Sumber Photo : Rmol.com
Dalam 5 tahun terakhir ini PSSI lebih dikenal bukan dari prestasinya tetapi dari perselisihannya. Sudah dua kali PSSI tercatat  terlibat konflik internal. Pertama di era kepemimpinan Nurdin Khalid, dan berlanjut ke era Johar Arifin. Dan kali ini PSSI terlibat konflik dengan Menpora Imam Nachrawi. Pembentukan tim sembilan yang digagas oleh Menpora ditolak oleh sebagian pengurus PSSI yang menjadi biang masalahnya.
Konflik tetap berlanjut hingga sekarang. Belum ada penyelesaian diantara kedua belah pihak. Di lain waktu, PSSI menghadapi agenda penting, yakni pemilihan ketua umum PSSI. Sejauh ini, belum banyak peminat melamar jadi ketua umum PSSI. Sepertinya efek dari konflik PSSI-Menpora menjadi penyebab pihak luar segan jadi ketua umum PSSI.
Konflik PSSI yang kerap terjadi sebagai akibat dari buruknya manajemen organisasi. Organisasi yang dibangun PSSI lebih mengutamakan kepentingan politik, bukan pada real tujuan PSSI yang sesungguhnya. Orang-orang yang terlibat di kepengerusan PSSI hanya berharap PSSI seperti apa? bukan mau menjadi apa?Kalau berpikir PSSI seperti apa, maka yang ada akan timbul konflik, karena akan terjadi tarik-menarik kepentingan antara pihak yang satu yang menginginkan PSSI mau seperti apa dengan yang lainnya yang juga berkepentingan menginginkan hal yang sama. Lain halnya, bila PSSI dibangun dengan model mau jadi apa. maka akan terjadi satu-kesatuan tujuan antara pihak yang satu dengan yang lainnya, karena yang dibangun atas dasar tujuan dan cita-cita berorganisasi.
Konflik PSSI berdampak buruk pada hilangnya animo masyarakat menyaksikan sepak bola timnas. Lebih parah lagi menimbulkan disharmoni antar pemain sepak bola. Seringkali kita menemukan pemain-pemain sepakbola di timnas berbeda-beda setiap kali pergantian pelatih. Di hampir negara-negara Eropa sama seringkali ada perubahan pemain, tetapi itu hanya 2-3 orang pemain. Itu pun bukan dari pemain inti. Tetapi yang  terjadi dengan PSSI, bukan hanya 2-3 orang yang diganti, tetapi hampir setengahnya, termasuk pemain inti yang diganti. Kita bisa melihat secara seksama pemain-pemain di era kepemimpina Alfred Ridle sebagian besar tidak dipanggil di era Rahmad Darmawan. Bandingkan dengan para pemain Jerman, misalnya Philip Lahm dan beberapa pemain Jerman lainnya tetap bisa awet dan  bertahan 10 tahun di Timnas Jerman. Maka jangan kaget, bilamana Jerman juara dunia 2014. Mereka juara bukan karena kehebatan pelatih, atau pemain saja tetapi pengurus dan para petinggi sepak bola Jerman kompak membangun organisasi tim yang kuat.
sumber photo : Imannez. files. wordpress.com
PSSI tak perlu belajar jauh-jauh ke Jerman. Cukup datang saja ke Bandung. PSSI bisa belajar dari Persib bagaimana Persib membangun sebuah tim yang kuat. Persib bisa dijadikan contoh oleh PSSI, karena selama ini Persib, adalah satu-satunya klub sepak bola yang jarang sekali mengalami konflik. Selain Persib, tentu jangan  diabaikan peran  Persipura dan Sriwijaya FC yang juga dinilai baik dalam membangun organisasi. Sementara yang klub yang lain, misalnya Persija, Persebaya, dan Arema pernah mengalami konflik manajemen diantara pengurusnya sehingga  tidak layak dijadikan contoh berorganisasi.
Tak ada salahnya PSSI belajar dari anak asuhnya Persib dalam hal membangun manajemen. Tak perlu jauh-jauh studi banding ke Jerman atau Negara-negara Eropa, bukan hasil yang didapat, malah yang ada pemborosan uang negara. Persib sudah membuktikan prestasinya sebagai juara ISL 2014. Dan tentunya hal lain yang perlu dipelajari dari Persib adalah loyalitas bobotoh kepada Persib sudah sedemikian tinggi, hal tersebut tak lepas dari manajemen yang bagus.
Kalau tidak bagus tentunya nasib Persib bakal senasib dengan PSMS dan juga Persik yang baru saja membubarkan diri. Membangun sepak bola bukan hanya tugas pemain, pelatih saja, tetapi hasil kerja keras seluruh manajemen. Â Itu yang perlu diperhatikan PSSI. Amin.