Mens sana in corpore sano. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat . Begitulah kalimat latin itu berucap. Ucapan yang telah mendapatkan pengakuan dari seluruh masyarakat dunia dan belum lekang karena waktu. Bahwa, kesehatan merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia.
Menyadari hal tersebut, Pemerintah Indonesia turut menjadikan kesehatan sebagai salah satu prioritas pembangunan, selain pendidikan dan peningkatan ekonomi masyarakat.Prioritas pembangunan yang seharusnya untuk seluruh warga negara. Kenyataannya, bagi masyarakat miskin, biaya kesehatan masih terlalu mahal untuk ditebus.
Program kesehatan pemerintah boleh dikatakan baik dalam tataran teori, pada praktiknya, program itu rapuh tanpa bisa banyak membantu masyarakat miskin. Selain mahal, pemerintah pun belum sepenuhnya menyediakan fasilitas kesehatan memadai di daerah-daerah tertentu dengan alasan beragam. Kondisi itulah yang sangat dirasakan masyarakat Moro-Moro, Register 45, Mesuji, Lampung. Masyarakat pun pada akhirnya menjadi korban, sebagaimana dialami Made Hermawati dan Bili Chandra.
Rintihan Made Hermawati
Indonesia sedang merayakan hari kelahiran ke-62. Pemerintah menetapkan hari bersejarah itu sebagai hari libur nasional. Di ujung selatan Pulau Sumatera, tepatnya di wilayah Moro-Moro, gegap gempita perayaan seolah tak singgah. Kehidupan berjalan seperti biasa. Mayoritas masyarakat Moro-Moro yang bekerja sebagai petani memang tidak mengenal hari libur. Karena, tanaman perlu dirawat setiap hari. Bagi mereka, warna merah dalam kalender hanya berlaku untuk pekerja kantoran di gedung-gedung mewah yang berpendingin ruangan.
Di tengah kegembiraan rakyat Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan Tanah Air, Made Hermawati (37) justru harus bergelut dengan waktu untuk menyelamatkan nyawanya sendiri. Saat itu , Made Hermawatimerasa detik demi detik menapak lebih lama. Walaupun begitu, perempuan keturunan Bali itu, dengan gigih, terus mencari pertolongan guna menghindari kematian. Usahanya tidak sia-sia, jiwa Made Hermawati terselamatkan meskipun trauma masih turut menyertainya hingga sekarang.
Pada 17 Agustus 2007 itu, Made Hermawati beraktivitas seperti hari-hari biasa, tiada yang istimewa. Sebagai seorang ibu rumah tangga, tugasnya mengurus pekerjaan rumah. Menyapu, merapikan perabotan, memasak, hingga mengasuh anak-anak. Made Hermawati menjalankan semuanya satu demi satu. Begitulah, ia melakoni hari-hari yang terus berlalu.
Rumah Made Hermawati terlihat sederhana. Rumah beratap rumbia itu hanya berukuran sekitar 4x6 meter. Dengan dinding rumah terbuat dari geribik, ruangan di dalam rumah cuma terbagi menjadi satu ruang utama, yang berfungsi sebagai ruang keluarga serta ruang tamu; dua kamar tidur; dan dapur. Ruang utama dan kamar tidur telah berlantai semen. Sementara, dapur masih beralas tanah.
Di dalam rumah itu, Made Hermawati tinggal bersama suaminya, Made Suwirte (42), serta ketiga anaknya. Anak tertua berusia sekitar 13 tahun dan si bungsu berusia sekitar 5 tahun.Made Suwirte bekerja sebagai buruh lepas penderes karet di PT Silva Inhutani Lampung. Setiap bulan, Made Suwirte menghasilkan sekitar Rp 300 ribu per bulan. Nafkah yang hanya cukup untuk memberi makan seluruh penghuni keluarga.
Sekitar pukul 17.00 WIB, Made Hermawati merasa badannya lemas. Ia tidak dapat bergerak. Ia hanya bisa terduduk di salah satu sudut di ruang utama rumahnya. Tak beberapa lama, darah segar mulai mengalir dari alat kelamin menyusuri kedua kakinya. Made Hermawati pun merasakan tubuhnya semakin kehilangan tenaga.
Ketika badannya terasa lemas, Made Hermawati menganggap dirinya hanya keletihan akibat terlalu banyak bekerja. Dengan istirahat sejenak, Made Hermawati berharap kondisi tubuhnya kembali sehat. Ia tidak pernah menyangka kalau akan mengalami pendarahan. Ia bahkan tidak tahu kalau tengah mengandung.
“Saya tidak tahu kalau lagi ngisi (berbadan dua). (Pendarahan) mungkin karena kecapean atau bagaimana, saya juga tidak tahu,” ungkap Made Hermawati.
[caption id="attachment_215870" align="alignleft" width="300" caption="Made Hermawati saat menceritakan kembali peristiwa keguguran yang dialaminya. (Foto: Eko Badai)"][/caption] Pengakuan serupa disampaikan suaminya, Made Suwirte. Menurut Made Suwirte, istrinya memang terkadang terlambat menstruasi. Sehingga, apabila terjadi keterlambatan menstruasi, Made Suwirte tidak tahu kalau istrinya ternyata tengah mengandung atau hamil. Hal itu biasanya baru diketahui apabila usia kandungan sudah beranjak tua.
“Keadaan kami memang seperti ini. Kalau istri saya sedang hamil, saya kadang tidak tahu. Karena, ia memang sering seperti itu, terlambat menstruasi,” tutur Made Suwirte.
Kesehatan pun belum menjadi prioritas dalam keluarga Made Suwirte. Selain karena lokasi fasilitas kesehatan yang jauh dari rumah, biaya besar untuk melakukan perawatan kesehatan menjadi pertimbangan lain keluarga tersebut. Made Suwirte mengakui, kalau ada anggota keluarga yang sekadar keletihan, mereka akan istirahat di ruang utama.
“Memang biasanya diam saja di sana (ruang utama dalam rumah). Kalau sudah tidak bisa bangun atau pingsan, baru dibawa ke dokter,” ucap Made Suwirte.
Ketika Made Hermawati mengalami pendarahan, Made Suwirte berharap kondisi istrinya segera membaik dan dapat kembali beraktivitas. Tetapi, harapan tersebut tak kunjung menjadi nyata. Kondisi Made Hermawati malah semakin memburuk. Bahkan, ia justru sempat pingsan sekitar pukul 22.00 WIB. Pada saat tersebut, pilihan terakhir bagi Made Suwirte adalah membawa Made Hermawati untuk mendapatkan pengobatan.
Sebelum membawa Made Hermawati berobat, Made Suwirte terlebih dahulu mendatangi tetangganya untuk meminta bantuan. Ia hendak meminjam sepeda motor dan meminta tetangganya ikut mengantarkan. Sebab, Made Suwirte tidak memiliki kendaraan bermotor meskipun cuma berupa sepeda motor. Ia pun tidak bisa mengendarai kendaraan beroda dua tersebut. Beruntung, Made Satre, tetangga Made Suwitre, bersedia membantu. Made Satre segera mengambil sepeda motornya dan bergegas menuju rumah Made Suwirte.
Setelah mendapatkan kendaraan yang dibutuhkan, Made Suwirte kemudian memapah istrinya keluar rumah. Made Hermawati lalu didudukkan di atas sepeda motor. Sementara Made Satre mengendarai sepeda motor, Made Suwirte menahan istrinya, yang duduk di tengah, dari belakang. Ketiganya lalu membelahmalam mencari pertolongan.
Tujuan pertama adalah rumah seorang mantri yang berlokasi tidak jauh dari tempat tinggal Made Suwirte. Sayang, sang mantri sedang tidak berada di rumah ketika didatangi. Made Suwirte pun bergegas menetapkan tujuan berikutnya adalah puskesmas di wilayah Penawar. Puskesmas itu merupakan puskesmas terdekat rumah Made Suwirte. Tetapi, asa sekali lagi tak sampai. Puskesmas tersebut tutup. Made Suwirte mengira, tenaga kesehatan tiada yang bertugas karena saat itu Hari Kemerdekaan Indonesia.
Di tengah keputusasaan itu, kondisi Made Hermawati terus melemah. Ia pun sempat menyerah karena tak kunjung memperoleh pertolongan medis. Made Hermawati lalu mengajak pulang. Ia telah pasrah. Ia menganggap, kondisi yang ia alami adalah suratan nasib yang harus ia terima. Mungkin, Made Hermawati berpikir, Yang Maha Kuasa memang menghendaki ia tidak mendapatkan pertolongan.
“Kita pulang saja. Mungkin memang sudah nasib saya,” ratap Made Hermawati malam itu sambil mengajak suami dan tetangganya untuk pulang.
Tetapi, Made Satre menolak keinginan Made Hermawati. Melihat kondisi tetangganya itu, Made Satre tetap berkeras ingin menolong. Made Satre berkehendak, setidaknya, ia bisa mengantarkan Made Hermawati ke tempat pengobatan untuk mendapat pertolongan medis. Made Suwitre, yang awalnya ingin mengikuti keinginan istrinya, akhirnya menyetujui kehendak Made Satre.
“Tidaklah. Kita coba dulu,” tegas Made Satre, sebagaimana ditirukan Made Hermawati ketika mengenang kisah malam itu yang hampir merenggut nyawanya.
Akhirnya, mereka sepakat melanjutkan perjalanan. Tak lama, ketiganya tiba di rumah seorang mantri lain. Mantri itu bersedia memeriksa Made Hermawati. Sayangnya, ia tidak bisa membantu banyak. Mantri tersebut tidak mampu memberikan pertolongan medis. Sebab, kondisi Made Hermawati sudah sangat lemah. Sang mantri lalu menganjurkan supaya Made Hermawati dibawa ke tempat praktik bidan di Unit II, Tulangbawang.
Sepeda motor sekali lagi melaju menyusuri malam. Setengah jam kemudian, ketiganya tiba di tempat praktik bidan Tuti di Unit II. Sesampainya di tempat tersebut, Made Hermawati mendapatkan pertolongan medis semestinya. Untuk pertama kalinya, ia pun diberitahu kalau dirinya tengah hamil. Sementara, penyebab kondisi Made Hermawati sejak pukul 17.00 WIB karena ia mengalami keguguran.
“Bidannya bilang, ini kalau sampai terlambat dua jam lagi, nyawa saya bisa tidak tertolong,” kenang Made Hermawati.
Made Suwirte pun bisa bernapas lega. Istrinya tertolong. Tetapi, pikiran lain menggelayuti kepalanya. Bayangan mengenai biaya pengobatan yang harus dikeluarkan. Padahal, ia sama sekali tidak memegang uang. Seluruh penghasilannya selama ini hanya cukup untuk makan keluarganya sehari-hari.
Pengobatan Made Hermawati membutuhkan biaya sekitar Rp 1 juta. Jumlah itu pun bisa bertambah apabila Made Hermawati terus mendapatkan rawat inap di tempat praktik bidan tersebut. Made Suwirte kemudian mencoba peruntungan meminjam uang dari beberapa kerabat dan tetangga. Syukur, uang yang dibutuhkan berhasil terkumpul.
“Setelah mendapatkan uang, saya langsung bawa istri saya pulang. Istri saya masuk klinik sekitar pukul 23.00 WIB. Saya terpaksa langsung bawa pulang sekitar pukul 06.00 WIB. Itu mau tidak mau dilakukan karena keadaan biaya juga. Semakin lama dirawat bisa semakin mahal biayanya. Terpaksa, saya langsung bawa pulang walaupun kondisinya masih lemah seperti itu. Karena untuk mendapatkan uang segitu saja, saya harus lari sana sini mencari uang untuk membayar biaya pengobatannya,” papar Made Suwirte lirih.
Ketika Made Suwirte membawa pulang istrinya, kondisi Made Hermawati memang belum sepenuhnya pulih. Ia masih lemah. Tetapi, Made Hermawati tetap menuruti keinginan suaminya. Ia menyadari kondisi keuangan keluarganya yang masih pas-pasan. Selepas dari tempat praktik bidan Tuti, Made Hermawati pun hanya beristirahat di rumah untuk memulihkan kondisi kesehatannya.
Peristiwa pada malam Hari Kemerdekaan itu telah meninggalkan bekas dalam kehidupan Made Hermawati. Ia mengaku masih trauma dengan kejadian yang hampir merenggut nyawanya tersebut. Berkat kegigihan suami dan tetangganya, Made Hermawati bersyukur nyawanya terselamatkan. Tetapi, ia masih terus terbayangi trauma atas peristiwa tersebut hingga saat ini. “Waktu itu perasaan campur aduk. Sakitnya sudah tidak karuan lagi. Ada trauma yang masih saya rasakan sampai sekarang,” tutur Made Hermawati.
Duka Bili Chandra
Sumringah Sasomo (35) dan Astuti (30) membuncah seiring terbitnya matahari. Senyum kebahagiaan pasangan suami istri itu menyeruak menyambut kelahiran anak kedua mereka, Bili Chandra. Pagi, 24 April 2011, itu semuanya tampak biasanya saja. Siapa sangka, Bili ‘memilih’ bergegas menemui senja dalam usia sangat muda, 58 hari.
Kelahiran Bili tidak berlangsung di rumah sakit atau klinik bersalin dengan tenaga kesehatan terlatih. Bili bisa menghirup udara pertama kali berkat bantuan seorang dukun beranak. Sasomo tidak punya pilihan lain. Sebab untuk mendapatkan jasa tenaga kesehatan terlatih dari seorang bidan saja, Sasomo harus menempuh perjalanan minimal enam kilometer dari wilayah tempat tinggalnya di Moro-Moro. “Biasanya, pertolongan pertama ke dukun. Baru ke dokter setelah bermasalah,” terang Sasomo polos.
Sesaat setelah kelahirannya, Bili pun tampak sehat. Ia terlihat bersemangat manakala meminum air susu ibu (ASI). Ternyata, kondisi Bili tidak seperti yang terlihat. Menjelang malam pada hari kelahirannya, Bili mulai menangis tak henti. Sekujur tubuhnya panas tinggi. Kondisi Bili serta merta membuat Sasomo dan Astuti mulai khawatir.
Tanpa berpikir panjang, Sasomo segera membawa buah hatinya ke Klinik Bersalin Mutiara Bunda di Unit II, Tulangbawang. Membawa Bili ke klinik sebenarnya bukan perkara mudah. Klinik tersebut berjarak sekitar sepuluh kilometer dari kediaman Sasomo. Tetapi demi keselamatan putra tercinta, Sasomo nekat menerjang malam sambil memburu waktu.
Harapan Sasomo dan Astuti, supaya Bili mendapat pengobatan di klinik yang buka 24 jam tersebut, ternyata harus pupus. Klinik itu tidak memiliki alat kesehatan yang memadai untuk merawat Bili. Bili kemudian dirujuk untuk dirawat di Rumah Sakit Mutiara Putri di Bandar Lampung, yang berjarak sekitar 200 kilometer dari klinik itu. Tanpa ada pilihan lain, dengan menggunakan ambulans yang disediakan pihak klinik, Sasomo dan Astuti akhirnya membawa Bili ke Bandar Lampung keesokan pagi.
Sesampainya di rumah sakit, Bili langsung mendapat pemeriksaan. Hasil diagnosis menyatakan Bili mengalami infeksi berat akibat peritonitis atau radang rongga perut. Usus halus Bili buntu. Di tempat buntu itu, terjadi kebocoran usus. Hal itu mengakibatkan kotoran di dalam usus masuk ke rongga perut.
Setelah pemeriksaan dilakukan, pihak rumah sakit memutuskan untuk langsung melakukan operasi terhadap Bili pada malam harinya, 25 April 2011. Operasi dilakukan untuk memotong usus halus Bili yang mengalami kerusakan. Pemotongan usus dilakukan sepanjang sepuluh centimeter. Usus yang terpotong tersebut pun tidak bisa langsung disambungkan. Sebab, pertimbangan medis menyatakan hal itu memiliki risiko tinggi dan membahayakan nyawa Bili. Alhasil, usus Bili kemudian dikeluarkan melalui perut. Usus itu berfungsi sebagai saluran pembuangan kotoran sementara.
Dokter bedah anak yang merawat Bili, Billy Rosan menerangkan, kasus Bili merupakan kelainan sejak lahir. Biasanya, kelainan itu dapat terdeteksi saat sang ibu masih mengandung. Gejalanya, polyhidramion atau cairan rahim lebih banyak ketimbang kandungan normal. Bayi yang lahir dengan kasus tersebut harus segera mendapat penanganan medis yang tepat. Jika tidak, akibatnya bisa fatal dan dapat berujung kematian. “Bila tertangani sejak awal, dapat tertolong. Harapan hidupnya mencapai 95 persen,” ungkap Rosan.
Selama mengandung, Astuti memang tidak pernah memeriksakan diri dan janin yang dikandungnya ke institusi kesehatan, seperti rumah sakit, klinik, ataupun puskesmas. Sebab, Astuti merasa kondisi tubuh dan janinnya dalam keadaan sehat. Walaupun begitu, hal tersebut bukanlah alasan utama Astuti. Astuti bukan tidak mau memeriksakan diri dan janinnya, tetapi ia tidak bisa melakukan hal itu. Astuti terkendala jarak. Di sekitar tempat tinggalnya, fasilitas kesehatan tidak ada. Enam kilometer menjadi jarak yang harus ditempuh Astuti apabila ingin menemui bidan terdekat.
Selama menjalani perawatan di rumah sakit, Bili ditempatkan di dalam inkubator. Hal itu karena kondisi kesehatan Bili menurun. Setiap hari, Bili hanya mengonsumsi ASI sekitar 7,5 cc per hari. Secara bertahap, konsumsi ASI Bili meningkat menjadi 10 cc per hari. Meskipun begitu, jumlah ASI yang diminum Bili masih di bawah rata-rata konsumsi pada umumnya, yaitu 15-20 cc per hari. Untuk mendapatkan asupan ASI, Bili menggunakan alat bantu selang. Selang tersebut menyambung dari botol penampung ASI ke dalam mulut Bili.
Di dalam inkubator, Bili tergolek lemah. Tubuh Bili mendapat bantuan penerangan dari lampu listrik. Bantuan tersebut diberikan lantaran kulit Bili menguning akibat kurang memperoleh sinar. Sementara, hidung Bili terpasang selang yang tersambung ke tabung oksigen. Hal itu dilakukan untuk membantu pernapasan Bili. Alat bantu lain menempel di dada Bili, berupa alat pendeteksi detak jantung.
Bili menjalani rawat inap di Rumah Sakit Mutiara Putri selama 20 hari. Ketika meninggalkan rumah sakit, Bili melakukannya masih dengan usus belum tersambung. Sasomo sebenarnya sudah hendak membawa Bili sejak jauh hari. Alasannya, biaya perawatan terlampau mahal untuk seorang buruh tani seperti Sasomo. Tetapi, pihak rumah sakit melarang niat Sasomo karena kondisi kesehatan Bili yang belum memungkinkan.
Perawatan di rumah sakit swasta tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sasomo mengaku, dirinya terpaksa membawa Bili ke rumah sakit swasta. Hal itu bukan karena dirinya orang yang berkecukupan. Melainkan karena, rumah sakit tersebut merupakan rujukan dari Klinik Bersalin Mutiara Bunda, tempat Bili pertama kali dibawa oleh Sasomo.
Biaya rawat inap Bili di rumah sakit tersebut mencapai Rp 55 juta. Sasomo sempat kebingungan untuk memenuhi tanggungan itu. Sebab sebagai buruh tani, ia hanya mampu mendapatkan penghasilan Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. Pengobatan Bili bisa terus berlangsung tak lepas dari bantuan banyak donatur.
Inisiatif penggalangan dana untuk membantu biaya pengobatan Bili pertama kali dilakukan masyarakat Moro-Moro yang merasa simpati dengan kerabat mereka tersebut. Masyarakat Moro-Moro yang tergabung dalam Persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang (PPMWS) bekerja sama dengan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mulai mengumpulkan dana dari para dermawan, tak lama setelah Bili dirawat di rumah sakit.
Pengumpulan dana yang dilakukan tidak hanya dalam bentuk uang. AGRA memprakarsai pengumpulan barang bekas, seperti kardus dan koran bekas, dari masyarakat untuk dijual kembali. Dana yang terkumpul kemudian diberikan untuk membantu pengobatan Bili. Proses pengumpulan barang bekas mendapat bantuan para pemulung. Mereka bersedia meminjamkan gerobak yang biasa digunakan untuk mengumpulkan barang bekas kepada AGRA. Bahkan, beberapa di antara pemulung itu rela memberikan sebagian hasil jerih payah mereka untuk menolong Bili. Bukan hanya pemulung, pengamen jalanan pun turut tergerak untuk berperan serta membantu biaya pengobatan Bili. Meskipun hasil mengamen tak seberapa, mereka rela menyisihkan sebagian uang yang didapat demi meringankan beban Sasomo.
Kondisi Bili pun menarik simpati tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Hongkong. Setelah mengetahui penyakit yang diderita Bili melalui media siber, para buruh migran Indonesia (BMI) itu kemudian sepakat mengadakan penggalangan dana dari sesama TKI yang berada di Hongkong.
Keinginan Sasomo untuk membawa pulang Bili terkabul ketika kondisi Bili mulai membaik. Pada 15 Mei 2011, Bili dipersilakan melakukan rawat jalan, sambil menunggu pelaksanaan operasi penyambungan usus. Operasi itu rencananya akan dilakukan saat kondisi Bili sudah benar-benar baik. “Sebenarnya itu juga belum boleh pulang. Cuma karena faktor biaya, kami memutuskan agar Bili berobat jalan. Bili masih harus check up untuk melihat perkembangan kondisi kesehatannya,” papar Sasomo.
Alasan biaya yang diungkapkan Sasomo tentu menjadi beban mengingat kesejahteraan keluarganya yang tidak mapan. Apabila Bili semakin lama menjalani rawat inap di rumah sakit, Sasomo tentunya harus menanggung biaya pengobatan yang akan semakin besar. Dengan kondisi itu, Sasomo pun terpaksa memaksa pihak rumah sakit untuk memulangkan Bili.
Walaupun diizinkan menjalani rawat jalan, kepulangan Bili masih meninggalkan utang kepada rumah sakit. Pengobatan Bili menghabiskan biaya sebesar Rp 55 juta. Ketika membawa Bili pulang, Sasomo tercatat berutang Rp 3,9 juta kepada Rumah Sakit Mutiara Putri. Biasanya, pasien tidak diizinkan pulang apabila belum melunasi seluruh biaya pengobatan. Manajemen Rumah Sakit Mutiara Putri membolehkan Bili pulang walaupun masih berutang biaya pengobatan setelah mendapat jaminan beberapa organisasi sosial. Jaminan untuk segera melunasi utang tersebut.
Sekitar sebulan berada di rumah, kondisi kesehatan Bili berangsur normal. Keadaan itu ternyata tidak berlangsung lama. Bili mulai enggan meminum ASI pada 17 Juni 2011. Hal itu menjadikan berat badannya menurun, dari 2,7 kilogram menjadi 2,3 kilogram. Bili pun mulai muntah-muntah. Cairan yang dimuntahkan Bili berwarna kuning, seperti kotoran yang dikeluarkan melalui lubang tinja buatan di perutnya.
Melihat kondisi Bili, Sasomo berniat membawa putra bungsunya tersebut ke Rumah Sakit Abdul Moeloek, yang merupakan rumah sakit pemerintah, di Bandar Lampung. Sasomo memilih rumah sakit tersebut dengan harapan bisa meringankan biaya pengobatan. Bersama istrinya, Sasomo meninggalkan rumah pada 20 Juni 2011 sore. Sasomo terlebih dahulu membawa Bili ke rumah orangtua Sasomo di Unit VIII, Tulangbawang. Dari rumah orangtuanya, Sasomo baru hendak menuju Bandar Lampung keesokan pagi.
Manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang berkehendak. Niat Sasomo pun tidak sempat terlaksana. Sebelum fajar menyingsing, Bili terlebih dahulu mengembuskan napas terakhir pada 21 Juni 2011 sekitar pukul 03.00 WIB dini hari. Waktu yang hanya terpaut beberapa jam dari rencana Sasomo untuk membawa Bili ke rumah sakit. “Bili sudah tidak mau kami asuh lagi. Kami sudah berusaha keras menyembuhkan penyakit Bili. Tetapi, takdir berkata lain,” ucap Sasomo lirih.
Kematian Bili telah memupuskan harapan Sasomo dan Astuti akan kesembuhan bayi mungil itu. Padahal, pihak Rumah Sakit Mutiara Putri menyatakan Bili dapat melaksanakan operasi penyambungan usus pada awal Juli 2011, atau berselang tiga minggu setelah kepergian Bili ke pangkuan Ilahi.
KIBBLA yang Terabaikan
Peristiwa yang terjadi pada Made Hermawati dan Bili Chandra merupakan realitas negatif yang berlawanan dengan upaya Pemerintah Indonesia mencapai tujuan pembangunan milenium (millenium development goals - MDGs). Pada September 2000, 192 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia, menyepakati deklarasi milenium. Deklarasi itu untuk menciptakan kegiatan pembangunan manusia supaya lebih fokus, semarak, dan terukur dalam kerangka penuntasan persoalan kemiskinan.
Demi mewujudkan hal tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI membuat dokumen dalam bentuk peta jalan percepatan pencapaian tujuan pembangunan milenium di Indonesia. Hal itu merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk mengarusutamakan MDGs ke dalam kegiatan pembangunan nasional jangka menengah dan panjang. Tujuan pembangunan milenium hendak mencapai hasil untuk delapan item pada 2015. Dua di antara item tersebut adalah mengurangi angka kematian anak (item 4 MDGs) dan meningkatkan kualitas kesehatan ibu (item 5 MDGs). Setiap item memiliki target dan indikator tertentu.
Dalam item pengurangan angka kematian anak, MDGs memiliki target utama untuk menurunkan angka kematian balita hingga dua per tiga dalam kurun waktu 1990-2015. Untuk mencapai target tersebut, MDGs menggunakan tiga indikator, yaitu angka kematian balita (bayi berusia dua sampai lima tahun), angka kematian bayi (berusia nol sampai dua tahun), dan persentase anak yang mendapatkan imunisasi campak pada usia satu tahun. Pada 1991, angka kematian balita di Indonesia sebanyak 97 jiwa per seribu kelahiran hidup. Jumlah kematian balita telah berkurang menjadi 44 jiwa per seribu kelahiran hidup pada 2007. Sedangkan, target MDGs pada 2015 sebesar 32 jiwa per seribu kelahiran hidup pada 2015. Adapun, persentase anak yang telah mendapatkan imunisasi campak sebanyak 44,5 persen pada 1991. Pada 2010, persentasenya meningkat menjadi 74,5 persen. Di mana, target MDGs adalah terjadi peningkatan persentase.
Tahun 1991 menjadi acuan dasar penentuan target MDGs. Angka kematian bayi pada tahun tersebut mencapai 68 jiwa per seribu kelahiran hidup. Jumlah itu berkurang menjadi 34 jiwa per seribu kelahiran hidup pada 2007. Sementara, target MDGs pada 2015 sebesar 23 per seribu kelahiran hidup. Indikator angka kematian bayi memiliki indikator tambahan, yakni angka kematian neonatal.
Neonatal adalah periode awal kelahiran, yaitu sejak pertama kali dilahirkan dan berakhir saat menjelang usia dua minggu. Neonatal merupakan periode tersingkat dari perkembangan manusia. Periode neonatal berakhir ketika bayi mulai menunjukkan tanda-tanda kemajuan perkembangan perilaku. Pada umumnya, perkembangan perilaku membutuhkan waktu dua minggu atau lebih cepat.
Periode neonatal termasuk masa yang berbahaya. Bayi akan melakukan penyesuaian dengan lingkungan baru di luar rahim ibu. Di dalam rahim, suhu akan tetap sebesar 100 derajat fahreinhet. Di rumah sakit, suhu akan berkisar 60 sampai 70 derajat fahreinhet. Selain itu, penyerapan makanan dan pembuangan limbah makanan selama di rahim tersalurkan melalui tali pusar. Ketika tali pusar diputus, bayi harus memperoleh makanan dengan menelan melalui mulut. Sementara, pembuangan limbah yang tersisa mulai tersalur melalui organ-organ pembuangan. Selama periode neonatal, reflek-reflek tersebut belum berkembang sempurna. Pada 1991, angka kematian neonatal sebanyak 32 per seribu kelahiran hidup. Jumlah itu berkurang menjadi 19 jiwa per seribu kelahiran hidup pada 2007. Adapun, target MDGs pada 2015 adalah terjadinya penurunan angka kematian neonatal.
Beralih ke item peningkatan kualitas kesehatan ibu, MDGs menetapkan dua target utama. Target pertama adalah menurunkan angka kematian ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015. Sedangkan, target berikutnya adalah mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua masyarakat pada tahun 2015.
Pada target pertama, indikator yang digunakan adalah angka kematian ibu. Data yang menjadi acuan dasar adalah kondisi pada 1991, di mana angka kematian ibu mencapai 390 jiwa per 100 ribu kelahiran hidup. Penurunan terjadi pada 2007 menjadi 228 jiwa per 100 ribu kelahiran hidup. Adapun, target yang ingin dicapai pada 2015 adalah 102 jiwa angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran hidup. Indikator lainnya adalah proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih. MDGs menargetkan adanya peningkatan indikator tersebut. Data yang tercatat, proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih sebanyak 40,7 persen pada 1992 dan berubah menjadi 77,34 persen pada 2009.
Untuk target kedua, MDGs menetapkan indikator berupa peningkatan angka pemakaian kontrasepsi bagi perempuan menikah usia 15-49 tahun dengan semua cara maupun cara modern, penurunan angka kelahiran remaja per seribu perempuan usia 15-19 tahun, peningkatan cakupan pelayanan antenatal (sebelum kelahiran), dan penurunan keluarga berencana yang tidak terpenuhi.
Dari dua item MDGs tersebut, Kementerian Kesehatan menambah lima sasaran MDGs untuk mempercepat pertumbuhan dan pencapaian pembangunan kesehatan masyarakat. Lima sasaran tersebut, yakni meningkatkan cakupan antenatal, meningkatkan cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih, meningkatkan cakupan neonatal, menurunkan prevalensi (jumlah orang dalam populasi yang menderita suatu penyakit) kurang gizi pada balita, dan meningkatkan tingkat kunjungan penduduk miskin ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Dengan ditandatanganinya deklarasi MDGs oleh 192 negara, maka MDGs telah menjadi tujuan yang universal. Pertanyaan yang muncul berikutnya, apabila MDGs bertujuan menciptakan kegiatan pembangunan manusia untuk penuntasan persoalan kemiskinan, mengapa dua dari delapan item MDGs adalah mengurangi angka kematian anakdan meningkatkan kualitas kesehatan ibu?
Pengurus Organisasi Independen Save the Children Trisnawati Gandawidjaja menuturkan, kebanyakan masa depan anak dan masa depan bangsa ditentukan kualitas gizi pada seribu hari pertama anak. Wakil Menteri Kesehatan RI Ali Gufron Mukti menambahkan, seribu hari pertama itu disebut sebagai window of opportunites atau periode emas (golden period). Sejak masa janin hingga anak berusia dua tahun, proses tumbuh kembang terjadi sangat cepat dan tidak terjadi pada kelompok usia lain. Dengan demikian, selama 280 hari anak berada di dalam kandungan serta 720 hari setelah lahir, pemenuhan gizi harus diperhatikan agar pencapaian potensi dapat diraih secara maksimal. Periode awal kehidupan ini disebut sebagai periode sensitif. Sebab pada saat itu, perkembangan sel-sel otak pada manusia terjadi. Otomatis, ketika ada gangguan pada periode tersebut, dampaknya akan permanen dan tidak bisa diperbaiki. “Lingkungan selama masa kehidupan janin berhubungan dengan kesehatan anak pada kehidupan ketika dia dewasa. Karena, penyakit pada masa dewasa bisa sekali dipengaruhi kehidupan intrauterin (saat masih dalam kandungan),” tutur Neonatologist Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Rinawati Rohsiswatmo.
Demi mewujudkan target MDGs, khususnya item mengurangi angka kematian anakdan meningkatkan kualitas kesehatan ibu, Pemerintah Indonesia mulai menerapkan beberapa program kesehatan ibu dan anak. Terakhir, pengembangan program tersebut bernama program kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak balita (KIBBLA). Pelaksanaan KIBBLA menitikberatkan pada kesinambungan antara komponen pemerintah dengan masyarakat. Partisipasi masyarakat diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan terkait kesehatan. Sementara, pemerintah melakukan peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dengan meningkatkan fasilitas kesehatan dan kompetensi petugas kesehatan.
KIBBLA menitikberatkan pada upaya preventif (pencegahan) dan promotif, meskipun tidak melupakan upaya kuratif (pengobatan). Pelaksanaan KIBBLA yang tertuang dalam kegiatan-kegiatan menggunakan indikator serupa dengan indikator item pada MDGs. KIBBLA mengimplementasikan keterpaduan sasaran, seperti keterpaduan data dan target sasaran. Hal tersebut untuk memastikan pelaksanaan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan.
Secara aturan, perlindungan hak anak tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28B ayat 2 menyebutkan, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Lebih khusus, perlindungan hak anak terangkum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 4 menyatakan, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Adapun, pasal 8 undang-undang yang sama menjelaskan, setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Jaminan hak kesehatan atas anak pun secara rinci tertuang dalam Bab IX Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Penjelasan mengenai kesehatan pada bab tersebut terjabarkan dalam empat pasal dari pasal 44 sampai pasal 47.
Pasal 44 menuturkan kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, dengan didukung peran serta masyarakat. Upaya tersebut, meliputi promotif, preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), dan rehabilitatif. Sehingga, setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
Pasal 45 menerangkan kewajiban orangtua dalam menjaga kesehatan anak sejak dalam kandungan. Sementara, pasal 46 menyatakan, negara, pemerintah, keluarga, dan orangtua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit, yang mengancam kelangsungan hidup dan atau menimbulkan kecacatan. Adapun, pasal 47 memaparkan upaya perlindungan transplantasi organ tubuh anak.
Kejadian yang menimpa Made Hermawati dan Bili Chandra ibarat sebuah noda yang muncul justru saat kain tengah dicuci. Made Hermawati dan Bili Chandra bernasib tidak beruntung saat Pemerintah Indonesia tengah gencar mengurangi angka kematian anakdan meningkatkan kualitas kesehatan ibu. Made Hermawati dan Bili Chandra tidak pernah mengetahui apakah nasib yang mereka alami termasuk dalam angka-angka yang ditorehkan pemerintah di atas kertas. Angka-angka, yang tengah menjadi perhatian pemerintah, untuk mencapai tujuan pembangunan milenium.
[]
Wawancara dengan Made Hermawati dan Made Suwirte pada Oktober 2012.
Catatan dari artikel berseri Tribun Lampung pada 10 Mei 2011 sampai 23 Juni 2011 serta wawancara tambahan sumber-sumber terkait pada Mei 2012.
Apa itu MDGs, www.mdgsindonesia.org, diunduh pada 4 Oktober 2012.
Buku Agenda Penerimaan Nakes Teladan Puskesmas Tingkat Nasional Tahun 2010, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
Pentingnya Seribu Hari Pertama, www.tabloidnova.com, diunduh 2 November 2012.
*Artikel ini merupakan bab pertama dari buku kedua yang penulis buat. Buku yang diberi judul Kami Bukan Superman mulai terbit secara indie pada Januari 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H