Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Relawan - Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Orang biasa saja, seorang ayah, sejak tahun 2003 aktif dalam kegiatan community development. Blog : mediawarga.id e-mail : muh_ridwan78@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Provokasi Perbatasan Indonesia, By Design?

10 Februari 2014   17:35 Diperbarui: 26 Oktober 2015   05:02 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1392028438407495589

[caption id="attachment_311322" align="aligncenter" width="603" caption="Peta Potensi Konflik Indonesia dengan Negara Jiran  (Sumber: Analismiliter.com)"][/caption]

Selama satu bulan terakhir, isu konflik perbatasan dan diplomatik dengan negara tetangga menjadi headline media  Indonesia, baik cetak maupun elektronik. Setelah Australia melakukan provokasi di laut selatan Indonesia dalam rangka menghalau pencari suaka, dan protes Singapura terkait penamaan KRI Nahkoda Ragam Class dengan nama Pahlawan Usman-Harun, kini isu hangat datang dari Timur Indonesia, yakni kasus pembakaran perahu nelayan Indonesia oleh Tentara Papua New Guinea (PNG) di perairan perbatasan Indonesia-PNG.  Apakah semua provokasi di perbatasan dan konflik diplomatik ini By Design?

Setelah sekian lama Indonesia berkonsentrasi dalam rangka pemulihan keamanan dalam negeri akibat separatisme, kini Indonesia menghadapi ancaman serius dari luar negeri, yakni konflik perbatasan dan diplomatik dengan negara tetangga.

Pertama, konflik perbatasan dan diplomatik dengan Australia akibat operasi kedaulatan perbatasan yang dilancarkan Pemerintahan Tony Abbott. Angkatan Laut Australia telah memasuki secara ilegal perairan Indonesia saat mendorong kembali kapal-kapal pencari suaka ke wilayah Indonesia. Isu pencari suaka ke Australia merupakan isu yang sensitif bagi kedua negara, karena Australia menuduh Indonesia melakukan pembiaran atas derasnya pencari suaka yang memasuki Australia. Sebelumnya Indonesia menarik duta besarnya di Australia akibat skandal penyadapan oleh Australia terhadap Presiden SBY dan Ibu Negara serta beberapa pejabat tinggi Indonesia.

Kedua, Konflik diplomatik dengan  Singapura terkait penamaan KRI Nahkoda Ragam Class dengan nama KRI Usman Harun, Pahlawan Nasional Indonesia yang digantung di Singapura ketika masa Konfrontasi dengan Malaysia. Tidak ayal kasus ini membuka luka lama hubungan diplomatik Indonesia-Singapura. Protes Singapura ini di bumbui dengan isu pelanggaran kedaulatan udara Indonesia oleh pesawat F-16 Singapura yang kemudian dibantah oleh TNI-AU sendiri.

Ketiga, kasus lama yang tetap panas, yakni Konflik wilayah Ambalat dengan Malaysia. Dan terakhir, kasus terbaru, dibakarnya kapal nelayan Indonesia oleh Tentara PNG.

Sungguh Ironis, negara tetangga Indonesia yang berbatasan langsung dengan Indonesia,  kecuali East Timor dan Filipina mulai kurang bersahabat dengan Indonesia. Seperti dalam tulisan saya sebelumnya di Kompasiana, dari analisa saya, konflik ini by design dengan aktor Intelektualnya Australia. Singapura, Malaysia dan PNG sebagai negara persemakmuran Inggris akan ditarik ke aliansi Anglo Saxon (Amerika, Inggris, Selandia Baru dan Australia) dalam rangka menghadapi aliansi musuh dari utara Australia, dalam hal ini Indonesia dan China. Aliansi Anglo Saxon melihat Indonesia saat ini lebih cenderung merapat ke China dan Rusia, khususnya dalam bidang perdagangan dan kerjasama pertahanan.

Bagi pemerhati hubungan Indonesia-Australia, sikap keras Australia bukan sesuatu yang baru. Hubungan kedua negara kerap mengalami fluktuasi, karena sering diwarnai sikap ambigu, Australia seolah bersahabat dengan Indonesia, namun disisi lain tetap ketakutan menganggap Indonesia sebagai ancaman kemananan nasional Australia.

Sikap ini diperlihatkan Australia sejak kali pertama menjalin hubungan diplomatik dengan Jakarta. Canberra melihat Indonesia sebagai raksasa yang kerap harus ditenangkan dengan berbagai cara. Contohnya dengan membeli para jenderal korup yang sedang berkuasa, untuk kepentingan jangka panjang.

Australia adalah warisan kolonialisme Inggris, pondasi negaranya dibangun dengan membantai penduduk Aborigin. Sedangkan Indonesia adalah salah satu negara Asia yang mampu melepaskan diri dari kolonialisme bangsa-bangsa Eropa,  dan mempertahankannya lewat perang dan perundingan ketika penjajah Eropa berusaha kembali berkuasa. Berangkat dari sejarah itulah, Australia mengganggap "Nasionalisme Indonesia" dengan ideologi anti-kolonialismenya  tetap akan menjadi ancaman Australia di masa depan.

Oleh karena itu, Indonesia harus tetap memelihara persatuan dan kesatuannya, pararel dengan perkuatan kekuatan Tentara Nasional Indonesia melalui Program Minimum Essensial Force (MEF). Program MEF  tahap satu (2009-2014) 60-70 persen telah tercapai dan akan ditingkatkan melalui Program MEF tahap 2 (2015-2019). Program MEF Indonesia harus segera terealisasi untuk menimbulkan efek deteren terhadap aliansi Anglo Saxon yang dipimpin Australia. Khusus di Timur Indonesia, perlu segera direalisasikan pembanguan markas Divisi 3 Kostrad, Divisi 3 Marinir,  skuadron pesawat tempur, penambahan radar dan pangkalan Angkatan laut di Pulau Papua. Dan yang paling penting Indonesia harus segera bisa mensejahterakan rakyat Papua dan melakukan pendekatan secara persuasif dengan gerakan separatisme Papua. Dan yang tidak kalah pentingnya dalam politik luar negeri, kita harus memiliki Pemerintahan yang berwibawa dan disegani negara lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun