Bagaimana Meregenerasi Petani?
Bukan hanya halaman depan, pertanian tak bisa dimungkiri sesungguhnya adalah takdir negara ini. Sejarah dan berbagai literatur sudah menuturkan hal ini. Dalam sebuah lirik lagu, misalnya, disebut begini: orang bilang tanah kita tanah surga; tongkah kayu dan batu jadi tanaman.Â
Lirik ini persis seperti kisah kecemburuan orang Jepang kepada nenek saya yang dulu pernah hidup pada masa penjajahan. Konon orang Jepang berkata kepada nenek saya begini: "Hidup di Indonesia itu nikmat. Tinggal buang batang singkong sembarangan, tak usah diurus, maka itu akan panen."
Dan, sesungguhnya, negara ini dikunjungi banyak kaum untuk berdagang tak lain tak bukan adalah karena kesuburannya. Tak tanggung-tanggung jumlahnya, mulai dari Persia, Arab, Cina, Eropa.Â
Pada akhirnya, bangsa Eropa, seperti  Inggris, Portugis, Belanda malah menjajah dan menjarah Indonesia. Mereka menjadikan  Indonesia sebagai lumbung uang untuk membiayai keserakahan kaumnya. Dibuatlah, misalnya, monopoli oleh VOC, sistem tanam paksa, hingga pengembangan perkebunan swasta besar melalui dikeluarkannya Agrarischwet 1870.
Kaum penjajah, bayangkanlah, harus rela mempertaruhkan nyawanya demi sampai ke Nusantara. Nyawa dianggap sepadan dengan kesuburan tanah Ibu Pertiwi. Tak sampai di situ, mereka juga harus mengorbankan banyak hal untuk berperang semata agar tanah subur itu bisa mereka nikmati hasilnya. Dan, segala pengorbanan itu bagi mereka lebih dari sepadan.Â
Terbukti, sebagaimana dituliskan Agus Pakpahan, hasil Tanam Paksa pada 1860 saja sudah mencapai 32 juta guilder atau sekitar 78% dari total pengeluaran pemerintah Belanda pada saat itu.
Beraneka Ragam
Hasil pertanian kita pun beraneka ragam. Semua bisa dibudidayakan. Kopi, misalnya, pada 1800-an, gula (1920-an), lalu karet (1960-an). Sayangnya, takdir dan halaman depan bangsa ini tidak kita sahuti dengan baik. Malah, takdir itu, kita buang jauh-jauh. Saban hari, misalnya, orang tua bekerja keras di sawah umumnya dengan satu mimpi utama: agar anak tak lagi menjadi petani.Â
Bahkan, orang tua rela melepas beberapa petak sawahnya asal anaknya punya modal untuk sekolah atau bekal untuk berangkat ke kota. Bagi kita, takdir ini nyata-nyata begitu getir.
Kita tak sadar betapa nun jauh di negara maju, seperti Israel, mereka berupaya sekeras mungkin mengolah tanah gersang menjadi tanah subur. Kita malah sebaliknya: menjual dan menjerumuskan tanah subur. Apa pasal? Karena selain ditanamkan dalam-dalam ke benak kita sebuah doktrin bahwa petani adalah sebuah profesi miskin, kepada kita juga disematkan stigma bahwa petani itu profesi rendahan.Â