GEMA TAKBIR berkumandang menunjukkan kebesaran Tuhan di setiap malam Idul Fitri, walau ada yang berbeda untuk lebaran tahun ini nuansa ketupat, opor ayam tetap ada dan terasa, yang membedakan momentum belanja, keramaian dan kebebasan yang tak seperti biasanya. Korona membuat semuanya berubah walaupun ada hikmahnya.Â
Pembatasan Sosial berskala Besar (PSBB) yang sejak awal untuk mempersempit ruang gerak penyebaran Korona bahkan disebut seorang anggota DPR-RI di kabupaten Purwakarta tak memberi dampak signifikan, memang iya. penulis merasakan keberadaan chek point di banyak daerah yang sering kosong. Belum lagi upaya ditingkat RT/RW yang memblokir jalan masuk gang namun kebanyakan tinggal spanduk dan pos yang tak terawat lagi. Â
Membludaknya bantuan dampak Korona menyadarkan semua orang tentang pentingnya data jiwa dimiliki pemerintah secara subtantif, kenyataan kisruh bantuan 9 pintu yang bermuara pada data menimbulkan persepsi kesemrawutan birokrasi pemerintahan daerah yang berujung saling tuding dan saling menyalahkan.Â
PSBB itu menyakitkan membuat terbatas pergerakan, mudik yang kini menjadi tradisi tertunda, bahkan terkait shalat jum'at, shalat tarawih, idul fitri dengan aturan khusus, lalu kemunculan tagar Indonesia terserah yang mempengaruhi banyak orang untuk menyerah," Bagaimana saya bisa makan kalau toko saya harus tutup, bagaimana lebaran anak saya, bagaimana persiapan sekolah anak saya bulan depan kalau toko tutup terus," ungkap seorang pedagang di pasar  tradisional di kabupaten Sumedang.Â
Anggaran yang besar itu tentu saja semua masuk kantong penanggulangan Covid-19, belum lagi banyak anggaran lain yang dipotong menambah dana penanggulangan, bisa defisit dan minta cetak uang baru bukan solusi, dengan realita pasien dalam pengawasan (PDP), positif dan korban meninggal yang terus bertambah membuka mata semua orang soal imunitas negeri ini dari pengeluaran negara untuk penanggulangan Korona.Â
Kerja aparat terus bertambah, menjaga dan mengawasi banyak hal termasuk di perbatasan daerah,"kaya mau keluar negeri sekarangmah di perbatasan mau ke Sumedang ketat sekali," kata seorang warga Subang yang hendak melintasi kabupaten itu.Â
Berapa uang makannya, transportnya?untuk berdiri berjam-jam mengawasi banyak hal sementara pasien positif Korona terus bertambah, dimana letak kesalahan semua ini, negeri yang semakin terpojok dengan korona syndrome. tegakan kita melihat perawat yang wafat terpapar, aparat yang terus berjaga sementara rakyat enggan disiplin dan tak takut dengan Korona.Â
Besok kita lebaran, paling tidak kembali ke fitrah penuh dengan keinginan meningkatkan keimanan dengan disiplin dan kesadaran sendiri mencegah penularan Korona. tidak mudik atau mudik bukan hal yang penting selama sikap disiplin mau menjaga kesehatan ada pada diri kita sendiri, ego dan keras kepala melawan protokol kesehatan memang mudah. namun setelah itu kita bahkan bisa tak sempat menyesal karena lebih dulu mati karena Korona. Naudzubillahi Min dzalik. Wallohu'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H