Ada tiga titik pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Polres Depok. Titik pertama tidak jauh dari gerbang masuk markas Polres. Karena tidak ada jalan lain, maka warga yang hendak memiliki SIM mudah menemuinya.
Tepatnya di teras tengah deretan ruangan petinggi Polres menuju ruang tahanan. Tidak ada pengumuman khusus yang menginformasikan di sini awal pengurusan SIM. Namun ramainya warga menggandakan (fotocopy) dokumen dan mengisi beragam formulir, mengundang tamu menduga-duga.
Senin (9/4/2012) siang itu, saya dan istri melintas. Seorang polisi berseragam mengumbar senyum kepada kami. Dengan mimik khas dan anggukan ringan, sang polisi mengirim pesan bahwa dirinya adalah calo yang siap mengurus keperluan warga. Tentu dengan imbalan, meski ia abdi masyarakat.
Saya tidak menggubrisnya. Saya tak berlama-lama menatap matanya karena khawatir tergoda. Apalagi sampai ngobrol.
Di depan kami, tidak jauh dari titik pertama, terlihat gerbang pengurusan SIM. Tepatnya di halaman belakang. Di bawah gerbang duduk tangga yang tampak apik. Menuruni tangga, tepat di ujungnya, spanduk menyambut: “Selamat datang, kami siap melayani Anda. Hindari pengurusan SIM melalui perantara calo.”
Membaca spanduk itu, kami merasa mendapat dukungan atas penolakan pada pak polisi tadi. Semakin ringan langkah kaki saya menuju loket pendaftaran. Plong..., apalagi bertemu lingkungan yang bersih dan tertata. Beginilah seharusnya ruang pelayanan publik.
Rakyat memang harus diperlakukan manja sebab mereka telah membayar pajak --yang dipakai untuk membayar gaji pak polisi.
“Selamat siang, Pak. Pengen ngurus SIM,” ujar saya seraya menunduk agar wajah tepat di lubang loket. Seorang petugas berkemeja putih juga menunduk. Tidak ada papan nama di dadanya.
“Urus sendiri atau dibantu,” sapanya cukup ramah.
Kalimatnya jelas. Si petugas menawarkan jasa calo. Ternyata spanduk besar di ujung sana cuma asesoris Polres.
“Maksudnya?” saya berpura-pura bego.