Di tengah hiruk-pikuk Ramadan, ketika jalanan dipenuhi orang-orang yang berlomba mencari menu berbuka terbaik, saya melihat sesuatu yang jauh lebih bermakna daripada sekadar makanan enak atau diskon belanja. Seorang pria, dengan kondisi tubuh yang tak seperti kebanyakan orang, merangkak di trotoar yang panas, tangannya menyentuh aspal yang kasar, berusaha melangkah dengan caranya sendiri. Ia tidak bisa berjalan seperti kita, dan tidak bisa bicara. Namun, yang paling menyentuh hati adalah semangatnya.
Bulan Ramadan sering dikaitkan dengan ujian menahan lapar dan haus. Tetapi pria ini menghadapi ujian yang jauh lebih berat---ujian untuk bertahan hidup setiap harinya. Teman saya berbisik, "Dia tetap berusaha mencari makan, meskipun harus meminta bantuan orang lain." Kata-kata itu menggema di benak saya. Berapa banyak dari kita yang masih sering mengeluh tentang hidup? Tentang pekerjaan yang melelahkan, tentang tugas yang menumpuk, atau bahkan tentang makanan berbuka yang kurang sesuai selera?
Saya terpaku, melihat bagaimana pria itu tetap berusaha, bukan menyerah pasrah. Ia tidak meminta belas kasihan dengan tatapan kosong. Ia menatap dengan harapan, dengan tekad bahwa hari ini ia harus tetap hidup. Di saat banyak dari kita hanya memikirkan kenyamanan sendiri, ia mengingatkan saya akan sesuatu yang lebih penting: hidup adalah perjuangan, seberat apa pun itu.
Banyak orang menganggap Ramadan sebagai waktu untuk memperbanyak ibadah, tetapi pria ini mengajarkan makna ibadah yang lain---kesabaran, ketabahan, dan kerja keras. Tidak ada jaminan bahwa orang-orang akan selalu memberinya makanan atau uang. Tidak ada kepastian bahwa esok ia akan makan dengan layak. Namun, ia tetap melangkah dengan kedua tangannya, berusaha yang terbaik meskipun tubuhnya membatasi geraknya.
Melihatnya, saya merasa malu. Berapa kali kita menyerah hanya karena hal kecil? Berapa kali kita merasa hidup tidak adil hanya karena gagal dalam sesuatu? Pria ini tidak memiliki banyak pilihan dalam hidupnya, tetapi ia tetap menjalani harinya dengan keyakinan. Jika ia saja masih bisa terus bertahan, dengan semua keterbatasannya, lalu apa alasan kita untuk menyerah?
Ramadan seharusnya tidak hanya mengajarkan kita untuk menahan lapar, tetapi juga mengajarkan empati dan rasa syukur. Jika di bulan penuh berkah ini kita masih merasa kurang, masih enggan berbagi, dan masih sibuk dengan urusan sendiri, mungkin sudah waktunya kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita benar-benar memahami makna Ramadan?
Pria itu mungkin tidak bisa berdiri tegak, tetapi semangatnya lebih tinggi dari siapa pun. Dan dari seorang yang berjalan dengan merangkak, saya belajar satu hal: dalam hidup, menyerah bukan pilihan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI