Mohon tunggu...
Ridwan Malik
Ridwan Malik Mohon Tunggu... Buruh - Easy Going Man

Hoby membaca, senang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki di Atas Haluan

16 Februari 2012   08:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:34 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah beberapa kali aku menumpang kapal perahu kayu ini, kudapati lelaki itu selalu duduk di atas haluan. Seperti biasa, begitu kapal meninggalkan muara sungai, lelaki itu keluar dari kabin kapten yang bising oleh deru mesin dan semua lantai dan dindingnya bergetar keras. Ia langsung duduk di atas haluan, di samping jangkar besi yang berkarat.

Lelaki itu duduk dengan tenangnya, dengan kedua kaki menjuntai ke bawah, layaknya seseorang yang duduk di atas ayunan. Pandangannya tampak ke depan, seolah hendak menghitung pulau-pulau yang akan dilewati kapal ini.

Semua penduduk Pulau Pelangi tahu berapa pulau yang harus mereka lewati sebelum akhirnya kapal ini mencapai tujuannya. Tapi tak ada satu pun yang peduli dengan pulau-pulau itu. Kebanyakan mereka memilih tidur di kabin penumpang dan bangun ketika ABK menagih ongkos, beberapa menit sebelum kapal merapat di Pulau Pelangi.

Dari kabin kapten, aku bisa melihat lelaki itu merubah posisi duduknya. Mungkin ia sudah capai dengan posisi tadi. Kini posisinya tepat berada di tengah-tengah haluan dan dua kakinya terpisah oleh balok haluan yang menjadi tempat pegangan tangannya, sehingga posisinya persis seperti orang yang sedang menunggang seekor kuda. Tubuhnya bergerak-gerak meningkahi gerakan haluan kapal yang turun naik dihempas ombak teluk Jakarta. Kelihatannya lelaki itu menikmati posisinya yang baru. Ia seolah menikmati setiap hempasan gelombang di badan kapal yang terbuat dari kayu ini. Rambutnya yang hampir sebahu tergerai-gerai disapu angin laut.

Ketika pertama kali melihat lelaki itu di atas haluan --dalam perjalanan rutin seminggu sekali menengok isteri dan anak-anak yang tinggal di rumah mertuaku di Pulau Pelangi-- satu tahun lalu, aku tidak pernah memikirkan lelaki itu. Kuanggap bukan hal istimewa kalau dalam sebuah perjalanan dengan kapal perahu rakyat seperti ini ada penumpang yang duduk di atas haluan. Bahkan aku biasa melihat beberapa penumpang bercakap di atas haluan. Tapi, setelah beberapa kali perjalanan melihat lelaki itu selalu duduk di atas haluan, aku baru menyadari kalau lelaki ini pasti lelaki yang berbeda dari kebanyakan lelaki di Pulau Pelangi, karena tidak pernah duduk di dalam kabin penumpang.

Biasanya, kalau orang tidak suka berada di kabin penumpang yang semrawut dan berjubel dengan barang belanjaan, mereka berusaha duduk lebih dahulu di kabin kapten sebelum kapal berangkat sehingga mereka tetap berada di kabin kapten begitu kapal meninggalkan dermaga. Kabin kapten memang sempit, tetapi bisa memuat tiga orang. Satu kapten di tengah dan dua penumpang di sisi kanan kirinya.

Tapi lelaki ini agak aneh. Sebelum kapal berangkat, ia sudah ada di kabin kapten, seolah takut kalau ia didahului orang duduk di tempat itu. Begitu kapal meninggalkan muara, ia pun meninggalkan tempat duduknya dan langsung beranjak ke atas haluan.

Yang membuatku heran, meskipun ombak sedang besar sehingga percikannya membasahi bagian depan kapal, lelaki itu tetap bergeming. Bahkan ketika hujan turun pun, lelaki itu memilih tubuhnya diguyur hujan ketimbang berjubel dengan penumpang di kabin yang tertutup.

Suatu kali aku pernah bertanya tentang lelaki itu kepada kapten. Aku sendiri tidak terlalu akrab dengan kapten, tetapi waktu itu aku benar-benar penasaran ingin tahu siapa lelaki itu sehingga kuberanikan diri menanyakannya kepada kapten yang duduk di samping kananku.

“Dia tidak tahan di tempat tertutup, karena sebentar saja bisa mabuk dan muntah,” kata sang kapten ketika kutanyakan mengapa lelaki itu selalu duduk di atas haluan.

Dari pertanyaan pendek itu, mengalirlah sedikit cerita dari sang kapten. Kapten itu seolah mengerti betul setiap detil kebiasaan lelaki itu saat berada di atas kapal. Tapi kapten itu hanya bercerita tentang kebiasaan lelaki itu di atas kapal. Tidak lebih. Mungkin ia sendiri tidak tahu bagaimana kehidupannya di pulau, karena kapten sendiri setiap harinya berada di kapal. Pagi berangkat ke Darat (begitu orang Pulau Pelangi menyebut Pulau Jawa), siang kembali ke Pulau Pelangi.

Menurut Kapten kapal ini, lelaki itu memang tidak pernah mau tidur atau duduk manis di dalam kabin. Setiap tempat yang tertutup dari sirkulasi udara dalam kapal ini membuat kepala lelaki itu pusing dan menyebabkannya muntah. Kapten itu bercerita, pernah suatu hari langit mendung. Kapal baru mengarungi setengah perjalanannya. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Ombak pun menggila. Cuaca tampak mendung tua, pertanda hujan akan segera turun. Lelaki itu kebingungan melihat ke kabin kapten. Si Kapten beberapa kali memberi isyarat agar lelaki itu segera masuk ke kabinnya, tetapi lelaki itu tampak bimbang.

Tak berapa lama, hujan pun turun. Semula gerimis saja. Lelaki itu menerima tawaran isyarat yang diberikan kapten kepadanya. Ia bergegas meninggalkan haluan dan bergegas masuk ke kabin kapten. Gerimis pun berganti hujan deras yang mengguyur sekujur tubuh kapal. Pintu kabin kapten yang biasanya terbuka pun terpaksa ditutup rapat untuk menghindari curahan air hujan yang bisa masuk ke kabin karena tersapu angin kencang.

Beberapa menit berada di kabin kapten yang tertutup rapat membuat lelaki itu pucat. Beberapa kali ia membuang ludah ke pintu kabin dan menahan sesuatu yang menonjok-nonjok di pangkal tenggorokannya. Tidak sampai setengah jam, pertahanan lelaki itu jebol.Secepat kilat, ia membuka pintu kabin dan langsung menjatuhkan tubuhnya di bibir kapal dengan kepala keluar. Dan...

“Oe, oe, oe.........Grroook!”

Dari mulutnya keluar muntah berupa butir-butir nasi yang sebagiannya belum terkunyah. Mata lelaki itu melotot seperti menahan sakit dan perih. Tangan kanannya memijit lehernya sendiri, berharap semua muntah yang masih tersisa di tenggorokannya segera keluar tanpa sisa, sementara tangan kirinya memegang erat bibir kapal. Lelaki itu tak peduli lagi pada hujan lebat yang membuat tubuhnya basah kuyup.

Sejak peristiwa itu, lelaki itu tidak pernah mau duduk di dalam kabin. Ia lebih suka duduk di atas haluan yang terbuka. Ia lebih memilih kepanasan di bawah matahari jam 12 siang atau basah kuyup kehujanan atau basah oleh tempias ombak besar yang sering mengguyur bagian haluan, ketimbang berada di ruang kabin tertutup yang bisa membuatnya muntah.

Dari kapten kapal pula aku tahu nama lelaki itu. Nama itulah yang kubawa kepada isteriku yang asli penduduk Pulau Pelangi.Dari isteriku tidak banyak yang kudapat cerita tentang lelaki itu, kecuali katanya lelaki itu pernah tinggal di kota dan bekerja sebagai wartawan. Orang-orang di Pulau Pelangi sendiri biasa menyebutnya Si Wartawan. Isteriku juga tidak tahu, kenapa lelaki itu akhirnya pulang dan memilih tinggal di Pulau Pelangi daripada membangun karirnya di kota. Yang ia tahu, lelaki itu jarang bergaul dengan masyarakat.

Cerita lebih lengkap tentang lelaki itu justru kudapat dari mertuaku. Kebetulan aku menanyakan tentang lelaki itu kepada isteriku di meja makan sore hari bersama mertuaku.Ternyata, lelaki itu adalah keponakan Pak Ali, Kepala Sekolah tempat mertuaku mengajar.

Menurut mertuaku, sebenarnya lelaki itu adalah orang paling beruntung di Pulau Pelangi. Dialah orang pertama dari pulau ini yang berhasil mengenyam pendidikan hingga tingkat sarjana.

“Gelarnya saja Dokterhandes,” cerita mertuaku. Tampaknya gelar dokterhandes menjadi gelar paling hebat di pulau ini. Buktinya, mertuaku selalu mengulang-ulang gelar itu.

Dengan gelar dokterhandes yang disandangnya, lelaki itu berhasil menaklukkan ibukota. Ia bekerja sebagai seorang wartawan di sebuah harian terkemuka. Seorang wartawan. Tampaknya profesi ini pun profesi yang sangat mentereng bagi penduduk di Pulau Pelangi, sehingga orang-orang di pulau ini bangga memanggilnya dengan panggilan Si Wartawan atau Pak Wartawan.

Mertuaku bilang, sebenarnya Si Wartawan adalah lelaki yang sangat mudah bergaul dan senang bicara dengan siapa saja. Setiap pulang ke Pulau Pelangi, ia tidak pernah berhenti membicarakan perkembangan politik yang ia ketahui di kota. Orang-orang Pulau Pelangi yang terbelakang dalam akses informasi begitu terkesima dengan pengetahuannya yang luas mengenai berbagai berita politik di kota yang biasa mereka tonton di televisi dan radio. Di pulau ini memang tidak ada informasi selain dari televisi dan radio. Kalau di zaman sekarang saja aku tidak pernah menemukan surat kabar harian, apalagi pada tahun-tahun 80-an? Paling-paling masyarakat disini mendengar berita lewat televisi atau radio.

Setiap Si Wartawan pulang, orang-orang kampung yang ingin tahu informasi yang sedikit berbeda dari versi televisi, pasti bertanya kepadanya. Di mana Si Wartawan ada, pasti dikelilingi orang-orang yang ingin mendengar ceritanya tentang banyak berita. Dan Si Wartawan tidak pernah pelit membagi informasi. Bahkan untuk informasi-informasi yang sangat sensitif pun tidak pernah ia sembunyikan.

Karena informasi-informasinya itu, ia pernah dipanggil oleh Pak Lurah ke kelurahan. Di Pulau Pelangi memang tidak ada Kodim. Maklum hanya pulau kecil saja. Kalau pun ada kantor polisi, lebih banyak tutupnya, karena tingkat kejahatan di pulau ini nol persen.

Di kantor kelurahan, Si Wartawan dimarahi habis-habisan oleh Pak Lurah dan stafnya, karena dianggap memberikan informasi bohong kepada masyarakat yang bisa membuat partai pemerintah kalah di pulau itu dalam Pemilu yang akan berlangsung beberapa bulan lagi. Padahal, Pak Lurah sudah mati-matian meminta penduduknya memilih partai pemerintah agar bisa menang mutlak, kalau perlu seratus persen. Pak Lurah bahkan sudah menebar janji kalau partai pemerintah menang, masyarakat akan dibangunkan fasilitas jalan conblock dan pembangkit listrik tenaga diesel. Maklum waktu itu Pulau Pelangi masih belum diterangi lampu listrik, kecuali hanya satu dua penduduk yang punya diesel kecil sendiri di rumahnya. Masyarakat lainnya hanya memakai lampu teplok atau petromak pada waktu malam.

Si Wartawan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia diminta segera kembali ke kota dan jangan pulang dulu sebelum pemilu selesai. Kalau tidak, Pak Lurah mengancam akan mengadukannya ke kepolisian di kota dengan tuduhan menghasut dan mengganggu pemilu.

Sebenarnya ia tidak terlalu takut dengan ancaman itu, tetapi yang ia takutkan justru teror Pak Lurah terhadap keluarganya. Apalagi pamannya yang kepala sekolah itu adalah Pegawai Negeri Sipil yang justru banyak membantu membiayai kuliahnya. Sejak kematian bapaknya sepuluh tahun lalu, pamannyalah yang membiayai pendidikanya di kota hingga lelaki itu berhasil mendapat gelar Dokterhandes.

Pamannya itu membujuknya habis-habisan agar ia segera meninggalkan Pulau Pelangi. Karena kalau ia masih bercokol di pulau itu sebelum masa Pemilu berakhir, pamannya terancam dicopot dari jabatannya, atau bahkan ia bisa kena pecat karena dianggap tidak loyal. Dan Si Wartawan pun akhirnya mengalah.

Lama Si Wartawan tidak pulang ke Pulau Pelangi bahkan hingga Pemilu sudah berlalu beberapa tahun. Suatu hari Si Wartawan pulang kembali ke Pulau Pelangi. Orang-orang kampung yang suka mendengar berita politik makin senang mendengar cerita-cerita yang dibawanya.

Pak Lurah yang dulu pernah mengundangnya ke kantor kelurahan kini sudah tidak ada lagi di pulau itu. Makum, kemenangan partai pemerintah beberapa tahun lalu bukan hanya membuat Pulau itu menikmati listrik, tetapi juga membuat jabatan si lurah melesat cepat sehingga kini ia menjadi camat yang berkantor di Pulau Rembulan, sekitar satu jam perjalanan dengan kapal nelayan, di utara Pulau Pelangi.

Kedatangan Si Wartawan ke pulau itu sebenarnya bukan untuk berlibur. Ia justru sedang mendapat tugas yang penting dari kantornya, melakukan investigasi penemuan karung-karung berisi mayat tanpa kepala di Pulau Pelangi dan sekitarnya. Menurut kabar,banyak nelayan di Pulau Pelangi yang menemukan karung-karung berisi mayat tanpa kepala.

Buat Si Wartawan yang asli penduduk Pulau Pelangi, pekerjaan seperti itu bukan perkara yang sulit. Apalagi selama ini ia terkenal royal memberikan informasi apa pun kepada banyak orang. Kini giliran para nelayan itu yang dengan suka rela berbagi cerita kepadanya, meskipun dengan sembunyi-sembunyi.

Sayangnya, sebelum tulisan itu sampai ke tangan pimpinannya di kota, ia sudah keburu dicokok tentara di jalan menuju kantornya. Konon ia dibawa ke kantor keamanan dan diinapkan selama hampir satu bulan disana tanpa sepengetahuan teman-temannya di kantor. Tidak ada yang tahu apa yang dilakukan aparat terhadapnya.

Yang pasti, setelah hampir satu bulan diinapkan di kantor keamanan, ia justru tidak berani kembali ke kantornya. Semua buku catatannya raib entah dibuang kemana. Dan parahnya lagi, ia justru pulang kampung seperti orang yang kalah perang. Tiba-tiba ia jadi pendiam dan menutup pintu rumah rapat-rapat. Orang-orang di Pulau Pelangi pun merasa heran, tetapi tidak ada yang berani bertanya kepadanya.

Berbulan-bulan lelaki itu tidak keluar rumah apalagi meninggalkan Pulau Pelangi. Setelah berani keluar rumah pun, lelaki itu tidak pernah terlihat berbicara dengan orang lain. Kalau pun terlibat komunikasi dengan orang lain, paling-paling hanya sekedar menjawab basa-basi orang yang bertanya di tengah jalan atau sekedar say hello. Waktunya banyak ia habiskan di tepi pantai.

Menurut bapakku, setelah pamannya yang guru itu meninggal beberapa tahun yang lalu, lelaki itu baru berani pergi ke kota. Ada gosip, kalau selama ini pamannyalah yang mengekangnya agar lelaki itu tidak kembali ke kota atau berbicara dengan penduduk Pulau Pelangi. Mungkin lelaki itu terlalu sayang kepada pamannya yang telah membiayainya meraih gelar Dokterhandes sehingga ia tidak mau pamannya harus kehilangan status PNSnya hanya karena ulahnya. Tetapi versi lain menyebutkan kalau ia justru tidak berani ke kota sebelum pemerintah berganti rezim. Yang pasti, pamannya sendiri meninggal sekitar tiga bulan setelah rezim lama tumbang oleh demo mahasiswa.

................

Kapal baru saja melewati Pulau Payung, sebuah pulau terakhir sebelum mencapai Pulau Pelangi. Senja tampak cerah. Tak ada angin, tak ada ombak. Air laut berkelip-kelip membiaskan warna perak ditimpa sinar matahari senja. Kapal yang kami tumpangi terus melaju menerjang laut jernih membiru. Deru mesin kapal masih bergemuruh, membuat telinga terasa pekak dan getarannya sangat terasa ketika setiap bagian tubuh menyentuh dinding atau tempat duduk didalam kabin.

Kulihat haluan sepi. Si Wartawan sudah tidak ada di singgasananya lagi. Kemana dia? Dan kapan dia meninggalkan haluan? Seingatku, sejak tadi tidak ada orang yang pergi ke kabin penumpang. Setiap orang yang berada di halauan, jika hendak pergi ke kabin penumpang pasti melewati kabin kapten sehingga mestinya aku tahu kalau lelaki itu pindah ke kabin penumpang. Lagi pula, biasanya dia tidak pernah meninggalkan haluan sebelum kapal memasuki dermaga Pulau Pelangi.

Kucoba melongok ke kabin penumpang lewat jendela kaca di belakang kabin kapten. Beberapa penumpang tampak masih tergeletak tidur. Di sebelahnya tumpukan tas dan barang bawaan tergolek tak beraturan. Beberapa penumpang lainnya tampak duduk. Seorang lelaki menghisap rokok sambil duduk di bibir geladak, tanpa merasa takut tubuhnya tercebur. Setiap sudut kabin penumpang sudah kulihat, tetapi batang hidung lelaki itu tak juga terlihat. Kemana dia?

Kapal terus melaju semakin mendekati Pulau Pelangi. Begitu memasuki dermaga Pulau Pelangi, kapal melangsam, jalannya diperlambat. Deru mesin pun mengecil hingga akhirnya berhenti sama sekali. Kapal berjalan hanya dengan sisa-sisa gerakan maju yang semakin pelan. Sebelum menempel di bibir dermaga, seorang penarik becak sudah menahan gerakan kapal agar tidak berbenturan dengan badan dermaga yang terbuat dari beton.

Biasanya, sebelum ABK mengikat tali kapal ke dermaga, Si Wartawan sudah melompat duluan ke dermaga dan langsung pergi. Tapi, kini tak ada penumpang yang melompat ke atas dermaga sebelum tali kapal diikat di atas dermaga.

Suasana dermaga tampak tidak seramai biasanya. Yang tampak hanya para abang becak yang biasa menunggu penumpang tanpa pernah mau berebutan. Kemana orang-orang pulau yang biasa datang ke dermaga ini untuk sekedar melihat penumpang yang baru datang atau menunggu saudara mereka yang pulang dari kota?

Aku segera mengemas tas dan sekantong plastik buah jeruk sebagai oleh-oleh untuk isteri dan anak-anakku.Di tengah jalan, aku melihat kerumunan di rumah Pak Ali. Di situlah Si Wartawan tinggal setelah pamannya meninggal beberapa tahun lalu. Ketika melintas, aku melihat banyak orang yang datang. Salah satunya mertuaku. Di depan pintu terselip sebuah bendera kuning dari kertas, tanda duka cita. Mungkin ada kematian pikirku. Dari dalam rumah terdengar suara beberapa orang mengaji.

Sesampai di rumah, aku tanyakan siapa yang meninggal hari ini? Isteriku menjawab, “Si Wartawan. Mayatnya belum ditemukan, tetapi sudah satu minggu ia menghilang bersama perahunya. Tadi pagi, perahunya ditemukan di dekat Ujungkulon, masih dengan pancing yang belum diangkat.”

Aku terkejut mendengar berita itu. Bukankah tadi Si Wartawan ikut naik kapal bersamaku dan duduk di atas haluan seperti biasanya? Aku hanya diam mendengar cerita isteriku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun