Bagaimana harus kita teriakkan kemerdekaan di tengah kegaduhan para elit yang mabuk kepayang, Birokrasi yang serampangan, dan para pemimpin yang tuli? Jangankan didengar, bahkan mereka sengaja merusak corong keadilan agar tidak lagi bersuara. Merdeka kah kita ?
Persembahan darah dan air mata para pendahulu ternyata tidak cukup mengantarkan rakyat Indonesia pada kehidupan yang berbahagia. 71 tahun negeri ini larut dalam eforia kemerdekaan yang semu. Kemerdekaan yang sepihak dan seremonial. Mengapa demikian ? Karena kita hanya menghapuskan penjajahan tidak dengan penjajah berdasi yang masih hidup dan perlahan mengiris urat nadi rakyat Indonesia.
Mimpi indah kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur lekas menjelma menjadi mimpi buruk. Tertindas, perpecah – belah, terpebudak, timpang, dan miskin.
Secara umum, pemerintahan Negara gagal menunaikan kewajibannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. ( Latif 2015:3)
Nyaris substansi kemerdekaan tidak pernah dapat tersentuh, tarik ulur definisi kemerdekaan masih dalam poros eforia atas lenyapnya penjajahan di atas muka bumi Indonesia. Sementara itu, kekuasaan kehakiman yang terintervensi uang, korupsi, narkoba yang merajalela, isu SARA, kemiskinan, kekerasan, dan lain sebagainya tidak dapat kita pungkiri. Bahkan diri sendiri belum merdeka dari dikte penguasa. Inikah kemerdekaan ? Tesisnya bangsa ini masih berjuang bukan melawan penjajahan melainkan melawan nafsu dari bangsa sendiri.
Penderitaan di Tanah Merdeka
Orang bilang tanah kita tanah surga. Berbagai macam kekayaan tumbuh dari tanah ini, mata air melimpah ruah dan lautan yang terbentang luas. Namun apa, kini itu semua menjadi air mata kehidupan. Ironis, kelaparan dan menderita di tanah subur nan merdeka. Adakah yang lebih pahit selain menikmati asam di tempat yang penuh gula ? Kemerdekaan ibarat terperangkap dalam hutan, semua serba tidak jelas dan penuh dengan tanda tanya.
Janji suci kemerdekaan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia telah menciptakan resistensi, sebab hal tersebut hanya dinikmati segelintir elit. Negara tidak benar – benar menempatkan rakyat indonesia sebagai pemangku kepentingan yang berdaulat dan harus dimerdekakan dari peliknya kehidupan.
Kesejahteraan yang timpang, pelayanan publik yang diskriminatif, isu SARA dan kriminilasisi kebebasan berpendapat adalah realitas yang terhindarkan. Karena itu, redefinisi kemerdekaan dalam wujud perbuatan adalah suatu keniscayaan.
Redefinisi Kemerdekaan
Akutnya krisis yang melanda negeri ini mengisyaratkan bahwa untuk menuju kemerdekaan yang sesungguhnya tidak hanya dibutuhkan retorika para pemimpin melainkan kerja nyata dan gotong royong bahu membahu membawa bangsa ini lepas dari segala perbuatan diskriminasi, korupsi, kesenjangan, kemiskinan dan kriminalisasi atas pendapat dan kritik.