Mohon tunggu...
Ridwan Edward Syam
Ridwan Edward Syam Mohon Tunggu... -

I'm a student of university, i wish to discover Indonesia with Kompas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(Sedikit Tentang) Masyarakat dan Fenomena yang Ada di Dalamnya

18 September 2011   07:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:51 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By: Ridwan Edward Syam
Syarat utama bagi perubahan dan rekonstruksi struktur sosial sebuah Negara adalah modernisasi. Dan modernisasi baru bisa berjalan jika ada kebebasan dan demokrasi di dalam Negara tersebut. Namun harus diakui bahwa saat ini kehidupan masyarakat kita masih didominasi corak “keterbelakangan”. Hal ini terformulasikan dari fenomena-fenomena sosial dalam masyarakat kita yang hierarkis dan penuh nuansa kastalistik, adanya dominasi serta supremasi kelas atas (minoritas secara kuantitatif) atas kelas bawah yang mayoritas, penguasa atas yang dikuasai, pemimpin atas yang dipimpin, yang kaya atas yang miskin, atau kaum elit atas kaum jelata.
Hal ini “dikentalkan” lagi dengan budaya masyarakat kita yang paternalistik, taklid, pengkultusan, pengagungan tradisi, atau absolutisme. Maka sebagai upaya perubahan struktur politik dan sosial adalah sebuah keharusan untuk mengupayakan juga transformasi fase-fase tersebut ke fase ijtihad, pembaharuan, dan kebebasan intelektual bagi masyarakat seluas-luasnya. Ijtihad dan segala derivasinya merupakan buah dari akal yang sehat dan jiwa yang bebas. Sangatlah naïf jika kita mengharapkan ilmu pengetahuan dan kemajuan menjadi trade-mark bangsa kita namun di sisi lain tradisi berpikir dan bersikap rasional masih jauh dari kebiasaan masyarakat kita karena sejatinya ilmu dan segala konsekuensinya merupakan kelanjutan dari akal yang merupakan dasar bagi sebuah kebangkitan. Kembali ke fenomena-fenomena sosial dalam masyarakat kita di atas, jika nuansa kastalistik tadi tidak diatasi secara sistemik dan segera, (menurut saya) setidaknya ada 2 (dua) dampak paling berbahaya yang harus dituai oleh negara sebagai institusi yang bertanggungjawab atas segala fenomena yang terjadi di dalam masyarakatnya, yaitu, pertama “keterbelakangan abadi” bagi masyarakat mayoritas yang ditandai dengan rendahnya partisipasi dan kepedulian masyarakat atas fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya serta tidak mampu mengkritisi apapun kebijakan pemimpinnya. Kedua gejala disintegrasi yang semakin mengganas yang ditandai dengan menjamurnya gerakan-gerakan separatisme. Jika dampak pertama tidak segera dicarikan solusinya maka negara kita selamanya akan menjadi negara ketiga dan tidak pernah diperhitungkan di kancah dunia. Hal ini bisa dipahami karena kemajuan sebuah bangsa salah satu parameternya adalah masyarakatnya yang “melek” peradaban. Jika negara secara institusi tidak “melatih” kesadaran masyarakatnya maka selamanya masyarakat hanya peduli “urusan” mereka sendiri, tidak ada ruang di dalam pikiran mereka untuk hal di luar itu. Dan jika dampak kedua tidak segera dibasmi sebelum mewabah dan tidak diminimalkan segala hal yang menjadi pemicunya, maka sungguh menyedihkan jika harus dikatakan bahwa umur persatuan kita tinggal menunggu saatnya berakhir. Hal ini tentu saja sangat bisa dipahami, masyarakat yang merasa tidak mendapatkan cukup kepuasan bagi rasa keadilannya atas distribusi segala kebaikan yang begitu senjang antara kaum elit dan kaum jelata, maka mereka yang merasa termarjinalkan tersebut akan bereaksi dengan bermacam-macam cara untuk menuntut rasa keadilan itu. Karena kita berharap suatu hari negara kita bisa menjadi negara maju yang diperhitungkan di dunia internasional dan NKRI adalah harga mati, maka tidak ada pilihan lain yaitu kita harus mencari solusi dan antisipasi atas segala fenomena yang ada di negeri ini dengan cara mentransformasi fenomena-fenomena tersebut kepada fase-fase perbaikan dan kebangkitan. Untuk mengakselerasi transformasi tersebut maka kita harus menelusuri akar dan sumber krisis kebebasan dan demokrasi dalam kesadaran kita agar “penyakit” tersebut bisa kita obati secara tuntas sehingga masyarakat kita mengalami perubahan dan selalu berada di bawah kendali dan kontrol kritik yang berkesinambungan. Hal utama yang harus kita lakukan dalam proses “pengobatan” tersebut adalah kritisasi warisan-warisan intelektual berupa dogma-dogma atau aksioma-aksioma agama yang kita terima “mentah-mentah” dari para “orangtua” kita serta memberikan interpretasi ulang sejalan dengan dinamika dan tuntutan zaman. Biang krisis lainnya yang harus kita obati dalam penyakit keterbelakangan kita adalah persepsi monolitik sehingga dangkal dalam memberikan pemahaman atas sebuah permasalahan, interpretasi tekstual sehingga gamang dan “mati langkah” ketika berhadapan dengan konteks realitas, takfir “lawan” sehingga perbedaan yang ada di dalam tubuh masyarakat kita tidak pernah dijadikan sebagai sumber produktivitas malah cenderung menjadi sumber perpecahan.
Wallahu’alam bishshowab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun