Mohon tunggu...
Ridwan Hardiansyah
Ridwan Hardiansyah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

penikmat huruf dan angka serta tanda-tanda yang menyertainya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pemalakan di Jam Gadang

3 November 2013   00:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:40 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berkunjung ke tempat wisata, prosesi mengabadikan momen telah menjadi kegiatan wajib. Saat ini, wisatawan kerap membawa kamera milik sendiri. Hal itu tak lepas dari harga kamera yang semakin murah. Tetapi, kualitas tetap terjaga. Berfoto harus dilakukan untuk membuktikan kebenaran keberadaan pelancong di tempat wisata. Sehingga kelak, ada bukti saat bercerita kepada kerabat, sahabat, atau orang lain yang tak sengaja bertemu pada suatu kesempatan. Meskipun telah banyak wisatawan membawa kamera pribadi, kondisi itu ternyata tidak menghilangkan penjual jasa foto. Di destinasi wisata Jam Gadang, Bukit Tinggi, Sumatera Barat, jumlah mereka tetap banyak. Para penjual jasa foto itu menggelar lapak menyusuri pagar pembatas di empat sisi Jam Gadang. Di lapak-lapak tersebut, mereka memajang hasil bidikan dalam bingkai-bingkai yang disusun sesuai besaran lapak. Seiring dengan jasa foto, jasa lain yang turut ditawarkan adalah foto bersama badut. Para badut mengenakan berbagai macam kostum animasi yang telah tayang di televisi maupun film luar negeri. Untuk mendapatkan konsumen atau pengguna jasa, para badut berjalan-jalan di seputar Jam Gadang. Ketika mengunjungi Jam Gadang pertengahan Oktober 2013, penulis menyaksikan cara kerja para badut. Para badut yang hilir mudik aktif mendekati calon konsumen. Setelah sangat dekat, mereka lalu memulai percakapan untuk menawarkan jasa menggunakan bahaya isyarat. Caranya, kedua tangan menunjuk diri sendiri lalu menunjuk lokasi tempat foto yang disarankan. Lokasi tersebut tentu tak jauh dari tempat percakapan berlangsung. Dengan kode tangan itu, mereka hendak berkata, "foto dengan saya di sana." Bahasa isyarat tangan dilakukan karena para badut menggunakan kostum, yang menutupi seluruh tubuh. Akibatnya, suara mereka sulit terdengar ketika bicara untuk menawarkan jasa. Bahasa isyarat tangan akhirnya menjadi alternatif pilihan yang dilakukan. Terkadang, wisatawan yang ditawari jasa turut menggunakan bahasa isyarat tangan untuk menerima atau menolak tawaran jasa. Sayangnya, tidak semua badut terlebih dahulu menawarkan jasa. Sebagian dari mereka tiba-tiba berdiri di samping wisatawan, yang tengah berpose di depan Jam Gadang. Setelah kamera memotret, badut yang ikut berfoto itu lalu meminta uang kepada wisatawan. Ia beralasan, wisatawan tersebut telah menggunakan jasanya. Sebab, si badut telah ikut menemani berfoto. [caption id="attachment_275673" align="alignright" width="300" caption="Seorang badut menggandeng wisatawan yang tengah berpose dengan latar Jam Gadang."]

13834116721432841810
13834116721432841810
[/caption] Lebih parah lagi, badut tersebut enggan pergi selama wisatawan tidak memberikan uang. Ia terus mengikuti langkah wisatawan tersebut sambil tetap meminta bayaran sebesar Rp5 ribu. Alhasil, bisa jadi karena risih diikuti, wisatawan memberikan uang kepada badut tadi. Keberadaan para badut yang berbuat demikian tentu mengganggu kenyamanan wisatawan. Sedikit banyak, perasaan kesal akan muncul terhadap perilaku badut tersebut. Padahal, kedatangan wisatawan ke tempat wisata adalah untuk bersantai, menghilangkan penat dari rutinitas. Menyikapi persoalan tersebut, pengelola wisata seharusnya bisa berperan melakukan penertiban. Tujuannya jelas untuk membuat nyaman pengunjung destinasi wisata. Dengan memberikan kenyamanan, hal itu tentu akan menjadi nilai positif di mata pengunjung. Wisatawan yang terpuaskan sebenarnya merupakan aset berharga. Sebab, mereka dapat berperan sebagai penyampai pesan ke banyak orang lain. Apabila wisatawan merasa puas dengan tempat wisata yang dikunjungi, nilai positif tentang tempat wisata tersebut akan diceritakan kepada kerabat maupun sejawat. Pada kondisi tersebut, pengelola destinasi wisata tentu diuntungkan. Sebab, promosi tempat wisata berjalan dengan sendirinya. Tanpa harus, pengelola mengeluarkan banyak biaya untuk promosi. Secara umum, penertiban sebaiknya tidak dilakukan hanya kepada jasa badut, yang meminta uang dengan paksa atau memalak. Pengelola bisa mulai menata keberadaan pedagang di sekeliling Jam Gadang. Posisi pedagang yang berjualan berbatasan langsung dengan pagar Jam Gadang sedikit banyak menggangu pengunjung. Pengelola jam Gadang sebenarnya dapat  membuat rekayasa jalur wisata. Dengan memberikan jarak antara pedagang dengan Jam Gadang, hal itu tentu bisa memberikan keleluasaan bagi pengunjung untuk mencermati bangunan bersisi empat tersebut. Tanpa harus, terganggu dengan pedagang yang menjajakan barang. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun