Pilpres 2009. Karena kekurangan syarat, Prabowo akhirnya menurunkan ambisinya dengan menjadi cawapres Ketum PDIP Megawati.
Jika opsi menjegal RK yang diterapkan, maka pertarungan Pilkada Jabar berpotensi mengerucut pada tiga kutub; sebagaimana yang terjadi di DKI Jakarta. Kutub Megawati, Susilo Bambang Yudhoyo dan Prabowo Subianto. Karena PDIP tak memiliki kader yang kuat, potensi dukungan akan mengalir kepada Dedi Mulyadi. Partai Gerindra pun tak memiliki kandidat internal yang membumi,sehingga berpotensi berkoalisi dengan PKS untuk mengusung Dedi Mizwar. Terakhir, Partai Demokrat akan memajukan Dede Yusuf.
Opsi ini sah dalam politik. Pasalnya, dalam pilkada, parpol diuji tidak hanya piawai memperlihatkan kebesaran suara berupa peraihan kursi,tetapi harus menunjukkan kemampuan membaca kehendak rakyat. Dan ketiga kandidat tadi, adalah tokoh-tokoh yang mewakili keinginan masyarakat Jabar berbasiskan survei INSTRAT atau Indo Barometer. Posisi popularitas dan elektabilitasnya pun relatif seimbang ketimbang jika RK masuk ke dalam kancah permainan. Terakhir,mereka adalah kader-kader utama parpol. Mereka sudah berkeringat untuk membesarkan parpolnya masing-masing. Opsi ini bisa jadi jalan tengah di mana keinginan masyarakat diakomodir, tetapi peluang bagi kader parpol tidak dikebiri.
Lagipula, sejatinya RK tidak punya posisi tawar apa-apa selain popularitas dan elektabilitasnya. Jika ngotot, boleh jadi RK maju lewat jalur perseorangan. Tetapi, tradisi calon perseorangan belum terbangun kuat dalam pemilihan gubernur, termasuk Pilgub Jabar karena perlu dukungan dan modal yang besar. Lihat kasus Basuki Tjahaya Purnama yang mengklaim dukungan 1 juta KTP,tetapi akhirnya maju lewat jalur parpol juga.
Fenomena ini terang dipahami RK. Buktinya dalam beberapa pernyataannya, RK menyebut memiliki opsi lain. Jika tidak dapat tiket cagub Jabar, RK akan kembali bertarung di Pilkada Bandung untuk periode kedua. Atau kembali jadi arsitek. Sebaliknya, akibat manuver Nadem, serangan-serangan terhadap RK pun mulai masif. Ada dua serangan yang paling berbahaya. Pertama,tudingan RK mengabaikan kota Bandung demi mengejar tiket cagub Jabar. Kedua, RK masuk polarisasi sekutu parpol pendukung penista agama. Maknanya perjuangan RK menuju kursi gubernur Jabar semakin berat akibat kebiasaan Partai Nasdem bermain cepat. Semoga saya salah!
pernah dimuat di politiktoday