Dikotomi Santri dan Non-Santri, Apakah Masih Relevan?
Kata santri selalu identik dengan kalangan Pesantren dan kaum Nahdiyin yang berdomisili di desa, mayoritas profesinya sebagai pedagang. Namun kini dikenal juga istilah “Santri Kota”, yakni kalangan menengah Muslim di perkotaan yang memiliki pemahaman agama Islam yang baik, namun bukan jebolan dari lembaga pendidikan Pesantren.
Biasanya “Santri Kota” ini lulusan universitas atau berpendidikan formal cukup dan berlatar belakang ormas Islam modernis seperti Muhammadiyah, Persis, Ikhwanul Muslimin, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan lain-lain.
Adanya dikotomi santri dan non-santri berawal dari pandangan Clifford Geertz penulis buku legendaris The Religion of Javayang mengungkapkan tentang adanya trikotomi Abangan, Santri dan Priyayi di dalam masyarakat Jawa, yang telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama, khususnya Islam, dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Kerangka berfikir Geertz inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran masyarakat Indonesia seolah-olah ada dikotomi antara santri dan non-santri.
Namun, di era digital dan media sosial saat ini, tampaknya pandangan Geerzt tersebut perlu di uji kembali. Saat ini pemahaman tentang agama Islam jauh lebih baik di semua kalangan masyarakat berkat gencarnya dakwah Islam, baik melalui media elektronik dan media sosial. Bahkan, masyarakat bisa mencari referensi sendiri tentang pengetahuan agama Islam melalui mesin pencari di dunia maya.
Akses pengetahuan agama tidak lagi monopoli “kaum santri” di Pesantren-pesantren atau Perguruan Tinggi Islam. Hasilnya, tumbuh kelas menengah baru di Indonesia yang tidak lagi mencirikan kelompok abangan atau priyayi, sehingga antara kelompok santri dan non-santri sudah mencair.
Saat ini, banyak Bupati/Walikota atau Gubernur lebih “Nyantri” walaupun tidak berlatarbelakang Pesantren. Budayawan, politisi, anggota TNI/Polri juga demikian.
Jadi, dikotomi Santri dan non-Santri sudah tidak relevan lagi. Mengutip kembali pernyataan Din Syamsudin, hari nasional kecuali hari-hari besar keagamaan, haruslah menjadi hari bagi semua elemen bangsa. Maka kalau terpaksa harus ada Hari Santri (karena fait-a-compli politik pada saat Pilpres), mungkin bisa dicari tanggal lain. Tentu Pemerintah akan kerepotan jika ada desakan untuk kemudian adanya Hari Abangan Nasional.
Baca juga :
Hari Santri: Pengakuan Sejarah atau Politik Belah Bambu?
Kontrak Karya Freeport Tidak Diperpanjang, NKRI Terancam Bubar?