Mohon tunggu...
Riduan Situmorang
Riduan Situmorang Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Riduan Situmorang seorang alumni dari SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos P. Siantar dan sedang kuliah di FBS Unimed. Lahir di Simandampin, 31 Desember 1987

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari Ilham dari Budaya

1 Desember 2013   10:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:27 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mencari Ilham dari Budaya
Oleh Riduan Situmorang
Berakhirlah sudah Forum Budaya Dunia yang dilaksanakan di Nusa Dua Bali pada selang waktu 24-27 November 2013 yang lalu. Forum Budaya Dunia ini diharapkan mampu menjadi jawaban pada morat-maritnya penanganan kemanusiaan, ekonomi yang anjlok, politik yang brutal, serta sederet permasalahan pelik yang mengancam sisi humanitas lainnya. Melalui Forum Budaya Dunia ini, kita pun berharap mampu untuk meredam—bahkan menghilangkan—konfrontasi yang akhir-akhir ini makin masif terutama di daerah Timur Tengah. Intinya, dialog kultural ini harus menjadi salah satu senjata untuk memecahkan beberapa masalah. Hal itu tidak berlebihan karena manusia pada hakikatnya memang lebih mampu bertahan hidup bersama secara damai daripada bertahan hidup bersama dalam suasana yang penuh konflik dan kekerasan.
Tentu juga, dengan pelaksanaan Forum Budaya Dunia ini, kita diharapkan untuk mampu membawa pesan kemanusiaan kepada siapa pun, termasuk lintas agama, ras, bahkan lintas negara. Sekali lagi, itu tidak berlebihan karena memang budaya adalah simbol keberadaban manusia. Kita telah bersepakat bahwa manusia biadab sudah punah seiring lenyapnya zaman prasejarah berikut barbar. Kita pun telah bersepakat bahwa siapa pun di dunia ini mempunyai kedudukan yang sama. Tidak ada dikotomi superior dan inferior. Dan, secara logika tentunya hal ini akan bermuara pada penebalan rasa memiliki, bukan saling memusuhi yang walaupun pada praktiknya kita malah lebih sering menaruh rasa saling memusuhi daripada saling memiliki. Akhirnya, konfrontasi menjadi keniscayaan, penyadapan menjadi kebenaran, pemaksaan paham dan agama makin meruyak, pendsikreditan suku-suku minoritas seakan menjadi kewajiban. Satu kata saja: anomali.
Memilih Alternatif Pendekatan Kebudayaan
Lalu, untuk menghadapi anomali kemanusiaan inilah sejatinya forum bertema kebudayaan dunia ini dirancang. Mestinya, forum ini juga menjadi benih dan kabar kegembiraan bagi kita semua, terutama bagi mereka yang masih memiliki sisi humanitas dari berbagai ragam spektrum. Seperti kata Radhar Panca Dahana dalam Kompas edisi 26 November 2013 yang lalu, kehadiran forum kebudayaan ini menjadi semacam kegembiraan yang tidak bisa ditutupi karena ini menjadi sinyal positif bagi mereka yang belakangan ini mulai digerogoti dan telah dicap sebagai orang yang terbuang dalam virus-virus pesimisme. Karena itu, ini saat yang tepat untuk memilih alternatif pendekatan kebudayaan untuk memanusiakan manusia itu secara manusiawi.
Terutama di Indonesia, pendekatan kebudayaan menjadi salah satu alternatif untuk memecahkan masalah-masalah yang sangat sensitif karena pendekatan politik dan ekonomi yang selama ini kita gadang-gadang ternyata tetap berujung pada jalan buntu. Pendekatan ekonomi, misalnya, masih terkaveling dan seakan tercipta bagi mereka yang memiliki modal tebal. Akhirnya, negeri ini kembali didera kapitalisme, padahal dulunya kita begitu alergi terhadap paham kapitalisme. Alasannya jelas, dengan menganut paham kapital, jurang antara orang miskin dan orang kaya akan makin dalam sehingga terasa akan sangat mustahil untuk membangun jembatan pemerkuatan kedekatan emosional antara si miskin dan si kaya.
Tidak hanya kapitalisme, liberalisme, bahkan neokolonialisme mulai bersarang. Zaman perbudakan yang dulu sudah lama kita tanggalkan dari tubuh kita, sekarang kita malah balik mengadopsi sistem budak atau tepatnya neofeodalisme dengan memperlakukan orang-orang termarjinalkan sebagai budak. Lihatlah, begitu banyak TKI yang terkatung-katung di negeri lain. Nasib mereka tidak jelas. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang harus meregang nyawa. Padahal, menjadi TKI adalah bukan pilihan mereka. Itu keharusan. Ironisnya, mereka menjadi TKI lantaran di negeri kaya ini yang juga merupakan negeri mereka, mereka tidak diberi kesempatan untuk bekerja. Dengan kata lain, itu merupakan pilihan yang kita paksakan bagi mereka tanpa ada jaminan kuat untuk menjaga kenyamanan mereka. Apakah hal ini bukan merupakan wajah baru perbudakan? Lebih tajam lagi, apakah hal ini menjadi terjemahan bahwa kita memang sudah hijrah dari zaman jahilyah atau zaman kebiadaban menuju zaman keberadaban yang kita katakan berbudaya? Terus terang, saya sangat ragu!
Sama seperti pendekatan ekonomi—bahkan sebenarnya jauh lebih parah—pendekatan politik pun bopeng dan seakan tidak menyisakan jejak. Semuanya menguap tidak jelas. Politik yang sejatinya menjadi amanah diterjemahkan menjadi sebagai lahan untuk meraup kekayaan. Politik yang dulunya dianggap suci dan sakral seperti pada kamus John Calvin, seorang teolog Kristiani terkenal, ditransformasi menjadi arena para gladiator. Ingatlah, gladiator tidak akan selesai jika salah satu dari mereka—penantang dan sang juara, atau dalam politik antara koalisi dan oposisi—tidak tumbang, tepatnya tewas. Hanya saja bedanya mungkin adalah, kalau di arena gladiator yang mati adalah salah satu dari petarung, tetapi di arena politik yang mati bukan petarungnya, melainkan penonton, dalam hal ini rakyat. Akhirnya, rakyat pun kembali menjadi budak, terutama rakyat kaum kecil atau rakyat yang sengaja dikecilkan. Jika tidak mau menjadi budak, mereka akhirnya akan mati di pedang para politikus. Sekali lagi, ini adalah wajah baru dari penjajahan. Karena itu, hingga detik ini saya masih meragukan kebenaran apakah kita sudah berbudaya atau tidak. Saya pun masih meragukan apakah kita sudah beragama atau tidak, yang pasti agama tidak pernah melegalkan perbuatan yang tidak manusiawi, termasuk jihad untuk membunuh orang yang kita sebut kafir!

Menangkap Sinyal Positif
Jika pun kita mengaku sudah beragama atau berbudaya, saya yakin itu lebih pada penekanan kemalasan, bukan pada kesalehan. Kita mengaku Tuhan itu mahabaik, karena itu kita berdoa tanpa bekerja. Jika pun bekerja, kita lebih banyak mengambil jalan yang haram melalui korupsi, setelah itu, kita pergi ke rumah ibadah untuk meminta maaf kepada Tuhan mahabaik yang kita yakini akan selalu memaafkan kesalahan seberapa besar dan seberapa sering pun kita melakukan kesalahan. Anehnya, kita mengartikan Tuhan akan selalu mengampuni perbuatan korupsi yang telah kita lakukan. Karena itu, tanpa ragu, kita korupsi secara sadar bukan karena kemiskinan material, melainkan kemiskinan moral. Apakah ini perilaku manusia yang beragama dan berbudaya? Sekali lagi, saya sangat ragu!
Mengutip sekali lagi pernyataan Radhar Panca Dahana dalam Kompas edisi 26 November 2013 yang lalu, Forum Kebudayaan Dunia ini menjadi semacam kegembiraan yang tidak bisa ditutupi karena ini menjadi sinyal positif bagi kita yang sudah pesimis dalam bernegara. Apakah kita dapat menangkap sinyal positif itu? Apakah kita dapat melihat bahwa benih kebajikan akan berkecambah melalui benih kebudayaan? Bagaimanapun, saya—dan saya yakin masyarakat di dunia terutama di Indonesia—dapat menangkap sinyal positif itu. Masalahnya sekarang, apakah sinyal itu akan ditanggapi pemerintah secara serius atau malah sebatas acara seremonial dan formalitas belaka? Mari sama-sama berdoa untuk menjadi manusia beradab melalui pendekatan kebudayaan! Semoga!
Tentang Penulis
Nama : Riduan Situmorang
T. T. L. : Simandampin, 31 Desember 1987
Alamat: : Jl. Sering No. 100 A Medan
Kegiatan : Staff Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan, Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KDM-KMK St. Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis)
No. Hp. : 085761434917

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun