[caption caption="Peta Provinsi Lampung"][/caption]Sejak menginjakan kaki di Tanah Sai Bumi Ruwai Jurai Lampung, Medio tahun 2011, Penulis sering melihat banner bertuliskan “NKRI Harga Mati” dan “Damai Itu Indah” dengan latar belakang Komandan Korem 043 Garuda Hitam Provinsi Lampung. Entah apakah supaya kondisi Provinsi Lampung ini kondusif atau mensosialisasikan sang Komandan Korem menjelang Pilgub Lampung.
Tapi banner tersebut seolah-olah tidak punya makna ketika berbagai kasus kekerasan terjadi di Provinsi Serambi Sumatra ini. Kekerasan dengan latar belakang SARA sering terjadi di wilayah yang disebut “Miniatur Indonesia” karena heterogenitas penduduknya. Mulai dari kasus Talang Sari dan Dipasena saat orde baru, kasus Mesuji serta yang terbaru adalah Kasus Balinuraga di Lampung Selatan dan Kasus Bekri di. Lampung Tengah.
Lampung sebagai “Miniatur Indonesia” sebenarnya bisa menjadi laboratorium kehidupan sosial politik di Indonesia diluar DKI Jakarta. Heterogenitas masyarakatnya bisa menjadi barometer kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika Lampung agak “demam” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka bisa dikatakan secara umum Indonesia juga sedang “demam” ,dan harus segera diberikan obatnya.
Dalam sambutan HUT TNI ke-67 pada tanggal 05 Oktober 2012, Presiden SBY mengatakan, “Indonesia adalah negara cinta damai tapi NKRI harga mati”. Kalimat tersebut seakan menegaskan kembali bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang terbentang dari Sabang sampai Maurake yang tidak boleh diganggu-gugat. Namun karena kalimat tersebut lahir dari TNI, seolah-olah menegakan NKRI harus dengan pendekatan keamanan.
Ancaman terbesar keutuhan NKRI sebenarnya bukan dari ancaman invasi negara asing, namun dari dalam negeri sendiri. Ya, potensi konflik berlatar belakang primordial adalah ancaman terbesar keutuhan NKRI.
Persoalan primordial di Indonesia ini tidak berdiri sendiri. Dalam kasus Lampung, persoalan ini berkelindan dengan kenyataan adanya disparitas ekonomi yang bagi sementara kalangan sudah makin terlihat nyata. Kaum pendatang, yang mayoritas dari Pulau Jawa dan Pulau Bali merupakan komunitas yang cukup sejahtera, sementara etnis Lampung tidak cukup baik kondisinya sebagai ”tuan rumah”. Di sini, persoalan klasik muncul, kesenjangan dan kecemburuan sosial antara ”pribumi” dengan ”pendatang” cukup membutakan akal sehat dan menjadi rumput kering yang berpotensi membara manakala menemukan pemantiknya. Persoalan klasik tersebut ternyata merata terjadi di seluruh Indonesia. Jika permasalahan tersebut tidak teratasi, tidak menutup kemungkinan akan menjadi kanker yang akan menggerogoti keutuhan NKRI.
Ketika kita sudah memahami akar penyebab konflik, yang potensial membuat Indonesia ‘bubar”, maka jargon “NKRI harga mati” harus diganti dengan “Kesejahteraan Rakyat Harga Mati demi tegaknya NKRI”.
Sudah saatnya aparat teritorial mulai dari Petugas Babinsa sampai komandan Korem/Kodam, Petugas Babinkamtibmas sampai Kapolres/Kapolda ikut terlibat dalam menyusun perencanaan berbasis masyarakat melalui Musrenbang. Keterlibatan aparat territorial bukan berarti menghidupkan kembali dwifungsi ABRI/TNI seperti era Orde Baru, namun upaya deteksi dini permasalahan sosial di masyarakat.
Seperti dilansir beritahankam.blogspot.com, ancaman primordial ini ternyata menjadi kajian serius Departemen Pertahanan (Dephan) sehingga pada tahun 2013 akan membangun kantor pertahanan wilayah atau desk Pengendali Pusat Kantor Pertahanan (PPKP) di setiap provinsi di Indonesia. Tugas-tugas pokok kantor pertahanan wilayah atau desk PPKP merupakan kepanjangan tangan Kemhan dan terlibat dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di masing-masing daerah.
Namun PPKP harapannya tidak seperti Bakortranasda (Badan Koordinasi Strategi Nasional Daerah) seperti era Orde Baru yang terkesan memata-matai rakyat sendiri. Sehingga di Era Gus Dur Bakortranasda dibubarkan.
Tulisan ini bukan untuk membuka luka lama, karena kesepakakatan damai telah dideklarasikan di Provinsi Lampung. Damai Itu Indah Kawan! Lampung Sai! Bhinneka Tuggal Ika!