Lembaran putih dikeluarkan karena petisi 50 meragukan keterangan Panglima ABRI waktu itu, Â Jenderal L.B. Moerdani, yang mengumumkan jumlah korban tewas hanya 9 orang. Suatu angka yang diragukan Kelompok Kerja Petisi 50. Â
Berikut kutipan isi lembaran putih yang ditulis oleh H. Lukman Hakiem yang juga dituangkan dalam buku beliau  :
“Lembaran Putih berpendapat, insiden Tanjung Priok sesungguhnya sekadar penyulut (trigger) yang meledakkan ketegangan yang sudah lama membara di bawah permukaan stabilitas semu.
Sebab-sebab keresahan itu, menurut Lembaran Putih dapat dikembalikan kepada satu sumber, yaitu penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara dari isi dan jiwa UUD 1945 yang memuncak pada satu paket lima Rancangan Undang-undang (RUU) tentang "penataan" kehidupan politik, terutama gagasan asas tunggal Pancasila.
Lebih lanjut Lembaran Putih mencatat: "Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa terjadi penyimpangan penguasa dalam pengamalan ketentuan-ketentuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pada itu, rakyat tidak berdaya mengubah keadaan melalui cara yang demokratis.
Dengan demikian, musibah 12 September 1984 di Tanjung Priok bukan kejadian yang berdiri sendiri, ia adalah akibat dari sistem yang berlaku."
Menutup pendiriannya, Lembaran Putih menganjurkan: "Demi keadilan bagi semua pihak, termasuk bagi pemerintah sendiri, sebaiknya dibentuk suatu komisi bebas (independen) untuk mengumpulkan keterangan yang jujur mengenai kejadian September 1984 di Tanjung Priok. Laporan komisi itu harus diumumkan kepada khalayak ramai, supaya semuanya dapat menarik pelajaran daripadanya."
Lembaran Putih yang dikeluarkan di Jakarta pada 17 September 1984, ditandatangani oleh 22 orang, yaitu: Azis Saleh, H.R. Dharsono, Suyitno Sukirno, Ali Sadikin, Hoegeng, Sjafruddin Prawiranegara, Darsjaf Rahman, Wachdiat Sukardi, Boerhanoeddin Harahap, Abdulrahman Sy, Slamet Bratanata, H.M. Sanusi, Bakri A.G. Tianlean, D. Ch. Suriadiredja, M. Muin, M. Radjab Ranggasoli, M. Amin Ely, Anwar Harjono, A.M. Fatwa, H. Hamzah Hariandja, N.P. Siregar, dan Sofwan AM.
Alih-alih memenuhi anjuran Lembaran Putih, tiga orang penandatangan Lembaran Putih malah ditangkap dan dipenjara.
Menteri Perindustrian, Tekstil, dan Kerajinan Rakyat (1966-1968), Ir. H.M. Sanusi dituduh mendalangi dan membiayai peledakan gedung Bank Central Asia (BCA) dan jembatan Metro, Gkodok. Generasi pertama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan tokoh Muhammadiyah itu dihukum penjara 19 tahun.
Bekas pejabat di pemerintahan provinsi DKI Jakarta yang juga alumni HMI dan Pelajar Islam Indonesia (PII), A.M. Fatwa dihukum 18 tahun. Di era reformasi sesudah direhabilitasi oleh Presiden B.J. Habibie, Fatwa menjadi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-RI, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-RI, dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI. Mantan Pangdam Siliwangi, Letjen TNI (Purn) H.R. Dharsono dihukum 7 tahun.