Malam di tempat ini begitu sepi. Udara begitu dingin dan aku hanya ditemani lampu yang agak redup ini. Ternyata seperti ini rasanya menikmati malam pertama di kota besar. Ah, kenapa harus ada kota besar dan kecil? Di taman ini aku hanya duduk bersama tas besarku dan melihat pohon-pohon besar berada di bawah cahaya bulan.
“Kamu itu harus tahu diri no! Semenjak kamu kuliah di tempat itu dan tinggal di asramanya, kamu berubah no, kamu sudah bukan menjadi Vino yg Mama kenal!” ingatan ku melayang mengingat saat-saat dimana aku berdebat dengan ibuku sendiri, seorang wanita yang seharusnya aku muliakan, bukan malah diajak berdebat tanpa mau kalah bicara.
“Ma, kenapa harus menolak perubahan sih? Aku kuliah di sana belajar ma, mengganti sifat-sifat burukku dengan sifat-sifat yang menurut ku baik ma. Aku setelah kuliah di sana merasa ada yang salah di dalam hidup ku ma,” Aku membentak ibuku sendiri yang sejak kecil aku tak pernah melakukan ini.
Tidak ada suara orang-orang sibuk bersiskamling di tempat ini, tidak ada suara adik-adikku yang biasa aku kerjai, tidak ada suara teman-temanku yang bernyanyi di teras rumah, tidak ada tukang sate yang biasa aku hutangi saat aku lapar, tempat ini sangat begitu sepi. Ponsel telah kumatikan, jam tangan telah ku jual, taman ini benar-benar sepi sekali.
Aku melihat bintang yang sudah selama ini aku abaikan. Ternyata bintang itu banyak, hanya terlihat sedikit di rumahku, karena cahayanya kalah oleh cahaya lampu-lampu rumah. Harus bagaimana lagi, ku pikir hidup itu adalah pilihan, dan aku bebas untuk memilih apa pun. Bebas, hidup itu adalah kebebasan. Bebas bagiku adalah ketika aku bisa melakukan apapun tanpa ada yang melarang, itu aku dapatkan saat aku berada di tempat kuliahku.
“Maaf kak terlambat. Aku tadi kesiangan bangun” itulah suara pertama yang aku keluarkan ketika aku untuk pertama kalinya bertemu dengan kak Vena. Vena, namanya hampir mirip dengan namaku, hanya berbeda di huruf vokal saja. Setelah ku pandangi kak Vena, dan dia begitu sangat cantik bagi ku, akhirnya aku berharap dia jodohku, seperti nama kita yang hampir mirip.
“Sudah, masuk ke kelas saja. Siapa namamu?” kak Vena memberhentikan langkahku yang tadinya sudah harus melangkah menuju ruang kelas.
“Vino ka, Vino Irawan Gibran.”
“Oh ya, kamu jangan panggil aku dengan kakak lagi. Di jurusan ini kita semua setara, tidak ada senior atau junior. Terus, kamu santai saja, tidak usah terburu-buru seperti itu, setiap waktu dalam hidupmu harus kamu nikmati dengan bahagia, bukan seakan-akan kamu dikejar setan seperti tadi.”
Itu adalah saat pertama aku masuk kuliah, di hari pertama ospek sebenarnya aku terlambat 30 menit. Dan aku hampir tak percaya, ketika aku memasuki kelas untuk ospek di hari pertama itu, mahasiswa baru yang baru datang hanya baru lima orang, termasuk aku. Baru setelah beberapa lama aku kuliah di sini, ternyata terlambat sudah menjadi kebiasaan mahasiswa jurusanku, meskipun tidak mau untuk dibilang terlambat.
Untuk mengetahui nama kak Vena begitu sulit bagi ku, tetapi aku menikmatinya, seperti aku menikmati malam ini, meskipun sepi. Kak Vena selalu dipanggil Elma oleh teman-temannya. Selain itu, di akun-akun sosial medianya kak Vena selalu menggunakan nama palsu, meski pun fotonya tetap foto dia. Aku bisa mencari absensi kelas kak Vena di salah satu ruang di Fakultas kampus, tetapi itu sama saja dengan bunuh diri, karena di sana ada dosen ku, dosen yang sangat cantik melebihi kak Vena, nanti ku ceritakan. Selain itu juga aku bermasalah dengan urusan uang kuliah.
Aku adalah seorang pemalu, itu yang aku rasakan. Aku tak ingin berjalan di depan orang-orang banyak. Tak ingin banyak berbicara dengan orang asing, dan kemana pun aku pergi, aku selalu memakai topiku, karena itu bisa menutup wajah ku. Aku hanya ingin sendiri dan berada di tempat yang sepi, seperti malam ini, malam yang sangat aku rindukan di setiap malam-malamku.
Semenjak kecil, keluarga besar ku selalu mengatakan kepadaku jika aku ini tampan, mewarisi ketampanan ayahku mereka bilang. Teman-teman kecilku juga mengatakan demikian dan teman-teman ayah dan ibuku juga mengatakan seperti itu. Saat aku kuliah pun, orang-orang di sekitarku menyebutku dengan sebutan ‘si tampan’. Sayangnya, karena aku pemalu dan tidak suka banyak berbicara pada orang-orang asing, mahasiswi-mahasiswi di kampusku mengatakan aku ini orang yang sombong, terlihat angkuh, padahal tidak seperti itu aku kira.
Karena wajahku juga, ku kira pada akhirnya kakak-kakak kelasku memanggilku suatu hari untuk rapat organisasi. Menurutku, dalam materi kuliah aku tak bisa apa-apa, dalam hal berkomunikasi aku kesusahan dan dalam hal keuangan aku pas-pasan, malah sering kekurangan. Karena kakak kelasku baik pada ku, akhirnya aku mau untuk mengkikuti rapat mereka. Di dalam rapat itu, aku akhirnya tahu jika kak Vena adalah ketua dari organisasi ini. Aku mulai merasakan sesuatu yang aneh di dalam rapat itu. Aku sama sekali tidak memiliki fungsi di dalam rapat itu, kecuali hanya kepala yang mengangguk-ngangguk, tangan yang bertepuk tangan dan wajah yang kadang-kadang harus tersenyum terpaksa.
Setelah rapat selesai, kak Vena meminta bantuanku untuk membawakan barang-barang organisasi ke tempat sekretariat organisasi. Aku hanya manut-manut saja. Di sekretariat itu aku melihat banyak foto-foto yang dipajang di dinding. Aku melihat foto kak Vena dengan memegang bendera negara sedang berada di puncak gunung, di sebelahnya foto kak Vena berada di hutan yang sangat hijau dan disebelahnya lagi foto kak Vena tepat berada di depan kampus bersama teman-temannya.
Malam itu seperti malam ini, sepi dan sejuk. Malam itu aku tak sengaja melihat celana kak Vena yang menggantung di atas pintu kamar mandi sekretariat. Ku pikir ini kesempatanku. Aku memegang celananya dan aku dapatkan dompetnya! Aku bawa dompetnya dari celana itu dan aku lihat KTP yang berada di dompet itu. Tertulis nama Marvena Lani Shelma. Dari situlah aku tahu nama kak Vena yang sebenarnya. Niatku ternyata bertambah, aku tidak puas hanya dengan KTP itu, aku melihat banyak uang di dompet itu dan aku sangat membutuhkannya. Tepat ketika aku memegang lembaran uang itu, kak Vena keluar dari kamar mandi dan aku terkejut. Dia tidak memakai celana dan hanya memperhatikan aku. Badanku terasa bergemetar, baru pertama kalinya aku melihat wanita tidak memakai celana tepat di depanku. Aku segera mengembalikan celana kak Vena dan dompet beserta uangnya, lalu aku pergi ke depan sekretariat. Di dalam hatiku aku merasa bersalah.
“Marvena Lani Shelma, nama yang bagus kak.” Aku mulai memecah kebisuan malam itu setelah aku memberanikan diri masuk ke sekretariat dan melihat kak Vena sedang membereskan barang-barang organisasi.
“Aku panggil kakak kak Vena saja ya kak. Lebih pas sepertinya.” Kak Vena seperti enggan untuk menjawab atau sekedar menemaniku berbicara.
Tiba-tiba kak Vena menarik ku ke dinding, dia berbisik,” Jangan panggil kakak lagi.” Setelah itu kak Vena menciumku. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan, ini adalah pertama aku merasakan ciuman. Ingin berhenti, aku khawatir kak Vena akan marah. Akhirnya aku hanya menuruti apa yang diperintahkan kak Vena hingga malam itu berakhir dengan hubungan seks bebas. Pada awalnya aku ingin menolaknya, tetapi perlahan aku mulai menikmatinya.
Aku tidak menyangka malam ini bisa mengingat malam itu lagi, dimana malam itu telah merubah cara pandangku dalam mencari uang. Setelah kejadian itu, kak Vena bersikap sangat baik pada ku, memperlakukan aku layaknya adik kandung dan sering memberikan uang saku. Sayangnya, aku sudah tidak bisa lepas dari kak Vena, akhirnya setiap malam minggu aku diajak berhubungan seks dengan imbalan uang yang sangat lumayan buat aku.
Aku sadar aku ini tampan, dan setiap orang memiliki kelebihan. Mungkin ada orang yang hebat berdagang, hebat dalam mata kuliah, hebat dalam berbagai bahasa dan aku mungkin ini, wajahku. Sejak itu aku mulai berpikir untuk memanfaatkan wajahku untuk mencari uang.
Malam ini tidak ada rokok atau kopi yang biasa teman-temanku sajikan, meskipun aku tak suka tetapi mereka selalu saja menyajikannya. Aku bukan perokok atau peminum kopi, dan malam ini aku bahagia, karena di kota baru ini, di taman ini tidak ada asap rokok di sekitarku.
Uang dari kak Vena belum cukup untuk ku. Jika pengusaha bisa melebarkan sayap, aku pun meniru mereka dengan melebarkan sayap juga. Suatu hari aku diajar oleh seorang dosen yang sangat cantik. Setelah perkenalan, aku tahu dosen ku ini adalah seorang janda. Aku mulai mendekati ibu dosen ini. Banyak hal yang aku bicarakan dari mulai materi-materi kuliah hingga kehidupan pribadiku. Seiring waktu berjalan, aku menjadi dekat dengan dosen ku ini, dan akhirnya kegiatan ‘mencari uang ku’ dengan kak Vena, melebar menjadi dengan ibu dosen ini juga. Aku paham setiap aku ke kantor Fakultas, aku pasti akan diberi uang oleh ibu dosen ini, yang kapan pun ibu dosen ku ini membutuhkan aku, aku harus siap untuk ‘menemaninya’.
Dengan uang yang lumayan banyak, hasil dari ‘kerjaku’ kepada kak Vena dan ibu dosen ku, liburan semester ini aku bisa pulang ke rumah orang tuaku, rumah yang sangat aku rindukan. Sudah sejak lama aku tidak bisa pulang ke rumah orang tuaku.
“Assalamu’alaikum. Mama, Vino pulang ma.” Aku berteriak sambil berjalan di halaman rumah orang tuaku.
“Wa’alaikum salam. Sayang, kamu pulang.” Ibuku memeluk dan mencium ku. Ibuku sangat bahagia, terlihat dari wajahnya dan sorot matanya.
Aku pulang ke rumahku setelah hampir tiga tahun lebih aku tidak ke sini. Ayahku sedang mencari ikan, dan adik-adikku sedang sekolah. Ibuku langsung memasak masakan kesukaan ku, aku bahagia sekali, aku selalu senang untuk dimanja. Mungkin karena ini juga, aku tidak tertarik dengan perempuan yang sebaya denganku, tetapi aku lebih tertarik dengan wanita seperti kak Vena atau ibu dosenku yang membuatku bisa lebih nyaman.
Ayahku begitu bahagia melihatku, apalagi aku akan menjadi seorang sarjana. Anak seorang pencari ikan menjadi sarjana, sebuah kebanggaan bagi ayah dan keluargaku.
Malam ini aku mengingat itu lagi, hari dimana aku untuk pertama kalinya setelah kuliah pulang ke rumah orang tuaku. Aku meneteskan air mata di taman ini, mengingat betapa bahagianya orang tuaku melihat aku, dan menahan perih di dalam hati ini bagaimana sulitnya mencari uang untuk tetap bertahan kuliah.
Malam ketiga di rumah, rumah orang tuaku kedatangan seorang tamu. Mereka sekeluarga, dan membawa seseorang yang manis, ku kira umurnya lebih muda dua atau tiga tahun dariku. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, antara keluargaku dan keluarga perempuan yang manis itu. Aku hanya diperkenalkan oleh ayahku kepada keluarga mereka, dan disuruh untuk mengobrol di teras rumah bersama perempuan yang manis itu. Aku menyuruh adikku untuk menguping apa yang mereka bicarakan.
Nama perempuan manis itu adalah Rani. Dia baru satu tahun kemarin lulus SMA. Aku hanya tersenyum-senyum dan memberikan pembicaraan sesuai dengan apa yang diinginkannya, agar membuatnya bahagia. Setelah malam, aku mencari adikku. Adikku menceritakan jika aku akan dijodohkan dengan Rani. Aku terkejut. Entah apa yang ada dipikiran orang tuaku. Mereka tidak melihat kondisi ku. Bahkan mereka tak melihat Rani yang begitu manis.
Malam itu aku kabur dari rumah dan pergi menuju kota ini, kota besar bernama Bandung. Pagi tadi aku tiba di kota kembang ini, dan langsung mencari salah satu alamat rumah. Aku mencari teman kecilku bernama Sovia. Sebelum kuliah, tepatnya saat SMA, aku dirawat di rumah sakit. Entah karena kesalahan dokter yang sedang praktek atau memang takdir, sejak SMA aku divonis terkena penyakit AIDS. Aku terserang virus HIV. Aku sangat tidak rela jika Rani yang sangat manis itu harus menikah dengan ku, akhirnya aku kabur. Di rumah sakit saat aku dirawat, aku bertemu dengan perempuan kecil yang bernama Sovia, dia juga sama terkena penyakit seperti ku, namun itu disebabkan karena kesalahan orang tuanya. Saat di rumah sakit itu, Sovia adalah teman baikku, karena aku tidak punya teman lain selain dia. Suatu hari, karena orang tuanya bercerai dan ibunya tidak punya biaya lagi, mereka akan pindah ke Bandung dan akan tinggal bersama keluarga ibunya. Aku sangat sedih, dan sebelum mereka pergi, aku meminta alamat mereka di Bandung.
Tadi pagi aku pergi ke alamat itu, sayang, aku malah diusir dan diberikan alamat lagi, untungnya masih di daerah Bandung. Aku pergi menuju sebuah rumah yang sangat kumuh, dan tiba-tiba aku melihat Sovia berada di pintu rumah itu. Dia berteriak dan berlari menuju aku, yang secara refleks aku menggendongnya. Aku bahagia dia masih ingat dengan ku. Dia sangat ceria sekali. Aku bertemu dengan ibunya yang usianya lebih tua dari umurku. Setelah berbicara panjang lebar, aku memberikan uang yang lumayan besar agar Sovia bisa dirawat lagi di rumah sakit. Itu adalah uang hasil ‘kerjaku’, semuanya aku serahkan untuk Sovia. Sovia telah membuat aku kembali bersemangat untuk tetap hidup, dan hanya dialah alasan mengapa aku tetap hidup. Hari ini aku bahagia sekali telah memberikan segala yang aku punya dan bisa untuk Sovia, namun sayang, ketika aku hendak berpamitan untuk pulang aku tak sengaja melihat foto di dinding. Foto itu bertiga, dan yang aku heran, di sana ada kak Vena. Selain itu, di foto itu juga ada ibu dosenku. Aku terkejut dan menanyakan foto itu, akhirnya aku tahu jika ibu Sovia ini adalah kakak dari kak Vena dan adik dari ibu dosenku. Dan aku semakin tertekan setelah tahu kak Vena adalah adik dari ibu dosen ku.
Ah, kota ini belum pernah aku singgahi sebelumnya. Hanya sehari di sini aku harus segera pergi lagi. Semuanya telah siap, sebuah surat dan obat yang akan mengantarkan aku pergi untuk selama-lamanya. Kepergian yang indah aku pikir, di taman yang indah, wewangian bunga dimana-mana, sepi, dan di atas bangku ini dengan sebuah surat aku akan mati.
Halo Mama.
Ma, maaf aku kabur dari rumah. Maaf aku sempat berdebat dengan mama di rumah. Sampaikan juga maaf Vino sama ayah, Vino masih belum berani bicara langsung sama ayah. Maaf juga sama adik-adik Vino. Maaf yang besar dari Vino buat Rani ma, Rani manis, tapi mama seharusnya tahu, orang manis seperti Rani tidak seharusnya menikah sama Vino ma.
Ma, maaf Vino belum bisa menjadi sarjana, maafkan juga untuk ayah. Vino berharap adik-adik Vino kelak akan gantiin hutang Vino jadi sarjana sama mama dan ayah. Maaf juga ma, Vino belum bisa memberikan cucu buat mama. Mama lupa ya? Saat di rumah sakit pas SMA, Vino kan udah bilang kalau Vino tidak akan menikah selama Vino hidup. Mungkin mama sama ayah bisa dapat cucu dari adik-adik Vino.
Mama ingat cita-cita Vino waktu kecil? Vino ingin sekali pergi keliling dunia, tapi itu sudah dihapus dari otak Vino ma, sejak Vino bertemu dengan Sovia. Sovia mengajarkan Vino mengenai kehidupan, tapi Vino tak akan menceritakannya lebih jauh, mama cukup berdoa saja untuk kehidupan Sovia. Aku bahagia ma di sini, di taman ini. Mungkin aku keliling dunia ingin melihat tempat yang sepi, menghirup wangi-wangian di taman, melihat bintang, itu sudah Vino temukan di sini ma. Setelah melihat dan berada di taman ini, Vino merasa bebas sebebas-bebasnya, lebih bebas dari doktrin bebas yang diajarkan kakak-kakak kelas Vino.
Ma, Vino tahu pergi lebih cepat dengan kekuatan sendiri itu dosa. Tapi Vino janji, jika Tuhan menghukum Vino, Vino tak akan pernah membawa-bawa mama sama ayah. Bahkan Vino ingin, jika Tuhan membenci Vino karena ini, biarlah dosa mama, ayah, adik-adik dan Sovia, Vino yang tanggung. Seberat apa pun itu, Vino rela ma. Vino sudah siap bertanggung jawab dengan ini semua.
Mama sehat selalu ya, kamar aku sekarang aku wariskan buat adikku. Sekarang mama udah bisa mengeluarkan kucing aku dari rumah ma, hehehe. Sudah ma, amanah mama sebagai orang tua buat Vino di dunia ini udah selesai, udah cukup ma. Makasih ma atas segalanya, udah ngurus Vino dari kecil. Vino udah melihat orang tampan berbaju serba putih di sini ma, Vino pergi dulu ya ma. Jangan kangen sama Vino! Bye ma ….
Vino Irawan Gibran
Sebuah surga, di Bandung, 21 Maret 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H