Sumber Photo : www. tabloidku.com
Keberadaan Jokowi selama menjadi presiden tidak akan lepas dari pengawasan Mega. Walaupun pihak Mega sendiri, melalui pernyataan beberapa petinggi PDIP yang pada intinya Mega telah melepaskan diri dari Pemerintahan Jokowi. Dalam politik, warna putih tidak selamanya kelihatan putih, kadang terlihat buram, bahkan terkadang berwarna abu-abu. Boleh jadi benar pernyataan petinggi PDIP, tetapi fakta di lapangan sangat berbeda, termasuk dalam hal sikap ambisiusme para petinggi PDIP untuk menggolkan BG sebagai kapolri yang telah diramu dan diolah memainkan isu-isu keterlibatan Abraham Samad pada proses verifikasi pemilihan cawapresnya Jokowi. Ini adalah hal yang sulit dibantah bagi orang lain untuk merangkai persoalan ikut campurnya Mega terhadap pemerintahan Jokowi.
Apapun cerita tentang Jokowi sulit dilepaskan dari peran serta Mega. Jokowi  sudah ditempatkan di ketiaknya. Maka selama di dibawah ketiak Mega. Selama itu pula Jokowi akan terus diganggu Mega. Bagi Mega, Jokowi adalah kartu trufnya. Apa yang menjadikan kebijakan Jokowi tak bisa dilepaskan dari radar pengamatan Mega. Mega memang dikenal pendiam, akan tetapi melalui kaki-kakinya, Mega menancapkan hegemoni pengaruhnya. Hebatnya, seorang Mega bisa menempatkan dua kakinya. Di satu pihak, Mega menempatkan dirinya untuk  mendukung  Jokowi, tetapi di lain pihak sebaliknya dia pun menentang kebijakan Jokowi yang dirasa merugikan dirinya. Kita dapat melihat posisi Mega yang terlihat diam terkait perselisihan pendapat antara Hasto dan Effendi.
Tidak ada makan siang gratis. Begitulah kira-kira penilaian Mega terhadap Jokowi. Mega tidak menjadikan Jokowi sebagai barang yang dijual murah meriah kepada Jokowilovers. Perlu biaya politik tinggi dan pengorbanan yang luar biasa dalam menaikan harga Jokowi. Peran Jokowilovers di kalangan akar rumput hanyalah bumbu penyedap yang lain yang akan melengkapi sajian Jokowi yang memang sudah dibumbui dan dibangun menurut visi Mega dan PDIP-nya.
Atas dasar alasan tersebut, Mega berhitung politik. Apa yang ditanam Jokowi sebagai modal politik untuk mengangkat daya jual politiknya dalam upaya mengangkat citra politiknya dan kepentingan bisnisnya. Revolusi mental dan kaidah nawa cita harus dibangun dan dibentuk menurut versinya PDIP, bukan revolusi mental yang digagas dan diharapkan oleh para Jokowilovers. Maka tak usah heran jika revolusi mental yang sekarang berubah jadi revolusi meuntal bilamana harus berhadapan dengan kepentingan Megawati dan PDIPnya.
Melihat dari gejala-gejala yang tidak elok dari kubu Mega, semestinya Jokowi segera move on, keluar dari kungkungan Mega. Dan kasus BG adalah waktu yang tepat untuk keluar dari jerat PDIP. Sudah saatnya Jokowi melihat ke bawah ke rakyat, baik yang mendukung ataupun yang tidak. Jangan hanya melihat ke atas, ke partai, terutama PDIP. Mengikuti kemauan partai hanya akan menjadikan dirinya tumbal politik. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H