Selamat malam dan selamat menjelang istirahat kompasianer. Malam ini sekalian menunggu pertandingan Serie A antara Juventus melawan AS Roma, saya mau tidak mau harus menulis tulisan ini. Setiap membuka situs berita, pasti keluar sebuah nama yang sama: Pertamina. Hari-hari belakangan ini khususnya awal tahun 2014, Pertamina mendapat sorotan tajam dari khalayak ramai. Kali ini masalahnya bukan lagi minyak, tapi saudara seproduksinya: gas.
Awal tahun ini Pertamina mengeluarkan kebijakan dengan menaikan harga gas elpiji 12 kg dari kisaran harga Rp 75.000 menjadi Rp 125.000 (kira-kira segitu). Yang menjadi permasalahannya adalah karena ini menyangkut kepentingan masyarakat banyak dan dirasa muncul tiba-tiba, maka dengan segera kebijakan ini menjadi trending topic di banyak media berita. Masyarakat banyak sangat terpengaruh oleh kebijakan ini, terutama mereka yang memerlukan gas elpiji 12 kg sebagai keperluaan usahanya.
Dari beberapa situs berita online yang saya baca, setidaknya ada tiga sebab yang menyebabkan harga gas ini naik. Pertama, BPK melihat bahwa Pertamina telah mengalami kerugian yang mencapai angka tujuh triliyun. Kedua, kenaikan bahan pokok untuk gas elpiji di pasaran. Dan ketiga, tingginya nilai tukar Rupiah pada Dollar Amerika Serikat. Sebab pertama sering banyak muncul di bagian awal beberapa situs berita.
Masalah ini semakin ‘asyik’ untuk dilihat setelah presiden kita mengomentari hal ini di akun sosial medianya. Menurut beliau, hal ini harus dibicarakan lagi. Bahkan menurut beberapa media ada kesan beliau tidak setuju dengan kenaikan harga ini, meski pun pak presiden tahu Pertamina merugi. Yang saya herankan adalah, bukankah Pertamina itu perusahaan milik negara? Pemerintah dalam hal ini disimbolkan oleh presiden dan jajaran menterinya apakah tidak ikut andil dalam membuat kebijakan kenaikan harga ini? Memang pemerintah tidak sepenuhnya memiliki saham Pertamina, tapi mesti diingat, perusahaan ini adalah perusahaan negara, jadi bagaimanapun pemerintah harus mampu mengontrol kebijakan perusahaan ini. Logika bodoh saya adalah presiden dan menteri itu pemerintah. Sedangkan Pertamina adalah perusahaan negara. Perusahaan negara terlebih yang menyangkut kepentingan banyak warga negara sudah pasti dikontrol dan dimiliki pemerintah sebagai pengontrol negara, kalau tidak bisa berarti bukan perusahaan negara. Perusahaan asing? Mungkin!
Yang membuat logika saya sedikit bengkok adalah saat Pertamina (perusahaan negara) mengeluarkan kebijakan dan dikomentari oleh presiden (sebagai pemerintah), bahkan beliau tidak setuju, apakah tidak ada pembicaraan antara presiden, menteri terkait, perusahaan, dan pemegang saham sebelum kebijakan ini dikeluarkan? Jadi begini, perusahaan negara mengeluarkan kebijakan yang tidak disetujui oleh kepala negara, bukankah itu lucu dan menarik? Bagaikan tangan kita melakukan sesuatu, tapi kita tidak sadar dan tahu.
Setelah saya mencari-cari informasi, ternyata memang harus begitu katanya. Di dalam sebuah artikel berita dinyatakan bahwa kebijakan yang dibuat oleh Pertamina tidak harus dilaporkan kepada presiden. Nah kalau begitu bagaimana pemerintah mengontrol perusahaan ini? Saya mendapatkan jawabannya (lagi-lagi) di sebuah artikel berita. Pemerintah melalui menteri BUMN seharusnya mengontrol perusahaan ini. Bahkan di artikel berita itu, Dahlan Iskan mengatakan bahwa beliaulah yang salah dalam semua masalah kenaikan harga ini. Menurutnya ada kesalahan mengenai pembicaraan kenaikan harga dengan pihak-pihak terkait. Bahkan di berita terbaru kabarnya Hatta Rajasa memungkinkan harga elpiji ini akan turun (semoga).
Bagi kita sebagai masyarakat kecil yang tidak tahu seperti apa yang terjadi di pemerintahan dan Pertamina, hanya butuh harga yang murah. Tidak peduli apakah masalahnya ini atau itu, yang jelas gas harus murah. Ketika masalah ini muncul, muncul juga kepala negara dan beberapa menterinya yang mengomentari masalah ini. Bagi sebagian orang, menurut mereka ini hanya sebuah sarana untuk menjadi pahlawan. Tapi menurut saya tidak seperti itu loh, saya masih percaya dengan pak presiden dan beberapa menterinya, saya follower mereka di salah satu situs media sosial dan sedikitnya tahu apa yang mereka kerjakan dan pikirkan. Hanya yang harus saya kritisi, mengapa ada menteri yang harus merasa disalahkan? Bukankah orang sehebat menteri tak lagi harus membicarakan hal salah-benar? Sudah selayaknya membicarakan solusi dan memikirkan hal ke depan.
Harga gas ini kabarnya di Papua telah menyentuh harga Rp 300.000, fantastis! Saya hanya berpikir kenapa ibu kota negara tidak pindah saja ke Papua? Dengan begitu mungkin harga-harga kebutuhan lainnya bisa lebih sedikit murah dengan banyaknya juga pabrik-pabrik yang bermunculan di Indonesia Timur, karena kan ibu kotanya juga di Timur. Tadi siang kebetulan saya melihat berita sepak bola yang menginformasikan tim sepak bola Perseru Serui. Beritanya saya tidak ingat, yang saya ingat adalah bagaimana alam di sana masih sangat indah. Bukit yang hijau, kendaraan yang jarang, laut yang berwarna biru jernih, hingga perumahan yang masih jarang. Perseru memang berada di Yapen, bukan Jayapuranya. Tapi setidaknya alam mereka menggambarkan bagaimana keadaan alam di Timur yang indah. Siapa tahu pemerintah bisa berpikir jernih jika ibu kota pindah ke Timur. Di Jakarta terlalu banyak kendaraan, tidak baik polusinya untuk kesehatan, terlebih pulau Jawa kebanyakan manusia, sudah selayaknya bagi saya ibu kota dipindahkan. Akibat masalah ini juga kita bisa melihat bagaimana belum meratanya pertumbuhan ekonomi di negara ini. Sepertinya benar ibu kota harus pindah ke Papua, agar pemerintah bisa melihat dengan dekat bagaimana penyakit AIDS di sana menyebar dengan cepat dan memiliki penderita yang cukup banyak. Pemerintah juga mesti merasakan bagaimana kehidupan masyarakat Papua yang begitu memegang agama mereka. Dan ini mungkin yang paling menarik, pemerintah harus merasakan berada berdekatan dengan OPM (jika masih ada).
Pembicaraan menjadi sangat meluas. Tapi setidaknya saya ingin menyampaikan beberapa poin jika pemerintah atau perusahaan negara ingin menaikan harga yang menyangkut kebutuhan masyarakat banyak. Pertama dan yang paling penting adalah harus adanya sosialisasi. Meski pun dikhawatirkan ada penimbunan, itu bisa diatasi dengan pembatasan pembelian, tapi setidaknya pemerintah sudah ngasih tau pada rakyatnya, jadi rakyat bisa siap-siap dan tidak kaget. Kedua, mungkin dalam menaikkan harga tidak harus langsung melebihi angka 50%. Bisa dicoba dengan menaikan harga yang sedikit-sedikit tapi teratur. Setidaknya kenaikan sedikit-sedikit bisa menjadi kebiasaan bagi masyarakat dan tidak membuat mereka kesal dengan kenaikan yang sekaligus. Dan yang terakhir adalah pengelolaan laba perusahaan yang harus dimaksimalkan untuk produk dan kepentingan rakyat. Saat harga gas elpiji naik setidaknya ada alternatif lain bagi masyarakat untuk menggantinya dengan produk lain yang masih tetap dari perusahaan yang sama.
Berbicara mengenai pahlawan tadi, saya jadi ingat sesuatu. Ada candaan bahwa kelak, ketika anak kecil ditanyai mengenai siapa pahlawan favoritmu, banyak mereka mungkin akan mengatakan Batman, Superman, atau Spiderman. Mengapa bukan Bung Karno atau Bung Hatta? Atau mengapa bukan Jenderal Sudirman? Mereka mungkin nanti hanya mengingati mereka sebagai gambar yang ada di uang. Siapa tokoh ini? Siapa tokoh itu? Mungkin otak mereka secara refleks akan memikirkan uang. Atau yang lebih mengerikan, ketika mereka ditanyai siapa Soekarno, Hatta, Sudirman, Bung Tomo, Dewi Sartika, Kartini, mereka mungkin akan menjawab itu nama-nama jalan. Maksud saya dengan perkembangan jaman seperti sekarang ini, globalisasi Barat sudah tidak dapat dibendung lagi. Tapi setidaknya itu diimbangi dengan memunculkan kembali kearifan-kearifan lokal, budaya dan tradisi lokal yang masih bisa membanggakan anak bangsa ini. Saat film Spiderman main di bioskop, munculkan pula karya anak bangsa misalnya film Gatot Kaca. Film Steve Jobs muncul, munculkan pula film Chairul Tanjung misalnya atau Gus Dur mungkin. Untuk mengingatkan bahwa orang Indonesia tidak kalah dengan orang asing. Bukannya membuat film sebuah tokoh pahlawan nasional, tapi dipermasalahkan. Solusinya kan gampang, tinggal buat lagi film dengan tokoh yang sama dengan isi yang lebih menarik.
Lagi-lagi pembicaraan ini meluas, apakah Juventus-Roma sudah mulai? Saya ingin menontonnya dulu, tapi saya ingin menyampaikan beberapa hal. Sebagai rakyat, kita harus percaya pada pemerintah, bagaimana pun mereka pemimpin yang telah kita pilih. Sebagai pemerintah, mereka harus pro pada rakyat banyak, bukan hanya pada segelintir kepentingan bisnis misalnya. Karena saya yakin satu hal, Indonesia akan hebat di mana rakyat mencintai dan percaya pada pemerintah, begitu pun pemerintah, cinta dan percaya juga pada rakyatnya. Selamat istirahat dan salam pahlawan sepak bola!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H