Mohon tunggu...
Ridwan Hardiansyah
Ridwan Hardiansyah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

penikmat huruf dan angka serta tanda-tanda yang menyertainya.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Mencicip Kerupuk Mi Melestarikan Kuliner Indonesia

6 November 2013   02:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:32 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangan kirinya luwes memegang kerupuk ubi berbentuk bulat yang terlipat dua. Sementara, tangan kanannya lincah bergerak mengangkat centong kayu dari tempatnya bersandar, di dalam sebuah wadah plastik transparan berisi bumbu kacang. Sekelebat, bumbu kacang berpindah menempel pada permukaan kerupuk berdiameter sekitar 20 centimeter (cm) itu. Belum berhenti, tangan kanan berjemari kekar itu, dengan menggunakan garpu, lalu menyusur wadah plastik lain berisi mi. Tak kalah cepat, mi pun segera bertengger di atas bumbu kacang yang terbalur pada kerupuk. Jadilah, sebuah kerupuk mi kuah sate siap disantap.

Pertemuan saya dengan makanan tersebut adalah untuk kali pertama dan tanpa kesengajaan. Hal itu terjadi pada pertengahan Oktober 2013 silam. Dalam perjalanan dari Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat menuju Bandara Internasional Minangkabau, saya menyempatkan diri singgah di destinasi wisata Jam Gadang di Bukit Tinggi. Sekitar 10 meter barat daya bangunan menara Jam Gadang, tampak seorang pedagang. Meskipun berada di antara ramai pedagang lain, sepertinya, saya hanya memiliki ketertarikan dengan barang yang dijual pedagang tersebut.

Sebuah gerobak mini beroda tiga warna merah menjadi tempat menaruh barang dagangan. Gerobak, yang diiklankan dengan tagline “tinggal sorong” itu, merupakan alas untuk dua buah kantong plastik besar berisi kerupuk. Selain itu, dua buah wadah plastik transparan, masing-masing berisi bumbu kacang dan mi, juga turut berdesakan. Semua bahan jadi itu adalah modal pedagang yang tersenyum saat saya hampiri.

[caption id="attachment_276259" align="alignright" width="300" caption="Seorang penjual kerupuk mi kuah sate tengah menyajikan pesanan pembeli."][/caption]

Tiga ribu rupiah, begitulah harga yang disebutkan. Tanpa tawar menawar, persetujuan didapatkan. Dengan cekatan, pedagang berkaus biru itu segera menyajikan pesanan. Dalam waktu tak sampai dua menit, sebuah kerupuk mi kuah sate sudah berpindah tangan, dan siap untuk dinikmati.

Sejak gigitan pertama, makanan tersebut ternyata memberikan kesan enak. Kerupuk terasa renyah dan gurih. Kerenyahan itu segera berurai dengan rasa mi yang hambar tetapi bercampur manis dan pedas bumbu kacang khas Sumatera Barat, yang terasa lebih kental mencair. Pertentangan rasa tersebut ternyata justru menjadikan kerupuk mi kuah sate terasa sedap. Dengan sensasi itu, makanan tersebut bisalah saya katakan, mengutip ungkapan yang selalu diucapkan wartawan senior Bondan Winarno, maknyus.

Pada sebagian orang, kudapan itu juga dikenal dengan kerupuk mi kuah gulai. Sebagian lagi menyebut kerupuk leak. Rasa bumbu kacangnya menjadikan kerupuk tersebut terasa khas. Rasa itu juga mampu memberikan identitas khusus yang menjadi ciri di suatu daerah. Meskipun tergolong makanan ringan, menurut saya, kerupuk mi kuah sate tetap menjadi satu di antara keragaman kuliner khas Indonesia.

Kuliner Indonesia berasal dari berbagai makanan khas di setiap daerah. Kekhasan setiap daerah itulah yang mampu membentuk kekayaan kuliner Indonesia. Kekayaan itu bertambah karena setiap daerah bisa memiliki lebih dari satu makanan khas. Pertanyaan yang muncul, seberapa banyak makanan khas suatu daerah yang bisa dinikmati di seluruh daerah di Indonesia?

Memang, ada beberapa makanan khas yang telah mudah dinikmati di setiap daerah. Sebut saja, gudeg Jogja, sate Padang, pempek Palembang, atau kerak telor Jakarta. Tetapi, banyak pula makanan khas daerah yang masih sulit dinikmati di daerah lain di Indonesia. Hal tersebut tentu menjadi sebuah ironi. Karena, tidak semua penduduk Indonesia bisa merasakan seluruh kekayaan kuliner dalam negerinya sendiri.

Pada lain pihak, globalisasi dan modernisasi, sedikit banyak, telah membawa perubahan di Indonesia. Termasuk, perkembangan kuliner. Banyak restoran bermerek dagang luar negeri singgah dan bermukim di bumi pertiwi. Kemampuan hegemoni, dan pola pikir kebanyakan masyarakat Indonesia, yang menganggap segala sesuatu dari luar negeri adalah modern, dan mampu meningkatkan strata kehidupan, menjadikan restoran-restoran tersebut berkembang pesat di nusantara. Dampaknya, kuliner khas daerah bisa semakin terlupakan dan ditinggalkan.

Dalam kondisi ini, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Pemerintah bisa menjadi pendorong perkembangan sekaligus pelestari kuliner-kuliner khas daerah tertentu, untuk bisa dinikmati di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri. Salah satu caranya adalah dengan menghadirkan seluruh kuliner khas daerah, pada penyelenggaraan pameran pembangunan di setiap daerah.

Pameran pembangunan biasanya dilakukan pemerintah daerah untuk memperingati hari ulang tahun daerah. Misalnya, Jakarta Fair di Jakarta. Pameran pembangunan umumnya menghadirkan potensi-potensi yang berkembang di daerah bersangkutan. Tetapi, saya kira tidak ada salahnya, apabila pemerintah daerah setempat mau menyediakan tempat bagi kebudayaan daerah lain, dalam pameran yang diadakan. Khususnya, kuliner khas daerah. Sebab, hal itu tentu akan memperkaya pengetahuan pengunjung pameran, yang mayoritas tentu saja berasal dari daerah setempat. Tetapi utamanya, kuliner khas suatu daerah dapat dikenal di daerah lain.

Pada konsep ini, pemerintah pusat dapat berperan sebagai koordinator, yang memfasilitasi kuliner khas suatu daerah untuk mengikuti pameran pembangunan di daerah lain. Selain itu, pemerintah pusat pun bisa melakukan evaluasi. Apabila keberadaan kuliner khas daerah lain tersebut mendapat respon baik dari masyarakat setempat, pemerintah secara bertahap dapat melakukan pengembangan. Yaitu, membangun tempat kuliner khas daerah lain, di daerah di mana pameran pembangunan diadakan, melalui skema dana bergulir. Dengan demikian, pemerintah telah menjadi pendorong perkembangan sekaligus pelestari kuliner khas daerah di Indonesia.

Kalaupun hal tersebut terwujud, penduduk di luar Sumatera Barat, tak perlu lagi repot, mendatangi Jam Gadang hanya untuk menikmati kerupuk mi kuah sate. Semakin banyak orang yang mengenal dan menikmati, kelestarian kerupuk mi kuah sate pun dapat terjaga. Meskipun, banyak restoran luar negeri hijrah ke Indonesia. Semoga.

[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun