James Cameron serupa tetua adat masyarakat pesisir di Indonesia yang mengajarkan filsafat bahari Nusantara kepada kalayak dunia melalui film Avatar: The Way of Water.Â
Film sekuel Avatar itu tak sekadar menyajikan tontonan bermutu secara visual. Ia hendak mengantarkan kita menyelami kesakralan bahari bagi peradaban umat manusia. Perihal ragam prestasi dan keuntungan yang dicapai oleh film Avatar, selebihnya menjelma sejarah dalam industri perfilman.
Samudera Biru
Mengapa film Avatar mampu masuk sebagai film terbaik dengan keuntungan yang besar dibandingkan film lain di industri yang sama? Saya berpendapat bahwa James Cameron menggunakan strategi "samudera biru" yang belum dijangkau pesaingnya.Â
Samudera biru merupakan frasa yang dipakai W. Chan Kim dan Renee Mauborgne dalam bukunya Blue Ocean Strategy (2005) untuk menciptakan ruang pasar tanpa pesaing dalam sebuah industri bisnis. Tentu juga berlaku pada industri perfilman.Â
Selain pemanfaatan teknologi visual Computer Generated Imagery (CGI), sekuel Avatar sarat makna melalui hikayat tentang laut yang terimajinasi dalam planet Pandora.
Setelah melalui riset yang panjang, James Cameron pun terpikat dengan kehidupan asli Suku Bajo di Indonesia. Ia lantas menyusun cerita, menyiapkan perangkat teknologi secara matang bertahun-tahun, lalu menggarap film bersama timnya hingga kini sekuel Avatar masuk film terlaris sepanjang masa.
Selain visual, keunggulan sekuel avatar itu terletak pada alur cerita. Saat bangsa langit (manusia) berupaya mengeksploitasi sumber daya laut Pandora yang bernilai mahal, mereka harus berhadapan dengan suku Metkayina planet Pandora yang secara turun temurun masih memegang teguh budaya bahari, kepercayaan, dan kesakralan kehidupan laut.
Melalui Avatar: The Way of Water, saya melihat sesuatu yang lebih. Secara tidak langsung James Cameron mengingatkan kita akan legenda Saihu, pemimpin giop (menjala ikan) dari perairan Maluku Utara yang karismatik kepemimpinan, kebijaksanaan, insting, dan visi yang kuat saat hendak "bertarung" di laut. Â
Ia serupa Bapa Raja dari perairan Arafura, khususnya Kepulauan Kai, yang hendak mengajarkan Larwul Ngabal, hukum adat yang di antaranya menekankan penghormatan pada laut dan perempuan. Atau para tetua nun bijaksana dari masyarakat Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, yang mengajarkan kearifan lokal Pou Hari untuk menghormati leluhur, laut, dan para "penghuninya".