Apa jadinya jika PLN masuk ke desa-desa?
Permasalahannya tidak bisa dipandang sesederhana seperti menekan sakelar lampu untuk menyala. Umumnya penduduk desa seperti di Cibuluh, hidup dari bertani secara subsisten.
Pegawai negeri yang mendapat jaminan gaji tiap bulannya hanya kurang dari sepuluh orang guru pns dari sekitar 1200 kepala keluarga. Bayangan mimpi buruk perekonomian desa semakin menjadi kenyataan jika beban uang yang keluar dari desa bertambah dengan kolektivitas jumlah biaya listrik yang harus dibayar ke PLN. Jika 1200 kk itu membayar masing-masing minimal 30 ribu rupiah saja untuk rekening listrik, akan ada sekitar 36 juta uang keluar tiap bulannya, dibandingkan dengan penghasilan tahunan dari sektor pertanian subsisten.
Sudah lama tidak ada lagi bangunan lumbung padi karena semuanya habis terjual. Jangan harap ada lagi buah-buahan pisang, singkong atau ikan untuk jamuan jika berkunjung sebagai tamu di desa karena itupunterpaksa harus dijual untuk kebutuhan hidup, bahkan kaum ibu-ibu yang memasaknya pun tidak nampak di rumah, karena sudah setahun ini pergi ke menjadi tkw di Malaysia atau salah satu negara di timur tengah. Seorang anak terpaksa harus tinggal bersama kakek-neneknya yang sudah renta karena bapaknya pun pergi entah ke kota entah dimana.
Konon masih 90 juta penduduk Indonesia belum mendapat fasilitas enerji listrik yang layak, quo vadis kebijakan enerji nasional kita?. Ribuan megawatt potensi enerji terbarukan yang tercecer dalam skala kecil di desa-desa belum tergali manfa'atnya. Sumber enerji murah untuk rakyat tak lagi menarik, mungkin skala proyeknya kecil-kecil, dan tak rela monopoli bisnis ini terserobot sedikitpun juga.
Semoga “cicak” di Cibuluh ini masih bisa bertahan.
Ridwan Soleh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H