Bagi masyarakat metropolitan di Indonesia kerata api adalah transportasi massal yang mungkin mudah dijumpai. Namun, bagi masyarakat di wilayah yang masih butuh ‘polesan’ pemerintah, kereta api masih sebuah impian. Setidaknya, ini seperti yang saya rasakan.
Angan yang Mengusik
Sebuah urusan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Pusat, jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jaksel, di awal tahun mengharuskan saya harus menyeberang dari Yogyakarta ke Ibu Kota. Ya, dengan senang hati dan tanpa banyak pertimbangan saya akhirnya memilih naik kereta api. Ini menjadi kereta api pertama saya. Transportasi massal ‘merakyat’ yang belum pernah saya tumpangi. Persiapan melalui riset sederhana pun saya lakukan. Mulai dari menanyakan pengalaman beberapa teman. Survei harga dan jadwal kereta api di stasiun Tugu dan Lempuyangan. Sampai membuat pusing customer service stasiun dengan pertanyaan-pertanyaan aneh yang berbuah hadiah buku panduan.
Berkat informasi mereka akhirnya saya memperoleh gambaran yang menjadi dasar pengambilan keputusan. Ada kereta api dengan pelayanan eksekutif, ada kereta api dengan senyuman kelas ekonomi. Ada kereta api dengan tarif mendekati harga tiket pesawat low cost carrier (LCC), ada juga kereta api bertarif otoriter ala taksi tanpa argo bandara Adisutjipto. Saya cenderung memilih kelas transportasi favorit saya: ekonomi. Selain harganya terjangkau bagi isi dompet sekarat seperti yang saya alami, menyelami realitas dengan kondisi berdesak-desakan dengan tempat duduk ukuran terbatas menjadi pengalaman menarik untuk dicoba. Seperti istilah teman saya menggambarkan suasana makan durian minum air bergelaskan kulitnya: Indonesia banget.
Saya pergi menggunakan kereta api Progo. Pulang naik kereta api Jaka Tingkir. Kereta api pertama dan kedua saya. Dari keduanya, Jaka Tingkir sedikit memberikan kenyamanan dibandingkan Progo. Sayangnya ketika pengalaman pertama saya naik kereta itu, tarif kereta belum lama ikut naik. Mickel, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI), Jogja, yang sekereta dengan saya, mengatakan kenaikan harga kereta dipicu penarikan subsidi oleh pemerintah. Harga kereta yang dulunya Rp. 50 ribu sekarang sesuai yang saya dapatkan adalah Rp. 140 ribu. Lumayan. Tapi, tak apalah, demi impian kecil yang lama dipendam: naik kereta api.
Kereta api bagi saya adalah simbol kerakyatan. Ini dikarenakan harga kereta api yang mudah ‘dijangkau’ masyarakat kita. Kereta api menghubungkan daerah “berhutan pohon” dengan daerah “berhutan beton”. Kereta api menjadikan masyarakat yang hidup di daerah pedalaman—yang terbiasa dengan udara segar pedesaan dapat dengan mudah menghirup udara penat perkotaan. Positifnya kereta api mempermudah aktivitas ekonomi rakyat lintas wilayah melalui konektifitasnya.
Keberadaan kereta yang menjadi ‘berkah’ bagi masyarakat pun disinggung Pramoedya Ananta Toer dalam roman Bumi Manusia—yang ditulisnya dalam pengasingan di Pulau Buru, Maluku. Kebetulan Tetrologi Pulau Buru dari empat roman itu dikenalkan dan diberikan lengkap seorang teman baik, Kurnia Sari, seorang desainer & pekerja kantoran yang hobi naik gunung hanya untuk menangis, kepada saya yang kemudian rela menyusuri loakan untuk mencarikan. Bacaan alternatif di waktu senggang. Di roman Bumi Manusia, Pramoedya menulis bahwa kehadiran pertama kereta api di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) menjadi simbol datangnya zaman modern. “Dunia”, tulis Pramoedya, “rasanya tiada berjarak lagi—telah dihilangkan oleh kawat, sekrup dan mur” (Toer, 2005:13-14). Begitulah ia menggambarkan permulaan kehadiran kereta di tanah Jawa menggantikan bantuan hewan sebagai kendaraan rakyat saat itu.
Di atas kereta api mata saya dominan memandang ke luar jendela. Cukup menggoda. Dari kaca jendela keretaapi tersaji pemandangan alam yang asri sekaligus ironi—sesekali tampak hamparan pebukitan hijau diselingi sungai-sungai; para petani bercocok tanam di sawah sambil anak-anak mereka bermain-berlarian; sampai ‘pemukiman’ warga tanpa pembatas dengan jarak kurang lebih 5-6 meter dengan rel kereta.
Dalam perjalanan bersama kereta api itu kadang angan-angan saya selalu mengusik: kapan impian kecil ini bisa dinikmati di sudut-sudut negeri seperti di timur Indonesia sana?
Modal Sosial Kereta
Kereta api dulu yang hanya bisa saya saksikan di layar kaca dan kereta yang sekarang saya jumpai kian berbeda. Berbagai pembenahan sudah dilakukan. Saat ini beberapa kereta api sudah mulai tampak modern. Mulai dari infrastruktur kereta api sampai aspek regulasi. Mickel banyak menceritakan pengalamannya naik kereta api di mana menurutnya kondisi saat ini lebih baik jika dibandingkan dulu. “Dulu para penjual bebas masuk ke dalam kereta saat kereta mampir di sebuah stasiun. Namun saat ini sudah tidak diperbolehkan. Hanya bisa berjualan di seputaran stasiun”, ujarnya. Ia juga sempat menyinggung kondisi kenaikan tarif kereta api yang cukup signifikan. “Walau harga kereta naik namun tidak mengurangi minat masyarakat untuk naik kereta,” timpal seorang seniman wayang di samping Mickel yang sesekali membuka buku wayang yang ia genggam.
Satu yang menurut saya menarik di dalam kereta api adalah interaksi yang unik antar-penumpang. Semua penumpang memosisikan diri laiknya anggota komunitas yang telah terbentuk lama. Seperti ‘budaya’ komunitas: semua penumpang sama rata (egaliter). Pengalaman saya memperlihatkan relatif tak ada penumpang yang egois. Semuanya saling tertutur-sapa. Bahkan ketika saya sengaja diam, seorang seniman wayang mendahului memulai pembicaraan yang akhirnya menjadi obrolan menarik. Ia banyak bercerita tentang sejarah dan eksistensi wayang di tanah air. Katanya, wayang juga menjadi media yang digunakan Indonesia dalam berdiplomasi dengan negara lain.
Interaksi unik dalam kereta api jarang saya temui di transportasi massal lainnya. Berbeda dengan ‘ruang’ pada pesawat terbang ataupun bus kota yang membuat penumpang lebih banyak memilih diam atau cuek. Ruang dalam kereta api mendorong orang untuk berkomunikasi. Mungkin karena api jarak tempat duduk yang mepet dan berhadapan yang didukung atmosfer di dalam kereta membuat interaksi antarpenumpang terjalin cukup intens. Tentu, interaksi tersebut dapat menjadi awal relasi untuk berbagai kepentingan baik di kemudian hari. Itulah modial sosial kereta api: konektifitas, interaksi dan silaturahmi.
“Gelombang Baru”
Namun kereta api juga dapat menjadi ukuran pembangunan sebuah wilayah. Di wilayah dengan pembangunan masif kereta api menjadi transportasi yang mudah ditemui. Sementara bagi daerah yang ‘termarginalkan’ kereta api hanyalah sebuah angan-angan. Menteri Perhubungan (mantan Dirut PT KAI yang sukses mengubah perkeretaapian Indonesia menjadi lebih modern), Ignasius Jonan, pernah mengakui bahwa masyarakat di daerah pun tidak pernah melihat seperti apa bentuk kereta api (Republika, Januari 2015). Begitulah fakta jika kita sedikit membandingkan satu wilayah dengan wilayah lain di Indonesia.
Kereta api juga menjadi ‘produk politik’ para politisi untuk menarik simpati. Di Maluku Utara sendiri kereta api pernah diwacanakan akan dibangun untuk menghubungkan jalan lingkar Halmahera. Ketika wacana itu bergulir, tentu banyak masyarakat menyambut gembira. Maklum, infrastruktur menjadi kendala tersendiri bagi lalu-lintas manusia dan barang di daerah kaya sumber daya alam ini. Keterbatasan infrastruktur di sini juga menjadi penyebab inflasi. Sayang, wacana membangun kereta api di Halmahera sampai saat ini masih menjadi angan-angan.
Secarik koran bekas yang tak sengaja saya jumpai saat perjalanan balik dengan kereta Jaka Tingkir mengabarkan berita tentang pembangunan perkeretaapian di Indonesia. Produk politik pemerintahan Jokowi-JK pada “era pembangunan infrastruktur” melalui rencana menghadirkan kereta api di beberapa wilayah. Menariknya cetak biru pembangunan perkeretaapian di Indonesia kini mulai menyasar daerah di luar pulau Jawa. Seperti di Sumatera dengan rute Prapat Kertapai-Palembang, Kalimantan rute Pontianak-Balikpapan, Sulawesi rute Makassar-Manado dan Papua yang rencananya dibangun rel sepanjang 400 km untuk rute Sorong-Manokwari (Republika, Januari 2015). Pembangunan infrastruktur perkeretaapian “gelombang baru” ini diharapkan dapat memberi keadilan dan keseimbangan struktur perekonomian di tanah air. Saya iseng menyebutnya sebagai “gelombang baru” karena pembangunan perkeretaapian di wilayah timur berbanding terbalik dengan wilayah lain di Indonesia. Jika ini benar dilakukan maka ini adalah terobosan radikal!
Saatnya produk politik perkeretaapian gelombang baru ini digiring pada etape implementasi. Bukan sekadar jargon untuk menyasar pangsa pasar politik tanpa realisasi. Membangun jalur kereta api di wilayah-wilayah baru menjadi momentum untuk membangkitkan ekonomi yang berkeadilan seperti amanat konstitusi. Menarik menyimak analogi Rhenal Kasali (2008) tentang membangun bangsa dalam metafora kereta api: jika Indonesia diibaratkan sebuah kereta api, maka gerbong pertama yang harus ditarik lokomotif adalah “gerbong ekonomi”, baru dilanjutkan dengan “gerbong-gerbong” lainnya.
Kini, perjalanan belum usai bagi kereta api bernama Indonesia. Masih banyak “stasiun” yang perlu disinggahi. Jalan panjang rel kereta api di depan sesekali menyilang penuh tantangan. Berliku tapi mengasikkan. Di tengah angan mengusik waktu itu, saya diingatkan oleh 'seseorang' bahwa kereta api yang kami tumpangi sudah sampai di stasiun tujuan. Saatnya bergegas, menyiapkan diri dan melanjutkan perjalanan.
Ternate -Jogja, Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H