Kita semua mungkin sudah cukup familiar dengan nama PPSU atau pasukan oranye. Pasukan yang sehari-hari mudah kita temui di sudut-sudut kota Jakarta ini memiliki jasa yang terbilang besar. Mereka bertanggung jawab atas kebersihan lingkungan perkotaan. Sampah, galian yang terabaikan dan hal-hal yang mengganggu kebersihan lainnya tiap hari menjadi tanggung jawab mereka. Kinerja pasukan Oranye patut kita apresiasi dan hormati bersama.
Baru-baru ini terjadi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dialami oleh para pasukan oranye. Mereka yang berstatus PHL (Pekerja Harian Lepas) banyak yang tidak diperpanjang kontraknya akibat regulasi yang berubah secara sepihak dan mendadak. Regulasi apakah itu? Menjadi pasukan oranye pada awalnya tidak dibutuhkan hasil tes wawancara atau tes tertulis, namun secara mendadak kualifikasi berdasarkan tes ini diadakan, tidak masuk akal bukan?
Peraturan ini tidak lain tidak bukan dicetuskan oleh plt Gubernur Soni Sumarsono. Di satu sisi memang tidak mengherankan, semenjak menjadi plt Gubernur Soni kerap menggodok dan mengganti peraturan-peraturan yang telah berjalan sebelumnya tanpa alasan yang jelas. Kejadian ini menambah daftar kebijakan kontroversial Sumarsono yang perlu kita pertanyakan urgensi dan tujuannya apa.
Baru-baru ini, selain mencetuskan peraturan tes wawancara dan tertulis bagi para pasukan oranye, Soni bahkan mengubah desain kereta MRT yang memakan biaya tambahan puluhan miliar, dengan alasan estetika uang puluhan miliar pun harus dianggarkan lagi. Kembali ke masalah pasukan oranye, peraturan tes wawancara dan tertulis jelas tidak masuk akal. Persyaratan selama ini yang mewajibkan ijazah terakhir, NPWP, SKCK, Surat Bebas Narkoba sudah memenuhi syarat untuk menjadi PHL pasukan oranye.
Gubernur non-aktif Basuki Tjahja Purnama atau Ahok sendiri sudah menegaskan menjadi pasukan oranye tidak perlu melakukan tes tertulis. “Aduh, mau tes apa sih? Cuma bersih-bersih got mau tes apa? Saya mau tanya kamu mau cari sarjana apa cari tukang bersih got? Enggak perlu terlalu pinter kok, yang penting kamu jujur, mau kerja, rajin,” ujar pak Ahok.
Bahkan, Pasukan Oranye yang hendak melanjutkan kontrak ada yang dipungut uang sebesar 500.000 rupiah. Sungguh keterlaluan birokrasi Jakarta semenjak ditinggal cuti oleh pasangan petahana. “Saya dimintain Rp 500.000, sama orang PPSU (Petugas Prasarana Sarana Umum). Dia ngaku dekat sama Lurah, jadi nanti kontraknya tetap bisa lanjut asal bayar Rp 500.000,” berikut kutipan pernyataan Dedi.
Wajar saja jika Pasukan Oranye banyak yang mengadu dan memohon bantuan kepada Ahok-Djarot. Selesainya masa cuti kampanye, saya percaya birokrasi Jakarta tidak akan kacau seperti ini lagi, semoga bisa dua periode ya pak Ahok-Djarot. Demi Jakarta yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H