Kyai Muhammad Ridlwan dari Genuk Semarang: Kyai yang Memanusiakan Manusia
Â
KH. Moh. Ridlwan lahir di Desa Bulusari Kecamatan Sayung Demak 1 Januari 1932 M. Beliau lahir dari keluarga kurang mampu yang berprofesi sebagai petani. Ayah beliau bernama Abdul Ghoni dan ibu beliau bernama Syawilah. KH. Moh. Ridlwan merupakan anak pertama dari enam bersaudara.
Sejak kecil beliau merupakan anak yang cinta ilmu. Tanpa mengenal lelah beliau belajar dengan giat di SR (Sekolah Rakyat) Desa Prampelan, sedangkan di sore hari beliau menimba ilmu lagi di Madrasah Diniyyah di Desa Ngaluran yang berjarak 3 KM karena di desanya sendiri belum ada Madrasah Diniyyah. Dengan modal cengkir (kencenge piker), dengan keterbatasan akhirnya beliau lulus SR.
Selepas dari SR sebenarnya ayahnya melarang melanjutkan sekolah, namun karena tekad yang kuat, beliau akhirnya diberi izin untuk melanjutkan belajar, namun tanpa biaya dari orang tua karena memiliki keterbatasan ekonomi. Ketika beliau mendengar berita tentang adanya pesantren besar di Suburan Mranggen bernama Pondok Pesantren Futuhiyyah dengan pengasuh simbah KH. Muslih bin KH. Abdurrahman, sebagai ulama besar, ahli thoriqoh, dan terkenal sebagai wali pada zamannya beliau pun meninggalkan rumah untuk belajar di pesantren tersebut.
Tanpa uang sepeserpun, beliau menuju pesantren dan memberanikan diri sowan kepada simbah KH. Muslih bin KH. Abdurrahman untuk meminta ijin ikut mengaji dan tinggal di pondok sekalipun harus bekerja apa saja. Melihat tekad yang kuat tersebut beliau dijadikan abdi dalem (santri yang tinggal di pondok untuk membantu kyai). Selain belajar beliau juga ditugasi KH. Muslih untuk merawat putranya bernama KH. Lutfil Hakim dan KH. Hanif Muslih yang pada waktu itu masih kecil.
Beliau mengaji dan menjadi abdi dalem KH. Muslih Mranggen selama puluhan tahun. Mengaji di pondok sekaligus menjadi abdi dalem tidaklah mudah, karena harus membagi waktu antara mengaji dan mengabdi. Namun karena tekad dan tekun beliau bisa sukses dalam mengaji sekaligus berhidzmah tersebut. Ketekunan beliau dalam mengaji dapat ditemukan dari kitab kuning beliau yang lengkap maknanya. Menurut pengakuan beliau saat masih hidup, bahwa beliau selalu menyediakan waktu untuk menambal makna yang tertinggal. Bahkan dari kitab I'anatuth Tholibin syarakh kitab Fathul Mu'in, ditemukan beberapa kurasy (lembar) kelihatan sebagai tulisan tangan sendiri karena mengganti tulisan halaman yang hilang.
Sewaktu menjadi santri akhir, ada seorang mudin (tokoh agama Islam) dari Desa Karangroto Genuk Semarang bernama KH. Sholeh bin KH. Abdurrahman bin KH. Zainuddin yang sowan kepada KH. Muslih Mranggen. Sebagai mudin, KH. Sholeh merasa membutuhkan seorang kader agama sebagai penerus dakwah agama Islam. KH. Sholeh meminta dicarikan kader untuk dinikahkan dengan putri satu-satunya yang pintar mengaji dan patuh kepada kedua orang tuanya, yaitu Musyarofah.
KH. Sholeh telah berjuang mati-matian untuk mencari calon menantu demi melanjutkan perjuangannya menegakkan dakwah agama Islam, namun tidak ada yang memenuhi kriteria beliau. Bahkan untuk memenuhi harapan itu, putrinya itu telah dinikahkan berkali-kali (nikah-cerai) guna mendapatkan menantu yang pintar mengaji agar bisa membantu dakwah tersebut.
Atas permintaan KH. Sholeh, KH. Muslih lalu mengusulkan untuk mengambil beliau sebagai menantu. Ketika beliau diberitahu oleh KH. Muslih akan dijodohkan dengan Nyai Musyaroffah putri KH. Sholeh, beliau menyatakan bersedia dengan syarat meminta kepada calon mertua agar beliau diperkenankan menambah waktu satu tahun untuk menyelesaikan khidmah.
Perjuangan KH. Ridlwan Menyebarkan Dahwah Islam dan Mendirikan Pesantren