Mohon tunggu...
Ridwan Hardiansyah
Ridwan Hardiansyah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

penikmat huruf dan angka serta tanda-tanda yang menyertainya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menyelamatkan Balai Pustaka*

7 Juli 2012   17:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki usia senja, Balai Pustaka pun semakin renta. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menetapkan perusahaan penerbitan itu menjadi satu dari tujuh BUMN dhuafa atau terus mengalami kerugian pada akhir Oktober 2011 lalu. Untuk menyelamatkan Balai Pustaka, Kementerian BUMN menunjuk PT Telkom untuk mengambil alih pengelolaan.

Meskipun belum ada kepastian bentuk pengambilalihan, Balai Pustaka direncanakan akan menjadi anak perusahaan PT Telkom. Hingga saat ini, PT Telkom masih berupaya tetap menjual konten milik Balai Pustaka melalui sistem internet.

Kondisi keuangan Balai Pustaka memang tengah mengalami persoalan. Pada 2009, Kementerian BUMN mencatat kerugian perusahaan pelat merah itu mencapai Rp 66,67 miliar. Kerugian terjadi salah satunya karena persaingan bisnis yang semakin ketat dengan lahirnya banyak perusahaan penerbitan swasta.

Pemerintah sudah sepatutnya menyelamatkan Balai Pustaka. Alasannya sederhana, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu bentuknya adalah memperbanyak buku berkualitas sebagai salah satu sumber bacaan masyarakat.

Menurut Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta Ahmad Baedowi, jumlah buku baru yang terbit di Indonesia hanya sekitar 8 ribu judul per tahun. Jumlah itu jauh lebih rendah dibandingkan negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia yang menerbitkan 15 ribu judul per tahun atau Vietnam yang mencapai 45 ribu judul per tahun (Membangun Budaya Baca, Media Indonesia, 19/4/10). Minimnya jumlah buku baru yang terbit di Indonesia memiliki korelasi dengan budaya baca masyarakat Indonesia yang rendah.

Melalui Balai Pustaka, pemerintah bisa menyediakan dan memperbanyak buku untuk menjadi referensi bacaan masyarakat yang bermutu. Menyelamatkan Balai Pustaka, hal itu menunjukkan kepedulian pemerintah untuk meningkatkan minat baca masyarakat yang pada akhirnya bisa mencerdaskan kehidupan bangsa.

Penyebab kerugian Balai Pustaka karena kalah persaingan bisnis dengan perusahaan penerbitan swasta, pun tidak boleh menjadi alasan pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab. Hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah memikirkan strategi baru supaya Balai Pustaka mampu bersaing secara bisnis.

Alasan lain pemerintah seharusnya menyelamatkan Balai Pustaka adalah untuk menjaga salah satu bukti sejarah Indonesia. Dalam usianya yang telah menginjak 94 tahun, Balai Pustaka telah tercatat sebagai salah satu titik penting dunia kesusastraan Indonesia. Kehadiran Balai Pustaka menandai salah satu periodisasi sastra Indonesia yang dikenal dengan Angkatan Balai Pustaka.

Angkatan Balai Pustaka merupakan momentum perubahan yang terjadi pada sastra Indonesia. Angkatan tersebut berada pada kisaran tahun 1920-an setelah Angkatan Pujangga Lama dan Angkatan Sastra Melayu Lama (Wikipedia). Perubahan terjadi pada bentuk sastra yang dihasilkan.

Jika pada dua angkatan sebelumnya, karya sastra banyak dihasilkan dalam bentuk syair, pantun, gurindam, dan hikayat serta novel terjemahan barat. Angkatan Balai Pustaka mengenalkan karya sastra dalam bentuk puisi dan prosa berupa cerita pendek (cerpen), roman, novel, dan drama.

Kehadiran Balai Pustaka turut berperan dalam melahirkan penulis-penulis Indonesia. Banyak novel yang terbit pada masa itu menjadi karya besar yang tak lekang waktu bahkan hingga saat ini. Sebut saja novel Siti Nurbaya karya Marah Roesli atau novel Salah Asuhan milik Abdul Muis.

Meskipun demikian, Angkatan Pujangga Baru yang hadir berikutnya menganggap Balai Pustaka terlalu banyak memberikan sensor terhadap karya tulis sastrawan. Sensor diberikan terhadap karya sastra berisi rasa nasionalisme dan kesadaran berkebangsaan yang saat itu tengah dibentuk demi mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Konteks sensor sebenarnya memiliki hubungan dengan tujuan awal pendirian Balai Pustaka, yaitu mengalihkan perhatian masyarakat terhadap perkembangan di Indonesia yang sedang mengalami pergolakan nasionalisme. Hal itu dilakukan dengan menyediakan bacaan berupa karya sastra hasil terjemahan Eropa.

Balai Pustaka yang didirikan pemerintah Hindia Belanda pada 14 September 1908 pertama kali bernama Commissie voor de Volksectuur atau Komisi untuk Bacaan Rakyat (KBR). Nama Balai Pustaka kemudian disematkan pada 22 September 1917. Balai Pustaka selanjutnya berusaha menjaga masyarakat supaya tidak membaca bacaan menyesatkan yang kala itu banyak bermunculan seperti bacaan cabul. Balai Pustaka berusaha menerbitkan bacaan bermutu bagi masyarakat.

Walaupun memiliki tujuan awal tertentu, Balai Pustaka ternyata mampu turut memainkan peran terhadap keberadaan sastra Indonesia. Peran tersebut seharusnya bisa tetap dilakoni Balai Pustaka pada masa kini.

Terlepas dari peran buruk masa lalu, Balai Pustaka merupakan salah satu bukti sejarah di Indonesia. Balai Pustaka pun menjadi salah satu simbol tanggung jawab pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itulah, pemerintah harus mampu untuk tetap mempertahankan denyut nadi Balai Pustaka. Menapaki usia senja, Balai Pustaka tidak boleh renta.



[]


* Artikel ini telah diterbitkan di rubrik opini Radar Lampung pada 23 Februari 2012

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun