"Kenapa sih ini orang-orang pada ribet banget ngurusin tembakau?”
Begitulah kira-kira gumaman saya ketika melihat beberapa orang yang saya kenali di sosial media mulai menyuarakan opininya tentang tembakau, rokok, dan sejenisnya dengan menggunakan tagar #GaraGaraRUUP dan #TolakRUUP di setiap harinya.
Rasa penasaran akan issu apa yang sebenarnya sedang terjadi membuat saya akhirnya mulai mengklik satu per satu tautan yang berhubungan dengan tembakau. Kemudian berjumpalah saya dengan situs ini ---> Selamatkan Anak Bangsa! Drop RUU Pertembakauan "Titipan" Industri Rokok
Setelah berhasil mengumpulkan informasi ternyata rasa penasaran saya tidak langsung hilang. Kini rasa penasaran saya malah berganti dari yang semula hanya ingin tahu titik permasalahannya, menjadi rasa ingin tahu bagaimana upaya untuk mengatasi permasalahan ini, dan akan seperti apa akhirnya?
Beruntungnya nasib saya. Pada tanggal 6 Maret 2017 saya diundang menghadiri Konferensi Pers yang diadakan oleh Komnas Pengendalian Tembakau untuk mengampanyekan inisiatif yang bersangkutan dengan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Tapi lagi-lagi saya beruntung. Entah Dewi apa yang sedang menaungi saya hari itu sehingga keberuntungan selalu berdatangan, yang pasti bukan Dewi Persik, karena dia sedang sibuk mengurusi drama pertikaiannya dengan Nazzar dan drama pertemanannya dengan Jupe.
Keberuntungan yang saya maksud adalah diberikannya kesempatan untuk berbincang-bincang lebih mendalam dengan salah satu nara sumber di akhir konferensi pers. Bersama dengan teman-teman blogger lainnya, saya mendapatkan banyak informasi tentang issu RUU Pertembakauan dari Julius Ibrani, anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI).
“Ini common strategy dalam industri, industri rokok menyatakan sendiri pun begitu. Makanya kita nggak heran, dari 2012, pertama kali (RUU Pertembakauan) diusulkan tidak ada nama pengusulnya, tidak ada draft pasal per pasalnya, kosong, cuma disebutin RUU Pertembakauan nomor sekian. Lah orang nanya, mana bahannya? Kok nggak ada di kami? Kok nggak ada dalam rencana pembahasan paripurna? Siapa yang mengusulkan? Tidak tahu.” ungkap Julius yang juga anggota Solidaritas Advokat Peduli Pengendalian Tembakau (SAPTA).
“Su’udzon kami dilanjutkan dengan fakta. Pertama, ketika kita audiensi dengan Menteri Perindustrian, di surat kami adalah ‘saya mau ketemu Pak Menteri’, karena yang mengeluarkan peraturan itu Menteri. Untuk menanyakan ‘Ini kapan disusunnya?’, ‘Prosesnya bagaimana?’, ‘Kajian ilmiahnya apa?’, ‘Siapa pihak-pihak yang dilibatkan?‘. Ketika itu kami dihadapkan bukan pada Menteri, bukan Dirjen-nya juga, tapi Direktur. Jadi jauh di bawah, loncat. Itu Direktur minuman, bahan penyegar, dan tembakau. Tugasnya untuk menjelaskan audiensi kita tentang proses pembentukan peraturan Menteri Perindustrian. Dari situ mulai bergeser, dari su’udzon menjadi khusnudzon.” Julius memaparkan dengan serius.