Mohon tunggu...
Ridwan M Nuh
Ridwan M Nuh Mohon Tunggu... Guru -

Guru Bahasa Indonesia SMA Al Ashriyyah Nurul Iman, Yayasan Al Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School Parung, Bogor, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menolak Mimpi (Cerpen)

19 April 2016   01:57 Diperbarui: 19 April 2016   02:32 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Allah Akbar… Allah Akbar”

Seruan itu tiba-tiba menyeruak seantero jagad.  Suara bulat yang keluar dari pengeras suara itu begitu merdu.  Lantunannya berirama nan rapi.  Tidak pula dibuat-buat.  Sebuah panggilan yang keluar dari hati.  Jeda di antara lafadznya sudah dipikirkan secara apik.  Begitu menyejukan hati bagi siapapun yang mendengarya.  Persis seperti di Maroko yang pernah saya rasakan.  Menentramkan jiwa apalagi bagi siapa yang pada detik ini bergulat dengan masalah hidup yang tak berujung.

Panggilan untuk salat tadi sekalipun untuk mengingatkan pengikutnya bahwa hari beberapa jam lagi akan kehilangan suryanya.  Kehidupan penuh lakon yang nampak pada tumpukan bangunan yang tak rapi, sayangnya itu tak berarti.  Mereka enggan bila harus tepat waktu mengerjakan salat Ashar. Toh pekerjaan masih banyak dan waktu maghrib pun masih lama.

Dan di antara kepadatan ibu kota yang tak lagi indah.  Saya menatap dari balik jendela, di sela kilauan kaca kusam.  Bangunan yang menghadap barisan rumah kaum urban yang berkelas bawah.  Menumpuk memanjang.  Tak menyisakan sejengkal tanahpun untuk menatap langit yang pula tak lagi biru.

Kusapu kedua tangan di wajahku.  Berucap atas usainya adzan yang baru saja terdengar.  Bukan semata rutinitas, adzan kali ini menjadi penyelamat atas emosi dan amarah yang bisa memuncak di ruangan ini.  Masih ada saya dan abang Andar di sudut kantor ini.

“Kamu pikirkan lagi matang-matang keputusan ini”.  Ucap abangku yang amat kuhormati itu.  Dengan santai dia bergerak menutup langkahnya di depan meja kebanggaan kami.  Meja persegi tempat kami bertukar ide, saling memutuskan persoalan bisnis.  Meja yang menjadi saksi buah kesuksesan atas usaha dua tahun belakangan ini.

“Keputusanku sudah bulat, Bang!, sekalipun ibu, juga tidak akan bisa mempengaruhi niatku”.

“Secepat ini kamu mau meruntuhkan bisnis yang sudah mengangkat derajat keluarga kita, haaaa???”.

Saya tetap saja memandang ke arah luar.  Jendela kaca yang menampilkan kesibukan para warga.  Sesekali kuputar bola mata mengarah ke foto besar menggantung di sisi jendela itu.  Ada saya, ibu, bapak yang kala itu masih hidup, kakak Hani, dan Bang Andar.  Berpose di halaman rumah tiga tahun lalu.  Sebuah sejarah yang mengawali kebangkitan keluarga kami dari kemiskinan.  Gubuk yang tak luas itu dijadikan kantor tempat usaha.  Jadilah dia kantor bisnis travel umroh dan haji yang kami rintis.

Foto itu menjadi sebuah hidangan bagi siapapun yang singgah ke rumah ini.  Gambar yang berpose di dalamnya nampak raut kebahagiaan.  Saya dan bang Andar tersenyum lepas karena akhirnya bisa mewujudkan kebanggaan untuk orang tua.  Berbekal pengalamanku pula yang pernah bekerja di bisnis ini sebelumnya.  Hingga Allah memberikan jalan kepada saya untuk mempunyai usaha sendiri.  Jadilah badan usaha jasa “Muhaimin Travel Umroh dan Haji”.  Namaku disematkan selalu dalam usaha ini.  Terpampang disemua perangkat iklan.  Hingga tak sedikit orang mengenal jasa perjalanan ini.

Kebahagiaan itu memang tidak bisa diukur dari beberapa banyak pundi yang ada.  Meski segalanya butuh rupiah.  Namun rupiah bukan pula segalanya.  Hidup yang penuh makna itu bukanlah seberapa banyak kita menerima, melainkan sudah berapa banyak kita memberi.  Timbul rasa bahagia dan bangga tatkala kita bisa membuat orang tersenyum seraya berterima kasih kepada kita.  Dan agama ini tidak lupa untuk mengingatkan umatnya.  Bersedekah atau berbagi tidak akan pernah menguras apa yang kita punya.  Kepunyaan itu hanyalah milik-Nya.  Tatkala syukur itu ada, maka Allah akan kian memberi.  Dan pemberian itu pula juga dibumbui dengan rintangan yang butuh kesabaran.  Akan banyak ujian saat kita mendapatkan rezekinya.  Hingga doa dan usaha adalah penangkal agar rezeki itu tidak jatuh kepada manusia baik lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun