Malu itu bagian dari iman . Seperi petinju yang harus dicopot tulang rawan di hidungnya, persyaratan untuk menjadi anggota DPR pun sekarang nampaknya harus menjalan hal yang serupa, yaitu operasi kecil untuk memutuskan urat rasa malu di lehernya. Sehingga raut mukanya akan tenang-tenang saja, meski ketololannya disaksikan jutaaan orang. Bisa dibuktikan , bagaimana para politisi ini masih bisa berkelit-kelit dan ketawa cekikikan disaksikan jutaan rakyat melalui televisi, termasuk ribuan nasabah kecil yang telah kehilangan uang tabungannya.
Selain rasa malu, syaraf perasa lainnya yang harus diputuskan dan tak boleh tersambungkan ialah urat rasa takut, Bahkan untuk bisa menjadi anggota DPR yang kuat dan jempolan, rasa takut yang harus dihilangkan bukan hanya rasa takut terhadap hukum dan penjara, kalau perlu harus mempan juga terhadap rasa takut kepada Tuhan. Ancaman hukum penjara itu kecil bisa diatur di pengadilan, ancaman hukum Tuhan juga harus bisa diremehkan. Kalau masih takut sama Tuhan ngapain jadi politisi. Jadi anggota pengajian saja, duduk yang takdzim dengarkan ceramah agama, jangan ngurusin politik segala.
Mengharap yang tak habis habisnya melihat kiprah wakil kita di DPR, bisa-bisa jutaan rakyat Indonesia bakal semakin banyak yang mengidap penyakit TBC, maag, jantung, darah tinggi dsb. Demi kesehatan, tampaknya lebih baik kita sendiri yang merobah sudut pandangnya dan berputus harapan dengan mereka yang duduk dilembaga legislatif tersebut. Tak ada cara lain, kita harus menganggapnya ini acara dagelan, sehingga kita bisa ikut ketawa-tawa menyaksikannya para badut ini beraksi, dari pada mubazir sekali telah membayar mahal gaji dan tunjangan mereka. Atau kita harus menganggap ini acara atraksi sulap, supaya mulut kita berdecak terkagum kagum, melihat bagaimana para pesulap ini bisa menghilangkan sejumlah uang trilyunan, tanpa bekas dan tanpa jejak. Pesulap sekelas David Coverfield saja belum tentu bisa. Atau kalau ingin lebih rasional, kita bisa menyadari kesalahan asumsi terhadap mereka. Sehingga bisa menyimpulkan, bahwa lebih dari itu-pun pantas-pantas saja, untuk ukuran orang yang sudah tidak lagi mengenal rasa malu dan kehilangan iman.
Sudah saatnya dan belum terlambat bagi kita, untuk segera sadar dan mengambil sikap. Bangsa sekelas apa sehingga bisa diperlakukan seperti ini dalam penyelenggaraan pemerintahan sendiri yang merdeka. Selama puluhan tahun, secara berulang-ulang. Lalu jejak siapa sebenarnya yang sedang kita ikuti ?. Jejak darah semangat para pahlawan revolusi yang telah gugur mengusir penjajah, atau semua telah ikut tergiring oleh tipu daya para munafik nasional, yang telah menggiring kita kembali ke dalam jebakan kubang penjajahan yang baru. Dengan dalih apa lagi kita memungkiri kondisi seperti ini. Mari kita lihat dengan seksama melalui penglihatan normal dan lugas. Jiwa-jiwa yang menjadi korban dan teraniaya akan terhitung sama dan bahkan melebihi dari jumlah yang telah terenggut oleh penjaja sebelum tahun 1945. Harta kekayaan negara yang telah hilang, laut, hutan dan pertambangan, akan terhitung jauh berlipat lipat dibandingkan jumlah yang telah dirampok paksa semasa jaman penjajahan dulu. Belum lagi dihubungkan dengan utang yang sudah selaput dada
Kebenaran itu jelas nyata dan kebathilan itu juga jelas nyata. Semua hitam dan putih tidak ada yang abu-abu. Kepala boleh dipusingkan dengan angka-angka, untaian kata-kata diplomasi atau rekayasa media dan teknologi. Tapi hati ini bukan kita yang mengisi, tak bisa dibohongi meski oleh pemiliknya sendiri, yang benar itu nampak benar, yang salah itu nampak jelas sekali salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H