Lagi-lagi malam ini saya melihat ketidaktahuan Jokowi apa itu debat Visi-misi. Dari debat putaran pertama kita telah melihat pemaparan yang disampaikan oleh Jokowi yang menurut saya tidak pernah mengena dengan apa yang dimaksudkan dengan penyampaian visi-misi untuk menjadi alasan mendasar dipilih sebagai seorang pemimpin apalagi sekelas presiden. Visi misi inilah yang akan menjadi tumpuan penilaian pantas tidaknya seorang pemimpin sebab dengan mengerti, maka sebuah penyampaian dapat diterima dengan baik oleh masyarakat yang lama menjadi harapan rakyat melalui program-program besar yang dipercaya dapat menyelamatkan bangsa dari keterpurukan yang berkepanjangan.
Sebuah visi-misi awalnya terbentuk dari adanya sebuah persoalan bangsa kemudian membentuk sebuah program dimana program diselesaikan dengan metode yang telah ditetapkan. Didalam penetapan metode ada dua kemungkinan besar yang dilakukan, yaitu dengan cara finansial dan non finansial sehingga apa yang menjadi visi-misi dapat diwujudkan.
Menyimak kembali perdebatan putaran kedua pada malam ini jujur saja Jokowi masih pada posisi yang tidak memiliki kemajuan pemaparan. Seperti yang sudah saya katakan pada tulisan saya lalu tentang debat putaran pertama bahwa apa yang disampaikan Jokowi pada khalayak ramai tidak mewujudkan sebagai seorang calon presiden, kenapa? Karena yang harus disampaikan adalah pemikiran briliannya bukan persoalan teknis yang sudah ada dan akan dijalankan oleh bawahan baik dari tingkat menteri sampai pada kepala desa.
Malam ini Jokowi mengulang kembali kesalahan yang sama. Hal-hal teknis yang menjadi sebuah tindakan yang dijalankan oleh bawahan menjadi strategi penyampaian dalam debat sehingga lupa apa yang dinantikan oleh masyarakat luas belum disampaikan bahkan tidak kunjung tiba, yang ada hanyalah menjual kartu sehat dan kartu pendidikan untuk menarik minat rakyat memilih yang nota bene adalah bagian dari sekedar teknis yang ada. Jokowi lupa kalau persoalan kartu seperti yang dia tunjukan adalah sebuah persoalan yang sangat tidak sulit untuk diterapkan ketika produktivitas bangsa dapat tumbuh seperti yang ditargetkan. Jokowi pun lupa bahwa pemikiran sekelas walikota tidak pernah setara dengan pemikiran yang harus dilahirkan oleh seorang presiden. Lihat saja bagaimana Jokowi menjawab pertanyaan tentang persolan bangsa yang lama dirugikan oleh perusahan asing? Jawaban Jokowi tidak ada sama sekali yang menggambarkan sebuah solusi agar bangsa ini terlepas dari jeratan yang lama melilit di leher rakyat. Sementara rakyat menunggung untuk sebuah kepastian adanya usaha perubahan yang minimal berupa tindakan renegosasi Jokowi menghadirkan ketidakmampuan untuk melakukan hal itu. Inilah akibat dari sebuah pemahaman yang kesannya selalu mencontek pemikiran orang lain. Bisa jadi ada benarnya, bukannya jauh hari sebelum pencalonan Prabowo sudah membawa sisitim perekonomian kerakyatan sementara Jokowi dengan sistim kapitalisme yang senang memanjakan pihak asing?
Tindakan renegosasilah merupakan wujud kepribadian seorang pemimpin atas ketidakrelaan dengan adanya penindasan pada bangsanya sendiri dimana sumberdaya alam milik rakyat diambil secara tidak adil yang akhirnya meletakan rakyat pada posisi sangat menderita. Pemimpin seperti inilah yang diharapkan rakyat Indonesia, pemimpin seperti inilah yang mampu memberikan kenyamanan untuk segenap manusia, pemimpin inilah yang tidak pernah mengatakan kalah sebelum berjuang, dan pemimpin inilah yang tidak dimiliki pada diri seorang Jokowi yang mungkin terlalu banyak contekannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H