CUKUP sulit rasanya aku menceritakan bagaimana mulanya kami saling mengenal, meskipun sebenarnya bisa saja kupersingkat cerita itu menjadi “kami dipertemukan oleh Tuhan!”. Karena memang begitulah, Tuhan yang membuat kami bisa saling bertemu, mengenal, mengagumi, menyayangi, dan hingga pada akhirnya—lima tahun yang lalu—ia bersedia untuk kunikahi.
Seorang wanita yang tengah berbaring di sampingku ini ialah istriku. Kini ia tengah tertidur cukup lelap. Pekerjaan nampak begitu menguras energinya seharian ini, bahkan untuk sedikit berbincang-bincang denganku setibanya ia di rumah ini pun sampai tidak sempat.
“Aku capek,” katanya sambil berjalan menuju kamar tanpa menoleh ke arahku. Sepertinya kepulangan istriku ke rumah ini memang bukanlah untuk menemuiku lagi, tapi sekadar untuk mengistirahatkan tubuhnya agar esok hari ia bisa kembali bekerja.
“Gak mau makan dulu? Aku sudah belikan makanan untuk kita berdua, lho.” sedikit teriak aku mengatakannya, karena memang cukup jauh jarak di antara kami. Aku, di ruang tamu. Sedangkan dia, sudah di kamar dan menutup pintu.
Tak ada suara balasan darinya. Kususul ia ke kamar, kutemui ia sudah terbaring di atas tempat tidur yang baru saja kurapikan dengan masih menggunakan kemeja putih dan rok mini berwarna hitam yang sedari pagi sudah dikenakannya untuk bekerja. Aku tak berani membangunkannya. Kubiarkan ia terlelap dengan mimpi-mimpinya.
Setelah menyelesaikan beberapa berkas yang harus segera kuberikan kepada atasanku esok hari, kumatikan lampu kamar, kunyalakan lampu tidur dengan cahaya secukupnya, dan aku pun bergegas menyusul istriku yang sudah terlebih dulu menikmati mimpinya. Pencahayaan kamar kami setelah menggunakan lampu tidur memang tidak lagi begitu terang, tapi aku masih dapat melihat kecantikan istriku dengan begitu jelas. Wanita yang sejak lima tahun yang lalu kunikahi itu masih saja memikat hatiku setiap kali aku menatapnya. Kurasakan kedamaian itu masih ada di wajahnya, namun entah di hatinya.
Masih kuingat betul, sejak kami memutuskan untuk berpacaran, hingga akhirnya kami menikah, dunia kami terasa begitu indah. Ke mana-mana kami selalu bersama, dan pastinya tiada hari yang mengecewakan. Satu-satunya keluhan yang sempat terlontar dari mulutku mungkin saat aku menyadari bahwa 24 jam sehari itu ialah waktu yang rasanya tidak cukup untuk kami saling memadu kasih. Andai saja waktu itu bisa dibuat lebih lama lagi, mungkin aku akan sangat berterima kasih.
***
Sekitar satu setengah tahun yang lalu, ibu mertuaku datang berkunjung ke rumah kami. Berawal dari obrolan basa-basi tentang pekerjaan, lalu sampailah obrolan itu berujung pada pernyataan yang telah kusimpulkan, yaitu ibu mertuaku ingin segera menimang cucu. Dan sejak saat itu, malam-malam pernikahan kami selalu dipenuhi kebingungan. Segala usaha telah kami lakukan. Tapi apalah daya bila Tuhan masih belum memberikan?
Beberapa bulan setelahnya, istriku tiba-tiba saja meminta izin untuk bekerja. Kutanya, "Kenapa? Apa penghasilanku sebagai pegawai negeri masih kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupmu?"
“Bukan, Mas, aku hanya bosan,” katanya. “Semenjak kita menikah, kerjaanku hanya mengurus rumah. Dan ketika kamu pergi bekerja, di rumah ini aku hanya sendiri, aku bosan bila terus begini.”