Mohon tunggu...
Cah Indo
Cah Indo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Working employee

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

NJOP Naik, Tirani Ekonomi atau Suatu Keadilan?

12 Maret 2014   21:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi -layanan perpajakan/Admin (Kontan)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi -layanan perpajakan/Admin (Kontan)"][/caption] NJOP Naik 140%, Agen Properti Kebingungan Yah NJOP seperti tertulis dalam link berita di atas harus dinaikkan karena selama 3 tahun ini tidak naik dan agar sama dengan harga pasar (market value) atas nilai tanah dan bangunan tersebut. Saya akan mulai dengan konsep dasar kebutuhan manusia. Pada dasarnya sebagaimana yang diajarkan di sekolah dasar, kebutuhan pokok manusia itu ada 3, yaitu pangan, sandang, dan papan. Papan dalam hal ini rumah tinggal adalah kebutuhan yang diperlukan sebagai tempat kita bernaung dari keadaan cuaca serta perlindungan dari segala kondisi lingkungan sekitarnya. Namun, semakin lama kebutuhan papan telah bergeser makna dan fungsinya dari suatu kebutuhan menjadi suatu investasi yang merupakan penggerak ekonomi sehingga harga akan sangat bergantung pada hukum permintaan dan penawaran sehingga akan terbentuk harga pasar (market value). Apakah ini salah, tentu saja tidak ada yang salah, karena manusia diberi kebebasan dalam melakukan pilihan. Pengertian: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. (sumber) Pajak bumi dan bangunan diadakan sebagai sumber pendapatan bagi pemerintah dalam mendanai kegiatan pemerintahannya dan dipergunakan untuk mencapai kesejahteraan umum. Pajak akan dikenakan pada setiap kegiatan perekonomian (jual-beli) dan kemampuan ekonomi suatu badan usaha (PPh Badan) serta kemampuan ekonomi suatu individu (PPh). Dalam hal kemampuan ekonomi setiap individu maka semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang maka akan semakin besar membayar pajaknya di mana pajak akan digunakan untuk public investment untuk kepentingan bersama seperti bantuan kepada orang tidak mampu, infrastruktur dan fasilitas publik lainnya. Orang yang tidak mampu secara ekonomi maka tidak dikenakan pajak (Penghasilan tidak kena pajak). Contoh, semakin untung usaha kita maka semakin besar kita bayar pajak, semakin tinggi gaji kita maka semakin tinggi kita bayar pajak, semakin sering kita makan di restoran maka semakin tinggi pajak kita, semakin sering membeli barang maka semakin tinggi kita bayar pajak PPN, semakin mahal mobil kita maka semakin tinggi kita bayar pajak, bukankah ini prinsip pajak yang benar semakin tinggi tingkat ekonomi maka semakin besar pajak yang dibayarkan. Nah dalam dua pengertian di atas ada dua hal yang akan saya angkat, harga pasar (market value) dan kemampuan ekonomi individu dalam masalah perpajakan. Penggunaan Harga Pasar (market value) dalam penilaian NJOP memiliki nilai positifnya jika rumah dan tanah sudah beralih fungsi dari kebutuhan pokok menjadi suatu komoditas jual-beli. Untuk properti yang bersifat komoditas jual-beli maka NJOP berdasarkan harga pasar (market value) maka akan tepat namun bagaimana bagi sekelompok orang yang menganggap properti/papan hanya sebagai suatu kebutuhan pokok. Saya ambil contoh seperti ini: Si A membeli tanah dan rumah tahun 2006 dengan harga Rp 200 juta  sehingga harus mencicil Rp 1,5 juta/per bulan karena penghasilan Si A hanya berkisar Rp 4,5 juta/bulan. Lalu karena pesatnya perkembangan daerah Si A tahun 2010 ada tetangga baru bernama Si B dengan type rumah yang sama dengan Si A membeli dengan harga Rp 900 juta dan Si B mencicil sebesar Rp 8 juta/bulan karena penghasilannya mencapai Rp 24 juta/bulan. Jika penghasilan Si A naik sesuai inflasi maka tahun 2010 penghasilan Anda hanya Rp 6,5 juta namun Anda harus membayar pajak sama besarnya dengan tetangga Anda yang punya kekuatan ekonomi 3 kali lipat dari Anda. Bisa dibayangkan jika orang yang memiliki tanah dari warisan dengan luas 1000 m2 di daerah pusat-pusat Kota Jakarta seperti di daerah Kalibata, Pejaten, Condet dan lain-lain, apa dengan memiliki tanah 1000 m2 mereka dianggap sebagai jutawan? Harga pasar dibentuk berdasarkan harga transaksi yang terjadi pada suatu kawasan, tapi harga pasar hanya menjadi nilai semu bagi mereka yang menganggap properti sebagai kebutuhan pokok bukan komoditas. Karena jika pajak mengikuti acuan komoditas tanpa didukung adanya transaksi keuangan, maka pajak itu akan menjadi tirani bagi orang-orang yang terseret pusaran komoditas tersebut. Bukankah pajak modern diberlakukan sebagai cerminan kekuatan ekonomi baik pada transaksi ekonomi maupun tingkat ekonomi suatu individu. Kecuali jika Pajak kembali pada semboyan jaman kerajaan, ada ga ada duit pokoknya kamu harus bayar upeti. Bahkan saya sering baca komentar klo gak sanggup bayar PBB dengan harga pasar yah tinggal jual saja dan pindah ke daerah yang murah. Jika hal ini terjadi maka melalui NJOP pemerintah seperti hendak memaksa orang untuk pergi dari tanah tempat tinggalnya yang sah secara hukum hanya karena kemampuan ekonominya tidak dapat mengimbangi kemampuan ekonomi wilayah tersebut. Dan PBB melalui NJOP tidak seperti pajak lainnya yang mencerminkan tingkat ekonomi, namun seperti tirani yang dapat mengusir siapa saja yang yang tidak sesuai kriterianya dan tidak mencerminkan tingkat ekonomi pembayar pajaknya. Ini akan memaksa keadaan bahwa orang tidak berduit Anda layak untuk dipindahkan, karena daerah ini hanya untuk orang berduit walaupun tanah tempat tinggalnya merupakan tanah kelahirannya dan memiliki kepemilikan yang sah. Saya tidak membahas penghuni ilegal. Padahal pada konsep Pajak ada pula pendekatan penilaian melalui Acquisition Cost/harga saat membeli. Seperti yang saya contohkan di atas, pada kasus Si A dan Si B maka jika Si A tidak dapat mengikuti gerak perekonomian di daerahnya maka dia harus menjual rumahnya dan pergi ke daerah lain yang lebih murah. Bagaimana jika itu menimpa ayah si Doel anak Sekolahan yang tanahnya sangat luas namun hanya narik oplet? Bukankah dia hanya tinggal di rumah tersebut dan tidak menikmati manfaat ekonomi sesuai harga pasar dari tanah yang dimilikinya atau memang pilihannya cuman satu jika tidak sanggup Anda harus jual tanah Anda dan pergi dari daerah sini untuk mencari daerah yang lebih murah. Terkecuali jika yang hobi beli lalu jual tanahnya dan mengambil keuantungan, karena itu telah terjadi transaksi ekonomi. NJOP berdasarkan harga pasar akankah membuat suatu keadilan ekonomi atau merupakan jalan pemaksaan pengusiran secara legal? Tanpa menempelken NJOP kepada harga pasar sebenernya pemerintah punya pendekatan yang mencerminkan tingkat ekonomi pemilik properti tersebut dengan meningkatkan pengawasan pada jual-beli properti. Banyaknya kasus ketika membeli rumah dengan harga Rp 400 juta namun NJOP masih mencantumkan Rp 200 juta. Bukankah kalau pengawasan atas transaksi tersebut potensi pajak PBB akan naik tanpa harus membuat kenaikan NJOP yang membabi buta tanpa melihat kemampuan ekonomi obyek pajaknya? Jika Anda bisa membeli rumah seharga Rp 400 juta yah memang sudah kewajiban Anda membayar pajak berdasarkan nilai tersebut karena Anda punya kemampuan ekonomi. Semoga ini bisa jadi bahan renungan agar tidak ada kaum yang marjinal dipaksa pergi dari tanah kelahirannya hanya atas asumsi harga imajiner daerah sekelilingnya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun