Mohon tunggu...
Ridwan Malik
Ridwan Malik Mohon Tunggu... Buruh - Easy Going Man

Hoby membaca, senang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Suksesku Setinggi Doaku

11 Februari 2012   17:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:46 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang Ustadz yang sedang khusyuk berzikir di sebuah Masjid merasa terganggu dengan seorang pemuda di sampingnya yang juga sedang khusyuk berdoa. Ustadz Tadi bukan terganggu oleh suara pemuda itu, tetapi ia merasa terusik dengan doá yang dipanjatkan si pemuda.

Maka si Ustadz pun buru-buru mengakhiri  zikirnya sendiri dan menegur anak muda di sampingnya, "Apa doá yang tadi kamu panjatkan?" tanyanya.

"Saya sedang melamar menjadi sopir, Tadz. Saya berdoá kepada Allah supaya lamaran saya diterima, sehingga saya bisa menjadi sopir sebagaimana yang selama ini saya idam-idamkan."

"Bodoh! Ngapain capek-capek berdoá kepada Tuhan, kalau cuma minta menjadi sopir? Minta mobil, sekalian sopirnya! Itu baru doá. Kamu kira Tuhan tidak sanggup memberikan kamu mobil?" bentak sang Usatdz dengan marah. Si pemuda pun ngacir, kabur dari Masjid.

Jika bercermin kepada cerita di atas, ternyata kebanyakan dari kita tidak jauh berbeda dengan si pemuda bodoh  tadi. Kita lebih suka memproyeksikan cita-cita kita kepada sesuatu yang menurut kita minimal bisa kita capai, sehingga do'a yang kita panjatkan siang malam kepada Tuhan pun hanya sebatas itu-itu saja.

Padahal, orang-orang tua kita dulu sudah jauh-jauh hari mengajarkan kita pepatah yang mencerahkan, "Gantungkan cita-citamu setinggi langit." Jangan gantung di langit-langit rumah. Tapi faktanya kebanyakan kita lebih suka menggantung cita-cita hanya setinggi tali jemuran. Heheheeh... Akibatnya, do'a yang kita minta kepada Tuhan pun, yaa  hanya setingga tali jemuran itu saja.

Menurut saya, sebenarnya kita tidak berani meminta lebih kepada Tuhan, bukan karena kita tidak yakin bahwa  Tuhan mampu memberi apa yang kita minta-- meskipun untuk ukuran kita hari ini mustahil bisa diwujudkan. Kita tidak mau meminta lebih kepada Tuhan, karena kita tahu ada harga yang harus kita bayar untuk itu. Ada usaha keras yang harus kita lipatgandakan, dan banyak pengorbanan yang harus lebih kita ikhlaskan untuk mencapainya. Dan kita takut melaluinya, sehingga kita lebih memilih jalan yang paling nyaman untuk meraih masa depan kita, ketimbang jalan berdarah-darah, meskipun kita tahu Tuhan selalu ada di sisi kita dan siap membantu mewujudkan apa yang kita cita-citakan.

Saya sendiri merasa ditampar oleh cerita di atas. Saya jadi teringat bagaimana masa-masa SD dan Tsanawiyah (setingkat SMP) bahkan sampai kuliah dulu, saya sering memanjatkan do'a  yang-- belakangan baru saya sadari-- sangat tanggung  dan kurang pede. Mau tahu, apa do'a saya sejak SD yang selalu saya ulang-ulang setiap shalat Fardu, sampai saya lulus kuliah?

Begini salah satu bagiannya, "Ya Allah, jadikan aku seorang redaktur!" (Kadang saya geli sendiri jika  mengingatnya). Belakangan, setelah hampir lulus kuliah, doa itu saya tambahi menjadi, "Ya Allah, mudahkanlah pekerjaan bagiku, jadikanlah aku redaktur di sebuah penerbitan..."

Anda boleh percaya atau tidak, bahwa doa itu sudah saya rapalkan sejak duduk di bangku kelas 4 SD. Kok bisa? Bagaimana saya tahu ada profesi yang namanya redaktur?

Begitulah faktanya. Sejak kelas dua SD saya sudah suka membaca. Bahkan saya berani mengaku bahwa saya sudah bisa membaca beberapa kata sejak sebelum masuk sekolah (suatu saat saya ingin berbagi cerita yang satu ini, Insya Allah). Bahan bacaan apa pun yang saya temui di rumah, di warung kakak, atau di sekolah, baik berbentuk buku, majalah atau hanya sobekan koran Poskota,  pasti saya sikat habis. Saya sudah membaca buku Sedjarah Dunia karangan Jawaharlal Nehru sejak kelas 4 SD. Buku itu ada di rumah, entah milik siapa, dan saya tak tahu  bagaimana bisa ada di lemari ruang tamu. Saya tidak percaya 1% pun jika bapak yang membeli buku itu. Bapak hanya kenal  jaring, kapal, arus laut dan ikan, tidak mungkin menyempatkan diri membaca buku apalagi membelinya. Yang jelas buku itu sudah ada di lemari rumah kami.

Perpustakaan SD adalah tempat favorit saya setiap waktu istirahat tiba. Bahkan suatu hari saya pernah hampir menangis gara-gara perpustakaan tidak buka hari itu. Seingat saya, ketika itu saya kelas 3 SD.  Saya masih ingat penjaga perpustakaannya, Ibu Casmiati, seorang guru muda dari Jakarta.

Selain di perpusatakaan SD, saya juga hampir setiap hari membaca majalah Akrab yang bertumpuk di perpustakaan Masjid. Kalau saya menyebut kata Perpustakaan Masjid, jangan bayangkan ruangan yang penuh dengan buku, tetapi sebuah lemari kaca yang isinya majalah Islam seperti Majalah AKrab, yang terbitan Departemen Agama itu, dan beberapa majalah Qiblat serta majalah-majalah lainnya. Dari situlah saya kenal apa yang namanya Redaktur. Anehnya, saya tidak pernah terpikir menjadi yang lebih tinggi lagi, Pemimpin Redaksi, misalnya. Saya sendiri lupa, mengapa bisa begitu.

Bagi orang kampung yang tinggal di sebuah pulau di tengah laut, profesi Redaktur sepertinya sebuah profesi yang hebat. Menurut saya, Redaktur pastilah ketuanya Wartawan. Saya ingin jadi wartawan waktu itu. Kesannya gagah, keman-mana bawa pulpen dan notes, serta kamera. Nah, kalau jadi ketuanya wartawan, pasti lebih hebat lagi, pikir saya waktu itu.

Di Pulau Tidung, nama kampung halaman saya,  setiap ada kejadian di suatu tempat, misalnya di RT 1, saya selalu sempatkan berkeliling pulau mengabarkan kejadian yang baru terjadi kepada orang-orang lain di RT lainnya. Di pulau kami yang cuma dihuni sekitar 1500 KK waktu itu, setiap kejadian pastilah jadi konsumsi publik. Dan saya selalu senang kalau ada orang yang tahu sebuah kejadian dari cerita saya. kalau saya ingat masa-masa itu, benar-benar menggelikan. Maka tidak salah jika doa saya siang malam adalah menjadi Redaktur.

Dan mungkin karena doa yang tidak ada putus-putusnya itulah akhirnya selepas kuliah saya benar-benar menceburkan diri menjadi seorang wartawan. Dan anehnya, di setiap tempat kerja saya, Jabatan Redaktur dengan cepat datang ke meja saya. Di Majalah Gema Takbir yang hanya hidup tidak sampai tiga bulan, baru edisi kedua saya langsung ditawari menjadi Redaktur oleh Pemimpin redaksi saya, meskipun akhirnya saya memilih menjadi wartawan di sebuah penerbitan baru milik pengusaha Malaysia.

Di Penerbit ini pun nasib saya tidak berbeda. Hanya beberapa bulan saya langsung ditawari posisi Redaktur. Bahkan kurang dari setahun, saya sudah didaulat menjadi Pemimpin Redaksi, sebuah jabatan yang sebenarnya melampaui do'a-do'a saya yang saya rapalkan sejak SD.

Buat saya, posisi yang kelewat dari cita-cita saya itu merupakan bonus saja dari Tuhan. Karena jika kita percaya kepada judul tulisan ini, mestinya karier saya hanya mentok di Redaktur. Faktanya tidak begitu. Ini memberi pelajaran berikutnya kepada saya, bahwa bisa saja sukses kita bisa melampaui doá-doá kita (dalam Qurán surat Ibrahim dikatakan, barangsiapa yang bersyukur, Allah akan menambahkan nikmat-nya), tetapi tetap saja tidak jauh dari level yang kita rapalkan dalam doá kita. Paling banter cuma satu atau dua level. Heheheeh...

Nah,  begitu juga sebaliknya, jika posisi kita sekarang meleset atau belum mencapai posisi seperti yang kita rapalkan dalam doá-doá kita, paling tidak posisi itu sudah dekat atau hanya tertinggal satu atau dua level saja dibawahnya. Disinilah pentingnya pepatah nenek moyang kita tadi, "Gantungkan cita-citamu setinggi langit." Kalau melampaui langit, alhamdulillah, dan kalau pun tidak sampai ke langit, paling tidak, jatuh ke puncak gunung atau nyangkut di ranting pohon mangga. Masih lumayan tinggi, kan?

Sayangnya, rumus seperti ini baru saya sadari belakangan. Kalau sejak dulu saya tahu rumusnya begitu, mungkin doá saya tidak nanggung hanya ingin menjadi Redaktur. Saya pasti sudah minta kepada Tuhan supaya saya menjadi pemilik surat kabar dan majalah yang terbitannya banyak dan ada dimana-mana. Seandainya dari SD  do'a saya seperti itu, bisa jadi nama saya bisa menyamai  Rupert Murdoch, atau paling banter seperti Dahlan Iskan atau Surya Paloh. Heheheheeh...  Bukankah tidak ada yang mustahil bagi Tuhan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun