Sebuah Catatan Lepas :
Menjadi Pendengar Yang Baik,
Dari Pilkada Buton Hingga USN Kolaka Jadi PTN, Kenapa Tidak ?
Oleh : Ridwan Demmatadju
Matahari begitu terik menyinari pelataran kampus USN Kolaka, siang itu saya berniat untuk bertemu dengan Rektor USN Dr.Azhari, S.STP,MSi setelah lama tak betemu di ruang kerjanya lantaran kesibukan yang begitu padat dijalani selama beberapa bulan ini.Apalagi belum lama ini Ia baru saja mengikuti perhelatan politik di kampung halamannya di Kabupaten Buton sebagai calon Bupati Buton dalam Pemilukada yang berlangsung bulan lalu yang hasilnya masih dipersoalkan hingga ke Mahkamah Konstitusi oleh delapan calon Bupati Buton yang belum menerima kekalahan tersebut.
MotorHonda butut tanpa nomor polisi aku parkir sekenanya di bawah pohon di jalan masuk di Kampus USN tepat di depan koperasi mahasiswa yang tak jauh dari gedung rektorat USN Kolaka. Dipergelangan tangan saya jam sudah menunjukkan pukul 13.30 Wita, saya berharap Pak Rektor sudah tidak sesibuk ketika saya datang pada pagi tadi sekitar pukul 10.00 wita.” Masih banyak tamu dan sibuk” begitu katanya ajudan yang tak pernah aku kenal siapa namanya, saat saya mau naik ke tangga menuju ruangan Rektor yang sudah saya anggap saudara dia pun demikian menjadikan saya sebagai saudaranya. Tapi saya batalkan untuk bertemu setelah Sang ajudan menyampaikan kata-kata itu. Setelah saya sholat di Musholah Kantor Bupati Kolaka yang letaknya tak jauh dari kampus USN Kolaka barulah saya kembali ke kampus USN Kolaka yang kebetulan mobil kijang innova dengan nomor polisi DT 12 B masih terparkir di depan gedung rektorat, itu tandanya Pak Rektor masih ada di ruangan kerja. Tanpa melapor lagi ke ajudannya saya langsung saja mengetuk pintu masuk ke ruangannya, sembari hanya melihat ajudan yang lagi duduk di depan pintu masuk, saat itu juga ajudan rektor serta-merta mempersilahkan saya masuk dengan tangannya mengarahkan ke pintu masuk. Saya pun langsung masuk membuka pintu pelan-pelan dan mengucapkan salam. “Assalamu Alaikun Pak Rektor !” aku menyapa Azhari yang lagi asyik membaca setumpuk koran di atas meja kerjanya. Memang tak ada lagi tamu di ruangannya siang itu, seperti biasa dia begitu asyiknya mengamati headline berita di koran itu, dan selalu begitu jika saya masuk ke ruangannya seraya mempersilahkan saya duduk, kemudian menayakan kedaan saya dan keluarga di rumah.
Setelah saya duduk di depan meja kerjanya, Ia pun berhenti membaca koran Kompas Minggu, kami berdua berdiskusi dimulai dengan topik yang ringan hingga soal pilkada Buton yang baru saja diikutinya.Ia sempat menanyakan soal tanggapan masyarakat Kolaka dengan “Kekalahannya”. Saya hanya menjawab bahwa ada yang memberikan respon positif tetapi ada juga yang negative responnya. Mendengan jawaban saya ini, Dia hanya bilang itu manusiawi. “Tetapi saya tak merasa kalah dengan peroleh suara pada saat pilkada Buton ini, karena saya melihatnya dari sisi yang lain,pertama saya merasa menang karena proses pilkada yang dilaksanakan itu penuh dengan praktik kecurangan sistemik dan terstruktur, inilah pilkada yang paling hancur-hancuran prosesnya dari sekian pilkada kabupaten yang ada di Sulawesi Tenggara,’’ ungkapnya.
Dalam diskusi kami berdua sesungguhnya, Azhari yang belum lama menerbitkan bukunya berjudul “Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia” ini banyak mengungkapkan fakat-fakta yang begitu miris dan cukup berbahaya untuk saya ungkap dalam tulisan saya ini.Karena ini menyangkut nama-nama orang pentingbaik di Militer dan di Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara. Lagi pula saya bukan dalam posisi menjadi tim sukses yang bertugas mengadvokasi secara hukum Azhari selaku Calon Bupati Buton. Saya hanya ingin menjadi pendengar yang baik saja dari seorang sahabat yang begitu dekat dan merasa ikut prihatin dengan kenyataan pahit yang dia alami saat ini. Tetapi lagi-lagi dia tak merasa kalah dan menjadikan kekalahannya menjadi pil pahit politik dalam perjalanan kehidupan seorang muda yang terasa masih sulit dicari yang setara dengan Azhari di jazirah Sulawesi Tenggara.
Azhari yang aku kenal 11 tahun yang lalu saat ia masih menjadi staf biasa di Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Kolaka dengan sekarang dengan gelar Doktor Ilmu Manajemen Administrasi Publik yang diraih di Universitas Gajah Mada ini, tak sedikitpun berubah sikap dan pendiriannya dalam menekuni dua dunia politik dan sebagai praktisi pendidikan tinggi. Dari perjalanan panjangnya di Kolaka, nampaknya dia banyak melahirkan gagasan yang brilliant,makanya dia juga masih dipercaya oleh Bupati Kolaka, Drs. H.Buhari Matta,MSi, sebagai staf khusus bidang politik hingga saat ini. Kemudian yang tak kalah pentingnya dia adalah salah satu sosok yang telah banyak melakukan perubahan wajah Sekolah Tinggi Keguruan dan Imu Pendidikan (STIKIP) 19 November dengan mengkonversi menjadi Universitas 19 November, bahkan hingga kini masih berjuang keras untuk menjadikan USN menjadi Perguruan Tinggi Negeri.Dari hasil kerja cerdasnya ini konversi dari STKIP menjadi USN Kolaka citra Perguruan Tinggi ini dimata masyarakat kolaka ini menjadi salah satu PTS kebanggan masyarakat Kolaka dengan sejumlah Fakultas dan Program studi yang telah terakreditasi oleh BAN (Badan Akreditasi Nasional). Sebuah prestasi yang luar biasa telah ditoreh dalam waktu yang tidak harus berpuluhantahun.
Sebagai sahabat Rektor dan melihat gagasannya : USN Kolaka menjadi Pergruan Tinggi Negeri, Kenapa Tidak ? Memang bagi yang tidak memahami alur berpikir Azhari dan melihat fakta obyketif dari tim kerja Azhari dalam merubah satus PTS menjadi PTN, akan menilai gagasan ini hanya sebagai mimpi di siang bolong, tetapi dari fakta administrasi dan kelengkapan infrastruktur yang dijadikan prasayarat oleh Dirjen Dikti dan Kemendiknas yang telah disodorkan oleh pihak USN Kolaka,nampaknya bukanlah sesuatu yang mustahil USN Kolaka dapat terwujudkan menjadi PTN.Tinggal menunggu waktu saja.
Hampir dua jam lamanya kami berdiskusi tanpa asap rokok dan minuman dingin yang tersaji di atas meja kerja rektor karena bulan puasa, hingga tak terasa sudah pukul 14.05 Wita. Saya mulai gelisah ingin pamit pulang ke rumah saya di bilangan Watuliandu. Saya lalu berkata sembari tertawa lepas sekarang saya mau pamit pulang,”Apa yang bisa saya bawa pulang ? Azhari spontan tertawa sembari menyodorkan lembaran koran yang tertumpuk di atas mejanya. Tanpa basa-basi saya membuka laci lemari buku dan mengambil buku terbarunya itu, “Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia” dan memintanya dia membuhkan tanda tangan di salah satu lembaran dalam buku itu dan berlalu meninggalkannya sendirian. (**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H