Ulama di Indonesia saat ini benar-benar sedang diuji, fitnah terus diarahkan baik kepada individu maupun organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbagai opini negatif terkait ulama ramai diperbincangkan di media sosial dan media online.
Fitnah kepada MUI yang hangat dibahas diantaranya: MUI menggelapkan dana sertifikasi halal sebesar 240 triliun; MUI dituduh menjadi kendaraan politik tertentu seperti yang ditulis Ade Armando di media sosial, Senin (17/10); terakhir ada tulisan di Kompasiana.com dengan judul "Ulama Jangan Jadi Makelar Umat" yang ditulis oleh Kompasianer Robbi Gandamana, walaupun tulisannya mengutip wejangan Emha Ainun Najib atau Cak Nun, namun tulisan tersebut sangat mengecilkan peran ulama dalam masyarakat Islam.
Sebagai Muslim, jujur saya prihatin dengan berbagai fitnah yang menerpa ulama. Kenapa saya harus prihatin?
Kita simak dulu tulisan Mas Robbi Gandamana (Silahkan Klik disini untuk membacanya). Dalam tulisannya mas Robbi Gandamana mengutip pernyataan Cak Nun sebagai berikut:
"Kenapa perlu menggalakan taddabur? Karena umat Islam sekarang tergantung pada ahli tafsir. Kita semua dibuat merasa tidak paham Al Qur'an. Kita tidak pernah dimerdekakan untuk otentik bergaul dengan Allah dan Al Qur'an. Kita harus selalu pakai makelar: ulama, kyai, ustadz, dst. Mereka menjadi 'makelar' di antara kita dan Al Quran, di antara kita dan Allah".
Selanjutnya ada kutipan:
"Susahnya pimpinan-pimpinan agama suka bertempat di situ. Menjadi 'gerhana' di antara Tuhan dengan umatnya. Karena di situ ada jabatan, kepemimpinan, akses eksistensi dan ekonomi".
Baiklah itu kutipan dari Cak Nun yang tidak diragukan lagi pemahamannya tentang Islam, lah kita ini opo? Cuma masyarakat biasa yang terbatas memahami agama Islam. Sudah begitu "gak pernah nyantri" atau sekolah agama Islam.
Ilmu agama yang secara formal kita terima cuma dua JPL di sekolah dasar atau sekolah menengah setiap minggu, serta dua SKS di perguruan tinggi dalam mata kuliah dasar umum. Inilah resikonya hidup di negara yang tidak mengutamakan pelajaran tauhid, jadi terbatas pemahaman agama kita.
Lalu, kemana kita mendapat tambahan pengetahuan agama Islam? Tentu kepada ulama. Belajar agama Islam kepada keluarga, teman dekat atau membaca buku memang bisa, tapi apakah bisa utuh pemahaman Islam kita?
Kemudian soal tafsir menafsir Al-Quran dan hadist. Apakah semua orang berhak menafsirkan Al-Quran dan hadist? Tentu saja tidak. Seperti Nusron Purnomo yang ternyata suka "maen gaple", apakah layak menafsir ayat Al-Quran dan hadist? Apalagi kita dengan pengetahuan terbatas soal Islam yang hanya menerima 2 JLP atau 2 SKS pendidikan agama di sekolah formal.