Hal ini menciptakan budaya di mana kita berlomba-lomba menunjukkan pencapaian kita, meskipun itu mungkin hanya sekadar ilusi atau kepalsuan. Akibatnya, kita sering merasa tertekan dan iri ketika melihat pencapaian orang lain yang tampaknya lebih baik dari kita.
Ekonomi modern menciptakan lebih banyak kekayaan, namun di sisi lain juga meningkatkan kemampuan kita untuk memamerkan kekayaan tersebut, sekaligus menimbulkan rasa iri terhadap kekayaan orang lain. Konsumsi dan gaya hidup sering kali menjadi penanda status sosial yang dipamerkan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.Â
Namun, di balik semua itu, rasa iri dan ketidakpuasan yang muncul sering kali lebih besar daripada kebahagiaan yang diperoleh. Pendapatan dan kekayaan yang lebih besar pun sering kali tidak cukup untuk memenuhi harapan yang terus meningkat.
Kita sering kali lupa bahwa hal-hal yang paling berharga dalam hidup sebenarnya tidak dapat diukur dengan uang. Misalnya, kesehatan, penglihatan, hubungan yang baik dengan orang-orang terdekat, dan kebebasan kita adalah hal-hal yang jauh lebih berharga daripada kekayaan materi.
Namun, karena tidak ada transaksi finansial yang terlibat, kita cenderung mengabaikan nilai sejati dari hal-hal tersebut. Kita lebih fokus pada hal-hal yang dapat diukur dan dibandingkan, sehingga kita mengabaikan hal-hal yang sebenarnya membawa kebahagiaan sejati dalam hidup.
Seperti yang diungkapkan oleh Charlie Munger, aturan pertama untuk hidup yang bahagia adalah memiliki harapan yang rendah dan realistis. Jika kita memiliki harapan yang terlalu tinggi, kita akan selalu merasa tidak puas dan merana sepanjang hidup.Â
Sebaliknya, dengan menetapkan harapan yang masuk akal dan belajar menerima hasil yang kita peroleh, baik itu yang bagus maupun yang kurang memuaskan, kita bisa menikmati hidup dengan lebih damai dan bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H