Mohon tunggu...
Ridwan Malik
Ridwan Malik Mohon Tunggu... Buruh - Easy Going Man

Hoby membaca, senang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Omong Kosong Calon Penulis

9 Februari 2012   03:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:53 1483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13287688831908832619

[caption id="attachment_169683" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Menulis itu gampang, begitu judul buku Arswendo Atmowiloto yang sudah berkali-kali cetak ulang sejak lama. Entah sudah berapa kali saya membaca buku itu. Saya membaca buku itu sejak duduk di bangku Madrasah Aliyah, awal-awal tahun 90-an. Waktu itu saya sedang semangat-semangatnya menulis, karena tersengat demam Balada Si Roy dan Lupus, dua tokoh imajiner yang sedang digandrungi remaja Jakarta ketika itu-- keduanya digambarkan sebagai penulis, Roy yang suka menulis sambil berpetualang (waktu itu kata backpack belum familier di telinga kita) dan Lupus yang wartawan. Selain dua buku Arswendo itu, saya juga mulai membaca buku-buku lain tentang mengarang atau menulis. Salah satu yang masih saya ingat adalah Yuk Menulis Cerpen-nya Mohammad Diponegoro. Tidak cukup dengan membaca buku, berbagai artikel di majalah yang mengupas penulisan artikel atau cerpen pun saya lahap. Salah satu artikel yang sampai saya kliping adalah tulisan penulis favorit saya, Gola Gong, di Majalah Anita Cemerlang yang kalau gak salah, judulnya Dari Fakta ke Fiksi. Tidak cukup dengan membaca buku, saya pun mulai mencari tempat-tempat kursus menulis. Di Jakarta, saya mengikuti Kursus menulis di Depot Kreasi Jurnalistik, Yayasan Pijar, sebuah lembaga yang ternyata bukan hanya mengurusi belajar menulis, tetapi juga menjadi salah satu pusat gerakan aksi massa pada akhir masa kejatuhan Soeharto. Tempat ini saya kira merupakan cikal bakal gerakan massa menjelang  era reformasi. Salah satu tokohnya adalah almarhum Mas Nuku Sulaeman. Sayang, setelah lulus dari Madrasah Aliyah, saya melanjutkan studi di Yogya, dan tidak lagi berhubungan dengan komunitas yang sangat bergelora ini. Tapi informasi mengenai penangkapan tokoh-tokoh Pijar oleh rezim Soeharto  terus saya ikuti di media massa. Di Yogya, saya ikut kelas menulis di Pena Writing School, milik Mas Ahmad Bahar. Beliau sekarang memiliki penerbit sendiri dan banyak menulis biografi tokoh, salah satunya buku Tukul Arwana. Di Yogya inilah saya mulai merasakan enaknya kalau jadi penulis, dikenal cewek-cewek kampus dan dapat honor. Hehehehe.... (stt.. honor menulis resensi di Kompas ketika itu setara dengan uang bulanan yang dikirim orangtua saya). Setelah bekerja di sebuah majalah yang  pernah fenomenal di Jakarta, saya masih suka mengikuti kelas-kelas menulis, baik menulis artikel, cerpen, buku maupun menulis skenario. Disamping saya juga masih terus melahap buku-buku terbaru atau cetak ulang tentang penulisan, baik yang ditulis oleh penulis kawakan maupun yang ditulis oleh penulis yang baru belajar menulis. Mengapa saya melakukan itu semua? Jawabannya cuma satu: Saya ingin jadi penulis beneran. saya ingin semua orang yang saya kenal mengenal saya sebagai penulis. Kalau bisa penulis produktif atau penulis terkenal, hehehehee.... Meskipun hampir sepuluh tahun saya bekerja di dunia pers, dan sudah membuat dua buku buku, saya merasa belum jadi penulis yang sesungguhnya. Loh? Iya, karena saya belum teruji sebagai penulis. Buktinya, hampir semua tetangga saya tidak ada yang tahu kalau saya pernah menulis dua buah buku. Mereka hanya tahu saya mantan wartawan. Itu saja. Dan profesi wartawan buat saya, berbeda dari penulis, meskipun sama-sama menulis. Kenapa? Wartawan menulis karena kewajiban, sedangkan penulis menulis karena keinginan, ada sesuatu yang menggerakkan hatinya untuk menulis. Motifnya berbeda. Seorang penulis sejati, akan lebih dikenal sebagai penulis daripada profesi lainnya yang dia miliki. Setiap orang pasti mengenal Arswendo sebagai penulis ketimbang sebagai direktur atau yang lain. Setiap orang pasti mengenal Fauzil Adhim sebagai penulis ketimbang sebagai motivator. Begitu pula dengan Kang Abik, Andreas Harefa, Andrea Hirata, Tere liye, Ali Muakhir, Marga T. dan banyak lagi yang lainnya. Sementara kebanyakan orang sekarang mengenal saya sebagai tukang sate atau juragan aqiqah. Heheheehehe... Padahal, seandainya saya sudah jadi penulis terkenal, meksipun sekarang saya jadi juragan kambing atau berjualan sate, orang pasti tetap mengenal saya sebagai penulis. Dan saya pasti tidak berhenti menulis hanya karena saya meninggalkan profesi kewartawanan saya. Faktanya kan tidak demikian.  Tetangga saya lebih kenal saya sebagai juragan aqiqah. Mungkin Anda bertanya, mengapa dari sekian puluh tahun perjalanan belajar menulis yang tiada henti itu belum juga membuat saya menjadi penulis sejati? Itulah yang juga saya tanyakan setiap kali saya menemukan buku baru tentang menulis. Setiap membaca buku baru tentang penulisan, saya selalu merasa menjadi calon penulis. Sampai saya berhenti pada sebuah kesimpulan-- yang saya kira menjadi kunci jawaban bagi siapa pun yang menghadapi persoalan yang sama dengan saya (sindrome calon penulis?)-- yaitu: saya tidak memiliki komitmen dan disiplin dalam menulis. Ya, Komitmen dan disiplin. Itulah kunci utama yang tidak pernah saya usahakan dengan sungguh-sungguh. Padahal, hanya dengan komitmen yang tinggi dan disiplin untuk berlatih menulis setiap hari, seorang yang bercita-cita menjadi penulis bisa mewujudkan mimpinya. Jangan pernah bangga menjadi calon penulis jika belum mau berkomitment untuk menulis dan disiplin berlatih menulis setiap hari. Tanpa komitmen yang tinggi dan disiplin yang ketat setiap hari, maka selamanya kita hanya menjadi calon penulis, dan tidak pernah beranjak ke level penulis yang sesungguhnya. Hampir semua buku penulisan yang saya baca mulai dari Bukunya Arswendo Mengarang Itu Gampang, sampai buku terakhir yang saya baca, karangan blogger Kompas, Om Jay, semuanya menuntut komitment dan disiplin yang tinggi untuk mewujudkan diri menjadi penulis sejati. Karena itu, jika kita ingin keluar dari kuadran calon penulis menuju kuadran penulis sejati, maka komitmen yang tinggi dan disiplin menulis setiap hari adalah harga mati. Tanpa itu, tutup saja omong kosong kita sebagai calon penulis hebat dan terkenal di dunia. (Depok, 9 February 2012)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun