Mohon tunggu...
Ridwan Hardiansyah
Ridwan Hardiansyah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

penikmat huruf dan angka serta tanda-tanda yang menyertainya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kolonis Kumpul Baru Temui Keluarga di Jawa 1957*

7 Juli 2012   06:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:13 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="Sugeng Prayitno Haryanto. sumber foto: radarlampung.co.id"][/caption] Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Peribahasa tersebut telah menjadi pedoman bagi Sugeng Prayitno Haryanto dalam menjalani hidup sebagai anak transmigran di Lampung.

Sebagai generasi keempat keturunan transmigran asal Purworejo, Jawa Tengah (Jateng), Sugeng berhasil meraih sukses dengan menjabat rektor Universitas Lampung (Unila) untuk periode kedua pada 2011-2015.

"Saya generasi keempat apabila dihitung dari kepindahan kakek buyut. Tetapi, saya generasi ketiga yang lahir di Lampung," kata Sugeng, Rabu (7/3/2012).

Kehadiran Sugeng di Lampung tak lepas dari peran Karto Semitro. Dia adalah kakek buyut Sugeng yang pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Ruwai Jurai. Desa yang kemudian ditempati di Lampung diberi nama sama dengan desa yang ditinggali di Pulau Jawa, Purworejo.

Purworejo saat ini telah menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Pringsewu yang merupakan daerah otonomi baru (DOB) bentukan tahun 2008. Sebelumnya, Purworejo masuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan (Lamsel).

Di tempat barunya, Karto bertani sawah dan berkebun kopi seadanya. Sugeng menceritakan, kehidupan saat itu terbilang sulit. Rumah yang dimiliki Karto hanya berupa geribik dengan lantai tanah.

Rumah tersebut pada kemudian hari ditinggali keturunan Karto, Ahmat Muso. Tidak hanya rumah, pekerjaan Karto sebagai petani pun menjadi warisan bagi anak laki-lakinya tersebut yang merupakan kakek Sugeng.

Pertanian, sambung Sugeng, memang telah menjadi ciri seorang transmigran. Hal itu juga terus dilakoni dirinya meskipun telah menjabat sebagai rektor. Sugeng merasa harus terus menjaga kebudayaan telah membesarkannya.

"Bapak saya seorang guru kecil. Guru SD golongan satu. Dia juga bertani sama seperti bapaknya. Uang sangat susah saat itu. Bapak saya harus menghidupi sembilan anaknya. Dia malah pernah jualan jagung. Sampai sekarang, saya juga bertani sawah dan kopi karena ingin membudayakan waktu kecil saya hidup di transmigrasi. Saya menjadi ketagihan. Kalau tidak begitu, saya bisa sakit," urai Sugeng.

Sugeng mengaku tidak begitu banyak mengenal kakek buyut dan kakeknya tersebut. Terlebih, kehidupan yang dijalani saat itu. Hal tersebut karena sejarah tentang mereka berdua sangat sedikit.

"Kakek saya meninggal ketika bapak saya berusia 10 tahun. Jadi, waktu saya tanya, bapak saya juga bingung. Karena umur 10 tahun sudah tidak ada bapaknya, mau ditanya lagi, dia juga bingung," papar Sugeng.

Waktu kedatangan Karto ke Lampung tak diketahui pasti. Sugeng menuturkan, hal tersebut pernah ditanyakan kepada bapaknya. Tetapi, jawabannya pun terkadang berubah. Jawaban serupa pun didapat ketika Sugeng bertanya kepada beberapa tetangga yang turut ikut pindah bersama Karto.

"Awalnya dibilang 1908. Tetapi, lain waktu dikatakan 1928. Antara (tahun) itulah kira-kira. Yang mana yang jelas saya juga tidak tahu," ungkap laki-laki kelahiran Lamsel, 23 September 1958.

Ketidakjelasan juga menyeruak perihal alasan Karto memilih untuk pindah dari Jawa ke Lampung. Sugeng menjelaskan, beberapa orang mengatakan kakek buyutnya itu ditangkap penjajah Belanda dan dipaksa bekerja di Lampung. Tetapi, cerita lain menyebutkan, Karto merupakan seorang pemberontak yang diasingkan.

"Tidak jelas mana yang benar. Karena, itu juga tidak bisa diuji. Yang pasti, kakek buyut saya datang hanya bersama istrinya dan meninggal di Lampung," tutur Sugeng.

Ketidakjelasan informasi, menurut Sugeng, memang banyak terjadi apabila perpindahan penduduk terjadi pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia tahun 1945 atau dikenal dengan kolonisasi.

"Kalau era kolonisasi, banyak sekali (anak transmigran) yang sudah tidak tahu asal-usulnya. Apalagi, orangtua mereka tidak pernah ke Jawa sama sekali. Tetapi, ada juga yang tahu. Saya termasuk orang yang mengetahui keluarga di Jawa," terang alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Orang yang pertama kali berusaha mencari tahu keluarga di Jawa adalah bapak Sugeng, Kumpul Harianto. Pada 1957, Kumpul mengikuti acara kepanduan (pramuka) ke Yogyakarta. Mendapat kesempatan berkunjung ke Jawa, Kumpul memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Setelah berusaha mencari, Kumpul akhirnya berhasil menemukan keluarga satu kakek dengannya di Purworejo, Jateng.

Pertemuan kedua berlangsung pada 1983. Kali ini, Kumpul mengajak serta Sugeng yang telah menjadi dosen di Unila. Pada pertemuan tersebut, keluarga di Purworejo, Jateng, menunjukkan kepada Sugeng celana yang ditinggalkan Kumpul ketika datang pada 1957.

"Celana itu disimpan baik sejak 1957 sebagai bukti mereka punya saudara di Lampung," kata suami Sri Megawati tersebut.

Sugeng mengaku dirinya tidak mengenal jelas silsilah keluarga di Jawa. Orang yang ditemuinya ketika berkunjung ke Jawa, Sugeng memanggilnya paman. Hal itu karena laki-laki itu memiliki usia yang tak terpaut jauh dari Kumpul.

"Saya memanggilnya paman. Tetapi, tidak begitu jelas ceritanya. Dia seumur dengan bapak saya," tutur Sugeng.

Pascatahun 1983, Sugeng sudah kerap mengunjungi tanah kelahiran kakek buyutnya. Kunjungan yang dilakukan biasanya untuk menyekar pemakaman bapak dari kakek buyutnya.

"Siapa namanya saya juga tidak tahu. Kalau sekarang ini, sudah bisa pakai telepon. Kalau dulu kan belum ada telepon," ucap bapak tiga anak ini.

Meskipun kerap bersilaturahmi ke Jawa, menurut Sugeng, keluarganya di Jawa sama sekali belum pernah mengunjungi Lampung. Mereka enggan bertandang ke Lampung karena ada ketakutan tidak bisa kembali ke Jawa.

"Dari tahun 1983, belum ada yang ke Lampung. Mereka tidak mau ke Lampung karena takut tidak balik lagi," terang Sugeng tersenyum.

Mengetahui asal usul keluarga di Jawa, lanjut Sugeng, merupakan hal yang baik untuk menyambung silaturahmi. Walaupun begitu, hal itu bukan menjadi sebuah masalah besar apabila putra transmigran tidak mengetahui lagi asal usul keluarganya.

"Kalaupun tahu kemungkinan hanya untuk sekadar tahu saja. Saya juga waktu itu seperti itu. Karena tidak mungkin, ketika tahu, lalu memutuskan untuk pindah lagi ke Jawa," jelas Sugeng.

Hal terbaik yang harus dilakukan anak transmigran, menurut Sugeng, adalah membangun tempat kelahiran. Kegiatan tersebut akan lebih bermanfaat dan menunjukkan peran anak transmigran yang tidak lagi terpisah sebagai penduduk pendatang.

Sugeng menjelaskan, perpindahan penduduk terjadi dengan tujuan menyejahterakan masyarakat. Perpindahan dilakukan karena daerah sebelumnya tidak bisa memberikan kesejahteraan. Sehingga, anak transmigran pun sudah sepatutnya membesarkan daerah kelahiran mereka.

"Pemikiran tentang penduduk pendatang itu yang harus dibuang. Karena, tidak ada gunanya membeda-bedakan. Kenapa tidak bersatu membangun daerah tempat kelahiran. Tujuannya kan untuk kesejahteraan. Semua orang yang lahir di Lampung, ya orang Lampung. Dan harus bisa menunjukkan jati diri sebagai orang Lampung," ungkap Sugeng.

Pascareformasi, sebutan putra daerah kerap mewarnai kegiatan politik yang terjadi, khususnya menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Sugeng memaparkan, putra daerah tidak bisa dilihat berdasarkan kesukuan yang melekat pada seseorang. Putra daerah adalah masyarakat yang lahir dan tinggal serta berperan serta membesarkan daerah tersebut.

"Kalau orang Lampung lahir dan kemudian besar di Bandung, itu tidak bisa dibilang putra daerah Lampung. Itu putra daerah Bandung. Keturunan memang tidak bisa dipungkiri di mana pun berada. Tetapi, itu jangan jadi ukuran untuk memajukan tempat kelahiran," kata Sugeng.

Secara pribadi, Sugeng menuturkan, dirinya tidak pernah mengalami pembedaan ataupun membedakan masyarakat Lampung berdasarkan kesukuan yang dimiliki. Kebudayaan yang dimiliki setiap suku di Lampung seharusnya dijadikan suatu nilai bersama untuk membangun Lampung.

"Saya bisa bahasa Jawa karena tinggal di lingkungan Jawa. Saya rasa itu budaya yang harus tetap dipertahankan karena saya keturunan Jawa," terang Sugeng.

Walaupun begitu, kebudayaan yang lahir dari suku lain di Lampung pun harus tetap dihormati. Sugeng mengaku, dirinya telah melakukan akulturasi budaya dengan memiliki menantu berasal dari suku Lampung.

"Saya sudah memiliki dua menantu. Dua-duanya berasal dari suku Lampung," kata Sugeng.

[]

*Telah diterbitkan di Tribun Lampung pada 24 Maret 2012

Lihat artikel terkait:

Bagelen, Tapak Kolonis Pertama Indonesia

HG Heyting Pimpin Kolonisasi Perdana ke Lampung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun